Kamis, 10 Mei 2012

Takut Hisab

Tampaknya tidak salah jika dikatakan Abu Bakar al-Siddiq adalah orang yang paling baik setelah Nabi. Bukankah ia yang disuruh Nabi untuk menggantinya sebagai imam salat saat beliau sedang sakit dan mendekati ajalnya. Ia juga yang akhirnya dinobatkan menjadi khalifah untuk yang pertama kali dalam sejarah Islam.
Tidak hanya itu, Abu Bakar juga menempati urutan pertama dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan masuk surga (al-‘asyarah al-mubasysyar bi al-jannah). Bahkan Nabi pernah menyampaikan kalau nama Abu Bakar akan dipanggil dari setiap pintu surga dan ia merupakan seorang pengikutnya yang pertama akan memasukinya.
Tetapi semua itu tidak membuatnya terlena hingga menggeser sikap takwanya kepada Allah. Paling tidak hal ini tercermin dalam ungkapan-ungakap yang menunjukkan rasa takutnya kepada Allah yang bersemayam kuat di dalam hatinya.
Sekedar menyebut contah, Abu Bakar bernah mengungkapkan, “Alangkah baiknya kalau aku menjadi sebatang pohon yang ditebang dan dijadikan kayu bakar.” “Alangkah baiknya kalau aku ini menjadi sehelai rumput yang riwayat hidupnya akan tamat apabila dimakan oleh seekor binatang ternak.”
Pernah pada suatu hari ia berada di suatu taman. Ia melihat seekor burung yang sedang berkicau. Ia pun berkata, “Wahai burung. Sungguh bahagia kamu. Kamu makan, minum, dan terbang semaumu tanpa pernah punya perasaan takut pada hari perhitungan (hisab). Aku ingin menjadi seperti kamu, burung.”
Abu Bakar juga pernah berselisih paham dengan Rabi’ah Aslamiyah, sebagaimana dituturkan oleh Rabi’ah sendiri. Saat itu Abu Bakar sempat mengeluarkan kata-kata yang agak kasar. Tetapi saat itu juga ia menyadari kesalahannya dan memohon kepada Rabi’ah untuk membalasnya dengan umpatan yang sama.
Sudah tentu Rabi’ah enggan memenuhi permintaan Abu Bakar tersebut. Tapi anehnya, Abu Bakar malah mendesak dan mengancam untuk mengadukannya kepada Nabi. Rabi’ah tetap menolak. Abu Bakar kemudian pergi meninggalkan Rabi’ah.
Beberapa orang kawan Rabi’ah yang sejak awal menyaksikan peristiwa itu mulai berkomentar, “Aneh sekali orang itu. Dia yang melakukan kesalahan, malah dia sendiri yang mengancam untuk mengadu kepada Nabi.”
“Kamu tahukah siapa dia?” tanya Rabi’ah. “Dia adalah Abu Bakar. Menyinggungnya berarti menyinggung Nabi. Menyinggung Nabi berarti menyinggung Allah. Kalau perbuatanku menyinggung Allah, siapa yang akan mampu menyelamatkanku,” tegasnya.
Rabi’ah kemudian mengajak kawan-kawannya pergi menghadap Nabi untuk mengadu. Nabi kemudian berkata, “Keenggananmu mengeluarkan kata-kata kasar itu sudah tepat, tetapi alangkah lebih baik kalau untuk mengurangi kegelisahan batinnya kamu berkata ‘semoga Allah mengampunimu, wahai Abu Bakar’.”
Begitulah sebagian contoh sikap takwa yang ditunjukkan oleh Abu Bakar al-Siddiq. Ia selalu mengawatirkan pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak di hari kemudian. Perasaan khawatir ini membuatnya selalu berhati-hati dalam bertindak. Meski sebagai manusia ia tidak luput dari kesalahan.
Sikap dasar ini pula yang membawa keberhasilannya selama menjabat sebagai khalifah. Sudah tentu sikap ini merupakan satu teladan yang sepatutnya ditiru oleh pemimpin-pemimpin saat ini, terutama mereka yang beragama. Mereka bisa saja melakukan manipulasi pertanggungjawaban kepemimpinannya di dunia ini, tetapi mereka jelas tidak mampu mengelabuhi mata Rakib dan Atid yang selalu mengawasi setiap langkahnya.
Barangkali beratnya tanggungjawab ini yang membuat para sahabat, terutama al-khulafa’ al-rasyidun, saat itu enggan untuk dinobatkan sebagai khalifah. Sehingga untuk memaksanya para sahabat bersepakat untuk menggunakan mekanisme baiat. Dengan kata lain, mekanisme baiat ini menjadi pilihan alternatif saat tidak mungkin dilakukan pemilihan dan atau penunjukkan.
Hal ini sangat jauh dengan fenomena saat ini, di mana seseorang akan bersedia melakukan apa saja agar ia dipilih menjadi pemimpin. Kalau dulu beratnya tanggungjawab, terutama saat yaum al-hisab, menjadi pertimbangan utama. Tapi kini justru orang akan berpikir ia akan dapat melakukan apa saja kalau ia menjadi seorang pemimpin.
Ungkapan ini bukan berarti merupakan satu simpul bahwa apa yang terjadi saat ini tidak ada sisi baiknya sama sekali. Tetapi lebih menekankan agar bangsa yang religius ini tidak melupakan agama dan keberagamaannya saat ingin merebut kursi kepemimpinan. Sebab dampaknya tidak hanya bagi dirinya tetapi juga bagi masyarakat secara umum.
Patut diingat, Umar bin Khattab menangis tersedu-sedu saat melihat anak kecil yang menjerit kelaparan sementara ibunya hanya mengelabuhi harapannya dengan menanak batu, bukan karena ia takut reputasi kepemimpinannya hancur karena prestasi kepemimpinannya yang buruk. Tetapi lebih karena sikap takwanya. Karena takut pada pertanggungjawabannya kelak pada yaum al-hisab. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar