Tampaknya
tidak salah jika dikatakan Abu Bakar al-Siddiq adalah orang yang paling baik
setelah Nabi. Bukankah ia yang disuruh Nabi untuk menggantinya sebagai imam
salat saat beliau sedang sakit dan mendekati ajalnya. Ia juga yang akhirnya dinobatkan
menjadi khalifah untuk yang pertama kali dalam sejarah Islam.
Tidak
hanya itu, Abu Bakar juga menempati urutan pertama dari sepuluh sahabat yang
mendapat jaminan masuk surga (al-‘asyarah al-mubasysyar bi al-jannah). Bahkan
Nabi pernah menyampaikan kalau nama Abu Bakar akan dipanggil dari setiap pintu
surga dan ia merupakan seorang pengikutnya yang pertama akan memasukinya.
Tetapi
semua itu tidak membuatnya terlena hingga menggeser sikap takwanya kepada
Allah. Paling tidak hal ini tercermin dalam ungkapan-ungakap yang menunjukkan
rasa takutnya kepada Allah yang bersemayam kuat di dalam hatinya.
Sekedar
menyebut contah, Abu Bakar bernah mengungkapkan, “Alangkah baiknya kalau aku
menjadi sebatang pohon yang ditebang dan dijadikan kayu bakar.” “Alangkah
baiknya kalau aku ini menjadi sehelai rumput yang riwayat hidupnya akan tamat
apabila dimakan oleh seekor binatang ternak.”
Pernah
pada suatu hari ia berada di suatu taman. Ia melihat seekor burung yang sedang
berkicau. Ia pun berkata, “Wahai burung. Sungguh bahagia kamu. Kamu makan,
minum, dan terbang semaumu tanpa pernah punya perasaan takut pada hari
perhitungan (hisab). Aku ingin menjadi seperti kamu, burung.”
Abu
Bakar juga pernah berselisih paham dengan Rabi’ah Aslamiyah, sebagaimana
dituturkan oleh Rabi’ah sendiri. Saat itu Abu Bakar sempat mengeluarkan
kata-kata yang agak kasar. Tetapi saat itu juga ia menyadari kesalahannya dan
memohon kepada Rabi’ah untuk membalasnya dengan umpatan yang sama.
Sudah
tentu Rabi’ah enggan memenuhi permintaan Abu Bakar tersebut. Tapi anehnya, Abu
Bakar malah mendesak dan mengancam untuk mengadukannya kepada Nabi. Rabi’ah
tetap menolak. Abu Bakar kemudian pergi meninggalkan Rabi’ah.
Beberapa
orang kawan Rabi’ah yang sejak awal menyaksikan peristiwa itu mulai
berkomentar, “Aneh sekali orang itu. Dia yang melakukan kesalahan, malah dia sendiri
yang mengancam untuk mengadu kepada Nabi.”
“Kamu
tahukah siapa dia?” tanya Rabi’ah. “Dia adalah Abu Bakar. Menyinggungnya berarti
menyinggung Nabi. Menyinggung Nabi berarti menyinggung Allah. Kalau perbuatanku
menyinggung Allah, siapa yang akan mampu menyelamatkanku,” tegasnya.
Rabi’ah
kemudian mengajak kawan-kawannya pergi menghadap Nabi untuk mengadu. Nabi kemudian
berkata, “Keenggananmu mengeluarkan kata-kata kasar itu sudah tepat, tetapi alangkah
lebih baik kalau untuk mengurangi kegelisahan batinnya kamu berkata ‘semoga
Allah mengampunimu, wahai Abu Bakar’.”
Begitulah
sebagian contoh sikap takwa yang ditunjukkan oleh Abu Bakar al-Siddiq. Ia selalu
mengawatirkan pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak di hari kemudian. Perasaan
khawatir ini membuatnya selalu berhati-hati dalam bertindak. Meski sebagai
manusia ia tidak luput dari kesalahan.
Sikap
dasar ini pula yang membawa keberhasilannya selama menjabat sebagai khalifah.
Sudah tentu sikap ini merupakan satu teladan yang sepatutnya ditiru oleh
pemimpin-pemimpin saat ini, terutama mereka yang beragama. Mereka bisa saja
melakukan manipulasi pertanggungjawaban kepemimpinannya di dunia ini, tetapi mereka
jelas tidak mampu mengelabuhi mata Rakib dan Atid yang selalu mengawasi setiap
langkahnya.
Barangkali
beratnya tanggungjawab ini yang membuat para sahabat, terutama al-khulafa’
al-rasyidun, saat itu enggan untuk dinobatkan sebagai khalifah. Sehingga untuk
memaksanya para sahabat bersepakat untuk menggunakan mekanisme baiat. Dengan
kata lain, mekanisme baiat ini menjadi pilihan alternatif saat tidak mungkin
dilakukan pemilihan dan atau penunjukkan.
Hal
ini sangat jauh dengan fenomena saat ini, di mana seseorang akan bersedia
melakukan apa saja agar ia dipilih menjadi pemimpin. Kalau dulu beratnya
tanggungjawab, terutama saat yaum al-hisab, menjadi pertimbangan utama.
Tapi kini justru orang akan berpikir ia akan dapat melakukan apa saja kalau ia
menjadi seorang pemimpin.
Ungkapan
ini bukan berarti merupakan satu simpul bahwa apa yang terjadi saat ini tidak
ada sisi baiknya sama sekali. Tetapi lebih menekankan agar bangsa yang religius
ini tidak melupakan agama dan keberagamaannya saat ingin merebut kursi kepemimpinan.
Sebab dampaknya tidak hanya bagi dirinya tetapi juga bagi masyarakat secara
umum.
Patut
diingat, Umar bin Khattab menangis tersedu-sedu saat melihat anak kecil yang
menjerit kelaparan sementara ibunya hanya mengelabuhi harapannya dengan menanak
batu, bukan karena ia takut reputasi kepemimpinannya hancur karena prestasi
kepemimpinannya yang buruk. Tetapi lebih karena sikap takwanya. Karena takut
pada pertanggungjawabannya kelak pada yaum al-hisab. Wallahu a’lam bi
al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar