Sabtu, 27 Juli 2013

Puasa dan Sabar

          Refrensi tentang sabar sangat banyak ditemukan dalam ajaran Islam. Dalam al-Qur’an kata ini paling tidak diulang sebanyak 75 kali, terutama yang berkaitan dengan tingkatan (derajat) dan kebaikan-kebaikan yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang mau berbuat sabar. Nabi juga sering menguraikan tentang sikap sabar ini dalam banyak haditsnya sesuai dengan konteks perjuangannya.
Pada satu kesempatan Nabi menegaskan tentang sabar ini dengan dikaitkan pada persoalan iman, “sabar itu setengah daripada iman.” Dalam memahami hadits ini, Al-Ghazali menyatakan ada dua argumentasi yang dapat membuktikan kebenaran pernyataan Nabi ini. Pertama, pemaknaan kata iman kadang hanya dikaitkan dengan persoalan kepercayaan terhadap pokok-pokok agama (usul al-din), kadang hanya dikaitkan dengan perbuatan-perbuatan baik yang muncul dari kepercayaan tersebut, juga kadang berkaitan dengan keduanya.
Apabila makna yang terakhir ini (kepercayaan dan implikasi dalam bentuk perbuatan) yang digunakan, maka iman sebenarnya memiliki dua unsur pokok (rukun), yaitu keyakinan dan kesabaran. Yang dimaksud dengan keyakinan adalah pengetahuan pasti yang dihasilkan dari petunjuk (hidayah) Allah terhadap hambanya kaitannya dengan pokok-pokok agama. Sedangkan kesabaran adalah suatu perbuatan yang sesuai dengan keyakinan tersebut. Keyakinan akan memberikan pengertian kepada seseorang bahwa perbuatan jahat (maksiat) itu akan membahayakan dan taat itu akan memberi manfaat bagi dirinya, dan dia tidak mungkin meninggalkan yang pertama dan tetap melaksanakan yang kedua kecuali hanya dengan kesabaran. Orang yang berperilaku demikian berarti dia telah menggunakan dorongan agama untuk memaksa dorongan hawa nafsu. Dengan demikian, dalam hal ini sabar berarti merupakan setengah daripada iman.
Kedua, iman diartikan sebagai suatu kondisi (ahwal) yang menghasilkan suatu perbuatan, bukan pengetahuan. Dalam pandangan ini, semua yang dikerjakan oleh seseorang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu yang bermanfaat baginya baik di dunia maupun di akhirat, atau yang sebaliknya (yang membahayakan). Hal yang terkait dengan yang pertama berarti sabar, sedang yang kedua adalah syukur. Dengan demikian iman sebagai satu kesatuan yang utuh, setengahnya ditopang oleh sabar dan setengah sisanya ditopang oleh syukur. Terkait dengan penjelasan ini Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits marfu’ berupa penegasan Nabi bahwa “iman itu terdiri dari dua bagian, yang pertama adalah sabar sedang yang lain adalah syukur.”
Tadi telah disinggung bahwa sabar adalah menekan dorongan nafsu dengan dorongan agama. Yang dimaksud dorongan nafsu itu ada yang berbentuk pemenuhan kesenangan diri melalui jalur naluriah (syahwat) dan ada yang melalui jalur marah (ghadlab) guna menghindarkan diri dari hal-hal yang menyakitkan. Ibadah puasa, dalam pengertian ini, berarti hanya senilai seperempat iman, karena unsur sabar yang ada hanya terkait dengan dorongan naluriah, sesuai penegasan Nabi bahwa “puasa itu setengah daripada sabar.” Karena itu sabar yang sempurna adalah yang mengumpulkan kedua unsur tersebut. Parameter inilah yang selanjutnya digunakan untuk melihat kadar atau batasan ibadah kaitannya dengan iman.
Sedangkan dorongan agama kaitannya dengan dorongan nafsu itu sendiri ada tiga macam, yaitu pertama, menekan dorongan nafsu hingga ia tidak memiliki kekuatan sama sekali. Berdasarkan pada hal ini terdapat ungkapan “siapa yang sabar dia tergolong orang yang menang.” Memang hanya sedikit orang yang mampu sampai pada tingkatan ini, karena dia sama sekali telah mampu menghilangkan dorongan nafsu dalam dirinya. Inilah yang dimaksud penjelasan Tuhan “orang-orang yang mengatakan Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka konsisten (istiqamah).” (Fussilat: 30) Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan ketenangan batin.
Kedua, dorongan agama terkalahkan sama sekali oleh dorongan nafsu. Mereka adalah orang yang terkalahkan oleh setan dan tidak melakukan usaha untuk memeranginya. Mereka tergolong orang yang lupa, seperti ditegaskan Tuhan bahwa “kalau Kami menghendaki tentu Kami akan memberikan petunjuk bagi setiap jiwa tetapi ungkapan yang hak itu hanya dari-Ku.” (as-Sajdah: 13).
Tanda-tanda orang yang termasuk dalam kategori kedua ini adalah cenderung putus asa dan tertipu oleh harapan-harapan. Dan ini merupakan puncak keteledoran (humq). Nabi menyatakan “orang yang cerdas itu adalah orang yang lemas jiwanya dan beramal untuk persiapan setelah meninggal. Sedangkan orang yang teledor adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan dia berharap (rahmat) kepada Tuhan.”
         Orang seperti yang disebut terakhir ini jika diberi nasehat untuk bertaubat misalnya, dia akan bilang “aku memang butuh bertaubat tetapi aku belum sempat hingga aku tampak belum membutuhkannya.” Itu masih mending, karena ada yang menyatakan “aku tidak butuh bertaubat mengingat Tuhan itu Maha Pengampun dan Pengasih, hingga tidak butuh pada taubatku.”
Dan ketiga,  dorongan agama dan dorongan nafsu selalu berperang. Kadang yang satu mengalahkan yang lain, dan begitu juga sebaliknya. Orang seperti ini tergolong mujahid bukan tergolong orang menag. Mereka sesekali akan berlaku baik dan sesekali sebaliknya. Dan semoga Tuhan menerima taubatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar