Refrensi tentang sabar sangat banyak ditemukan dalam
ajaran Islam. Dalam al-Qur’an kata ini paling tidak diulang sebanyak 75 kali,
terutama yang berkaitan dengan tingkatan (derajat) dan kebaikan-kebaikan yang
diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang mau berbuat sabar. Nabi juga
sering menguraikan tentang sikap sabar ini dalam banyak haditsnya sesuai dengan
konteks perjuangannya.
Pada satu
kesempatan Nabi menegaskan tentang sabar ini dengan dikaitkan pada persoalan
iman, “sabar itu setengah daripada iman.” Dalam memahami hadits ini,
Al-Ghazali menyatakan ada dua argumentasi yang dapat membuktikan kebenaran
pernyataan Nabi ini. Pertama, pemaknaan kata iman kadang hanya dikaitkan
dengan persoalan kepercayaan terhadap pokok-pokok agama (usul al-din),
kadang hanya dikaitkan dengan perbuatan-perbuatan baik yang muncul dari
kepercayaan tersebut, juga kadang berkaitan dengan keduanya.
Apabila makna
yang terakhir ini (kepercayaan dan implikasi dalam bentuk perbuatan) yang
digunakan, maka iman sebenarnya memiliki dua unsur pokok (rukun), yaitu
keyakinan dan kesabaran. Yang dimaksud dengan keyakinan adalah pengetahuan
pasti yang dihasilkan dari petunjuk (hidayah) Allah terhadap hambanya
kaitannya dengan pokok-pokok agama. Sedangkan kesabaran adalah suatu perbuatan
yang sesuai dengan keyakinan tersebut. Keyakinan akan memberikan pengertian
kepada seseorang bahwa perbuatan jahat (maksiat) itu akan membahayakan dan taat
itu akan memberi manfaat bagi dirinya, dan dia tidak mungkin meninggalkan yang
pertama dan tetap melaksanakan yang kedua kecuali hanya dengan kesabaran. Orang
yang berperilaku demikian berarti dia telah menggunakan dorongan agama untuk
memaksa dorongan hawa nafsu. Dengan demikian, dalam hal ini sabar berarti
merupakan setengah daripada iman.
Kedua,
iman diartikan sebagai suatu kondisi (ahwal) yang menghasilkan suatu
perbuatan, bukan pengetahuan. Dalam pandangan ini, semua yang dikerjakan oleh
seseorang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu yang bermanfaat baginya
baik di dunia maupun di akhirat, atau yang sebaliknya (yang membahayakan). Hal
yang terkait dengan yang pertama berarti sabar, sedang yang kedua adalah
syukur. Dengan demikian iman sebagai satu kesatuan yang utuh, setengahnya
ditopang oleh sabar dan setengah sisanya ditopang oleh syukur. Terkait dengan
penjelasan ini Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits marfu’ berupa penegasan
Nabi bahwa “iman itu terdiri dari dua bagian, yang pertama adalah sabar
sedang yang lain adalah syukur.”
Tadi telah
disinggung bahwa sabar adalah menekan dorongan nafsu dengan dorongan agama.
Yang dimaksud dorongan nafsu itu ada yang berbentuk pemenuhan kesenangan diri
melalui jalur naluriah (syahwat) dan ada yang melalui jalur marah (ghadlab)
guna menghindarkan diri dari hal-hal yang menyakitkan. Ibadah puasa, dalam pengertian
ini, berarti hanya senilai seperempat iman, karena unsur sabar yang ada hanya
terkait dengan dorongan naluriah, sesuai penegasan Nabi bahwa “puasa itu
setengah daripada sabar.” Karena itu sabar yang sempurna adalah yang
mengumpulkan kedua unsur tersebut. Parameter inilah yang selanjutnya digunakan
untuk melihat kadar atau batasan ibadah kaitannya dengan iman.
Sedangkan
dorongan agama kaitannya dengan dorongan nafsu itu sendiri ada tiga macam,
yaitu pertama, menekan dorongan nafsu hingga ia tidak memiliki kekuatan
sama sekali. Berdasarkan pada hal ini terdapat ungkapan “siapa yang sabar dia
tergolong orang yang menang.” Memang hanya sedikit orang yang mampu sampai pada
tingkatan ini, karena dia sama sekali telah mampu menghilangkan dorongan nafsu
dalam dirinya. Inilah yang dimaksud penjelasan Tuhan “orang-orang yang
mengatakan Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka konsisten (istiqamah).”
(Fussilat: 30) Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan ketenangan batin.
Kedua,
dorongan agama terkalahkan sama sekali oleh dorongan nafsu. Mereka adalah orang
yang terkalahkan oleh setan dan tidak melakukan usaha untuk memeranginya.
Mereka tergolong orang yang lupa, seperti ditegaskan Tuhan bahwa “kalau Kami
menghendaki tentu Kami akan memberikan petunjuk bagi setiap jiwa tetapi
ungkapan yang hak itu hanya dari-Ku.” (as-Sajdah: 13).
Tanda-tanda
orang yang termasuk dalam kategori kedua ini adalah cenderung putus asa dan
tertipu oleh harapan-harapan. Dan ini merupakan puncak keteledoran (humq).
Nabi menyatakan “orang yang cerdas itu adalah orang yang lemas jiwanya dan
beramal untuk persiapan setelah meninggal. Sedangkan orang yang teledor adalah
orang yang mengikuti hawa nafsunya dan dia berharap (rahmat) kepada Tuhan.”
Orang seperti yang disebut terakhir ini jika diberi
nasehat untuk bertaubat misalnya, dia akan bilang “aku memang butuh bertaubat
tetapi aku belum sempat hingga aku tampak belum membutuhkannya.” Itu masih
mending, karena ada yang menyatakan “aku tidak butuh bertaubat mengingat Tuhan
itu Maha Pengampun dan Pengasih, hingga tidak butuh pada taubatku.”
Dan ketiga, dorongan agama dan dorongan nafsu selalu
berperang. Kadang yang satu mengalahkan yang lain, dan begitu juga sebaliknya.
Orang seperti ini tergolong mujahid bukan tergolong orang menag. Mereka sesekali
akan berlaku baik dan sesekali sebaliknya. Dan semoga Tuhan menerima taubatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar