Puasa adalah ibadah kejujuran. Puasa yang bersifat
personal, dalam arti dikerjakan sendiri dan merupakan rahasia antara shaim
(orang yang puasa) dan Tuhannya, menanamkan sikap jujur bagi shaim. Tidak
adanya orang lain yang dapat mengetahui tingkat kejujurannya membuka peluang
baginya untuk melakukan penyimpangan saat berpuasa. Hanya kesadaran akan
kehadiran Allah yang selalu mengawasi dan kesadaran akan tanggungjawab yang
harus dipikul atas segala perbuatannya (taqwa) yang dapat menutup peluang itu.
Untuk itu kejujuran bagi puasa amat menentukan. Kejujuran
yang dimaksud adalah kepada diri sendiri dan Allah. Pernyataan Allah “puasa
untuk-Ku”, memberi pengertian bahwa kejujuran shaim untuk tidak makan dan
minum serta berhubungan seksual yang hanya karena-Nya itulah yang menjadi fokus
penilaian. Berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, hampir tidak ada peluang
bagi puasa untuk tidak ditujukan kepada Allah. Seorang anak misalnya berpuasa
karena orang tuanya. Itu tidak mungkin, karena ketidakmampuan orang tua untuk
dapat mengetahui sepenuhnya kejujuran puasa anaknya tersebut.
Karenanya, hanya Allah yang mampu menilai puasa dan
sekaligus memberikan balasannya. Ungkapan ini juga memberi pengertian bahwa
puasa bukan untuk kepentingan Allah. Berbeda misalnya dengan puasa dalam
tradisi agama-agama primitif, yang dilakukan untuk kepentungan dewa, seperti
puasa untuk meredam kemarahan dewa, atau agar dewa bersuka hati hingga bersedia
memberikan pertolongan, dan lain-lain.
Kejujuran ini merupakan manifestasi ketaqwaan. Berarti
puasa bukan semata-mata ibadah fisik yang terkait dengan perut dan organ seks
belaka. Yang terpenting adalah kualitas ketaqwaan. Dan karena ketaqwaan itu
bersumber pada hati nurani maka fokus ibadah puasa adalah hati.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam Islam hampir
tidak terdapat satu ibadah fisik belaka, melainkan selalu menyertakan dimensi
batin. Perilaku fisik hanya menjadi media penguat dimensi batin tersebut. Meski
demikian keduanya tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mengandung makna tersendiri.
Seperti ibadah kurban, bukan hewan sembelihan yang dipersembahkan kepada Allah,
melainkan ketaqwaan. Tetapi hewan sembelihan itu tidak dibuang sia-sia,
melainkan harus dibagikan kepada fakir miskin. Berarti secara batin kurban
merupakan satu manifestasi taqwa. Sedangkan secara fisik ia mengandung komitmen
meringankan beban sosial masyarakat miskin. Ibadah kurban ini berbeda dengan
ritus persembahan atau sesaji dalam agama-agama primitif yang mutlak
dipersembahkan kepada dewa, dan membiarkan hidangan sesajinya mengering atau
membusuk.
Puasa juga demikian, ketaqwaan yang diterima oleh Allah.
Sementara penahanan sebagian kebutuhan biologis maupun ruhani berguna untuk
memantapkan pribadi pelakunya. Memang secara syariat puasa cukup dengan menahan
diri dari makan, minum dan berhubungan seksual. Kewajiban puasa sudah gugur.
Namun jika berhenti sampi di situ maka nilai atau manfaat yang diperoleh juga
sebatas fisik. Sementara manfaat secara batiniahnya kosong.
Satu bukti konkrit puasa tidak hanya ibadah fisik
adalah adanya kemurahan (ruhsah) bagi orang-orang tertentu yang
berhalangan untuk tidak berpuasa, seperti orang tua renta, sakit parah, sedang
mengandung atau menyusui, sedang bepergian, dan lain-lain. Kemurahan bagi
mereka sangat manusiawi, sehingga tidak bisa dibilang merupakan pembangkangan
dari kewajiban.
Kenyataan ini membuktikan bahwa kejujuran dalam melakukan
puasa itulah yang sangat ditekankan, bukan pada rasa berat secara fisik. Salah
satu implikasi kejujuran yang ditanamkan oleh puasa adalah sikap amanah (dapat
dipercaya dan bertanggungjawab). Dan jelas dapat diprediksi manfaat kejujuran
puasa ini bagi kehidupan masyarakat.
Sampai di sini, kiranya patut kita perhatikan tiga
model puasa menurut klasifikasi al-Ghazali, yang sekaligus menunjukkan tingkat
puasa dan kejujuran shaim, dan tentunya dapat membedakan capaiannya, yaitu
puasa umum, puasa khusus, dan puasa sangat khusus.
Yang pertama adalah puasa yang hanya menekankan aspek
syariat tadi. Puasa demikian hanya menunjukkan kepatuhan secara fisik, sehingga
dapat mereduksi substansi yang mestinya diperhatikan. Implikasi sikap yang
muncul dari puasa ini adalah masih adanya kesediaan untuk tetap melakukan
kesalahan. Kalau dikatakan bahwa puasa tetap tidak mampu mengurangi tindak
kejahatan, seperti korupsi, manupulasi, dan lain-lain di masyarakat, maka jelas
puasanya sebatas dorongan syar’i ini.
Yang kedua di samping aspek syariat tadi ditambah
dengan menjaga seluruh organ tubuh seperti telinga, mata, mulut, tangan dan
kaki dan lain-lain dari berbuat salah atau dosa. Puasa demikian masih menyimpan
rasa takut (khauf) dan harapan (raja’): takut terhadap siksa dan
mengharapkan pahala dan surga. Puasa ini masih digantungkan pada imbalan atau
upah sehingga masih mencipta sikap pamrih.
Sedang yang ketiga dengan menghadapkan seluruh hati
dan pikiran hanya kepada Allah. Bagi mereka puasanya akan batal hanya dengan
sejenak berfikir tentag dunia yang tidak ada kaitannya dengan ibadah. Berarti
puasa yang dilakukan semata-mata merupakan pengabdian kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar