Minggu, 28 Juli 2013

Puasa, Ibadah Kejujuran

      Puasa adalah ibadah kejujuran. Puasa yang bersifat personal, dalam arti dikerjakan sendiri dan merupakan rahasia antara shaim (orang yang puasa) dan Tuhannya, menanamkan sikap jujur bagi shaim. Tidak adanya orang lain yang dapat mengetahui tingkat kejujurannya membuka peluang baginya untuk melakukan penyimpangan saat berpuasa. Hanya kesadaran akan kehadiran Allah yang selalu mengawasi dan kesadaran akan tanggungjawab yang harus dipikul atas segala perbuatannya (taqwa) yang dapat menutup peluang itu.
       Untuk itu kejujuran bagi puasa amat menentukan. Kejujuran yang dimaksud adalah kepada diri sendiri dan Allah. Pernyataan Allah “puasa untuk-Ku”, memberi pengertian bahwa kejujuran shaim untuk tidak makan dan minum serta berhubungan seksual yang hanya karena-Nya itulah yang menjadi fokus penilaian. Berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, hampir tidak ada peluang bagi puasa untuk tidak ditujukan kepada Allah. Seorang anak misalnya berpuasa karena orang tuanya. Itu tidak mungkin, karena ketidakmampuan orang tua untuk dapat mengetahui sepenuhnya kejujuran puasa anaknya tersebut.
     Karenanya, hanya Allah yang mampu menilai puasa dan sekaligus memberikan balasannya. Ungkapan ini juga memberi pengertian bahwa puasa bukan untuk kepentingan Allah. Berbeda misalnya dengan puasa dalam tradisi agama-agama primitif, yang dilakukan untuk kepentungan dewa, seperti puasa untuk meredam kemarahan dewa, atau agar dewa bersuka hati hingga bersedia memberikan pertolongan, dan lain-lain.
Kejujuran ini merupakan manifestasi ketaqwaan. Berarti puasa bukan semata-mata ibadah fisik yang terkait dengan perut dan organ seks belaka. Yang terpenting adalah kualitas ketaqwaan. Dan karena ketaqwaan itu bersumber pada hati nurani maka fokus ibadah puasa adalah hati.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam Islam hampir tidak terdapat satu ibadah fisik belaka, melainkan selalu menyertakan dimensi batin. Perilaku fisik hanya menjadi media penguat dimensi batin tersebut. Meski demikian keduanya tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mengandung makna tersendiri. Seperti ibadah kurban, bukan hewan sembelihan yang dipersembahkan kepada Allah, melainkan ketaqwaan. Tetapi hewan sembelihan itu tidak dibuang sia-sia, melainkan harus dibagikan kepada fakir miskin. Berarti secara batin kurban merupakan satu manifestasi taqwa. Sedangkan secara fisik ia mengandung komitmen meringankan beban sosial masyarakat miskin. Ibadah kurban ini berbeda dengan ritus persembahan atau sesaji dalam agama-agama primitif yang mutlak dipersembahkan kepada dewa, dan membiarkan hidangan sesajinya mengering atau membusuk.
Puasa juga demikian, ketaqwaan yang diterima oleh Allah. Sementara penahanan sebagian kebutuhan biologis maupun ruhani berguna untuk memantapkan pribadi pelakunya. Memang secara syariat puasa cukup dengan menahan diri dari makan, minum dan berhubungan seksual. Kewajiban puasa sudah gugur. Namun jika berhenti sampi di situ maka nilai atau manfaat yang diperoleh juga sebatas fisik. Sementara manfaat secara batiniahnya kosong.
Satu bukti konkrit puasa tidak hanya ibadah fisik adalah adanya kemurahan (ruhsah) bagi orang-orang tertentu yang berhalangan untuk tidak berpuasa, seperti orang tua renta, sakit parah, sedang mengandung atau menyusui, sedang bepergian, dan lain-lain. Kemurahan bagi mereka sangat manusiawi, sehingga tidak bisa dibilang merupakan pembangkangan dari kewajiban.
Kenyataan ini membuktikan bahwa kejujuran dalam melakukan puasa itulah yang sangat ditekankan, bukan pada rasa berat secara fisik. Salah satu implikasi kejujuran yang ditanamkan oleh puasa adalah sikap amanah (dapat dipercaya dan bertanggungjawab). Dan jelas dapat diprediksi manfaat kejujuran puasa ini bagi kehidupan masyarakat.
Sampai di sini, kiranya patut kita perhatikan tiga model puasa menurut klasifikasi al-Ghazali, yang sekaligus menunjukkan tingkat puasa dan kejujuran shaim, dan tentunya dapat membedakan capaiannya, yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa sangat khusus.
Yang pertama adalah puasa yang hanya menekankan aspek syariat tadi. Puasa demikian hanya menunjukkan kepatuhan secara fisik, sehingga dapat mereduksi substansi yang mestinya diperhatikan. Implikasi sikap yang muncul dari puasa ini adalah masih adanya kesediaan untuk tetap melakukan kesalahan. Kalau dikatakan bahwa puasa tetap tidak mampu mengurangi tindak kejahatan, seperti korupsi, manupulasi, dan lain-lain di masyarakat, maka jelas puasanya sebatas dorongan syar’i ini.
Yang kedua di samping aspek syariat tadi ditambah dengan menjaga seluruh organ tubuh seperti telinga, mata, mulut, tangan dan kaki dan lain-lain dari berbuat salah atau dosa. Puasa demikian masih menyimpan rasa takut (khauf) dan harapan (raja’): takut terhadap siksa dan mengharapkan pahala dan surga. Puasa ini masih digantungkan pada imbalan atau upah sehingga masih mencipta sikap pamrih.
Sedang yang ketiga dengan menghadapkan seluruh hati dan pikiran hanya kepada Allah. Bagi mereka puasanya akan batal hanya dengan sejenak berfikir tentag dunia yang tidak ada kaitannya dengan ibadah. Berarti puasa yang dilakukan semata-mata merupakan pengabdian kepada Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar