Selasa, 06 Agustus 2013

Idul Fitri

Idul Fitri terdiri dari dua kata, yaitu ’id dan fithr. Kata ‘id yang dalam bahasa Arab bermakna kembali, dari asal kata ‘ada. Dalam rentang perjalanan waktu setiap orang akan kembali bertemu dengan hari raya Idul Firti setiap tahunnya. Kat ’id juga ada yang diambil dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan, yang bermakna bahwa umat Islam sudah biasa pada tanggal 1 Syawal selalu merayakannya.
Dalam Alquran diceritakan, ketika para pengikut Nabi Isa tersesat, mereka pernah berniat mengadakan ‘id (hari raya atau pesta) dan meminta kepada Nabi Isa agar Allah menurunkan hidangan mewah dari langit (QS. al-Maidah 112-114). Mungkin sejak masa itulah budaya hari raya sangat identik dengan makanan dan minuman yang serba mewah. Dan ternyata Allah pun mengkabulkan permintaan mereka lalu menurunkan makanan.(QS. al-Maidah: 115).
Mungkin cerita itu juga yang menjadi akar tradisi perayaan pesta Hari Raya Idul Fitri dengan menghidangkan makanan dan minuman mewah yang lain dari hari-hari biasa. Memang dalam hari raya tidak ada larangan menyediakan makanan, minuman, dan pakaian baru selama tidak berlebihan dan tidak melanggar larangan. Apalagi bila disediakan untuk yang membutuhkan.
Sedangkan kata fithr dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang berarti membedah atau membelah, bila dihubungkan dengan puasa maka ia mengandung makna berbuka puasa (ifthar). Karenanya ungkapan ”kembali kepada fitrah” ada yang menafsirkan kembali kepada keadaan normal, kehidupan manusia yang memenuhi kehidupan jasmani dan ruhaninya secara seimbang.
Sementara kata fithrah sendiri bermakna ”yang mula-mula diciptakan Allah.” Berkaitan dengan fitrah manusia, Allah berfirman dalam Alquran: “Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?. Mereka menjawab: ”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (QS. al-A’raf: 172).
Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh manusia pada firtahnya mempunya ikatan primordial yang berupa pengakuan terhadap ketuhanan Allah. Dalam hadis, Rasulallah juga mempertegas dengan sabdanya: “Setiap anak Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah: kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR. Bukhari).”
Hadits ini memperjelas kesaksian atau pengakuan seluruh manusia yang disebutkan Alquran di atas. Namun sayang tidak sedikit dari mereka yang melupakan ikatan primordial tersebut sehingga potensi dasar suci itu pun tak dapat dikembangkan sebagai penerang asasi bagi seluruh pola lakunya. Keterseretan meraka dalam kondisi seperti ini merupakan akibat dari ketersibukannya dengan hal-hal duniawi.
Idul Fitri dengan demikian berarti kembali pada fitrah. Seluruh rangkaian ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadan seharusnya mampu membawa pelakunya pada suatu kondisi psikologis dan ruhani yang bersih dan akrab dengan Allah. Itulah capaian tertinggi Ramadan yang dalam bahasa Alquran disebut muttaqi (orang yang bertakwa). Bergitulah fitrah manusia yang seharusnya terkondisikan setiap tahun.
Di dalam tradisi sufisme, fitrah manusia dikaitkan dengan penempatan cahaya (nur) dari Tuhan dalam diri manusia. Asal nur dari Tuhan ini sekaligus menunjukkan bahwa pada hakekatnya Dialah yang secara primordial memberikan sinaran (petunjuk), bimbingan, dan arahan pada perilaku dan hidup manusia.
Dari sini kemudian muncul istilah nurani (yang bersifat kecahayaan), yang dalam perbendaharaan bahasa Indonesia ditambah dengan hati (qalb) menjadi hati nurani. Dalam bahasa Arab juga digunakan kata dhamir, yang secara harfiah diartikan perasaan. Dengan demikian, kata nurani, hati atau dhamir, semuanya menunjukkan potensi yang cenderung kepada kebenaran, kebaikan, dan kejujuran (hanif).
Lagi-lagi sayang tidak sedikit manusia yang melupakan fitrahnya dan mengingkari hati nuraninya sendiri. Terhadap kenyataan seperti ini, Tuhan menyediakan fasilitas bagi manusia untuk kembali pada kondisi dasarnya (fitrah), yaitu dengan rangkaian ritual di dalam bulan suci Ramadan.
Siapapun yang mampu menjalankannya dengan baik dan benar dengan didasari keimanan yang utuh berarti ia telah menjalani proses mudik pada fitrahnya. Kegagalan dalam menjalani proses ini berarti menggiring pada absurditas dalam keberagamaan. Bukankah manusia sebagai makhluk yang serba terbatas (relativismus uber alles) justru memilih beragama sebagai langkah jitu dalam rangka menyempurnakan dirinya (insan kamil).
Namun demikian, perayaan idul fitri terasa belum sempurna jika masih menyisakan persoalan kemanusiaan. Oleh karenanya harus dibarengi dengan upaya menjalin hubungan yang harmonis antar sesama manusia, yaitu dengan menebar kasih yang diawali dengan ungkapan saling memaafkan, yang dalam tradisi masyarakat kita lazim disebut Halal bi Halal.
Dari sini ukuran keberhasilan perayaan idul fitri adalah kemampuan seseorang dalam mentransedensikan dirinya melalui olah rohani serta kemampuannya merajut jalinan kasih sayang dengan sesama manusia. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar