Idul Fitri terdiri dari dua kata, yaitu ’id
dan fithr. Kata ‘id yang dalam bahasa Arab bermakna kembali, dari
asal kata ‘ada. Dalam rentang perjalanan waktu setiap orang akan kembali
bertemu dengan hari raya Idul Firti setiap tahunnya. Kat ’id juga ada yang
diambil dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan, yang bermakna bahwa umat
Islam sudah biasa pada tanggal 1 Syawal selalu merayakannya.
Dalam Alquran diceritakan, ketika para
pengikut Nabi Isa tersesat, mereka pernah berniat mengadakan ‘id (hari raya
atau pesta) dan meminta kepada Nabi Isa agar Allah menurunkan hidangan mewah
dari langit (QS. al-Maidah 112-114). Mungkin sejak masa itulah budaya hari raya
sangat identik dengan makanan dan minuman yang serba mewah. Dan ternyata Allah
pun mengkabulkan permintaan mereka lalu menurunkan makanan.(QS. al-Maidah:
115).
Mungkin cerita itu juga yang menjadi akar
tradisi perayaan pesta Hari Raya Idul Fitri dengan menghidangkan makanan dan
minuman mewah yang lain dari hari-hari biasa. Memang dalam hari raya tidak ada
larangan menyediakan makanan, minuman, dan pakaian baru selama tidak berlebihan
dan tidak melanggar larangan. Apalagi bila disediakan untuk yang membutuhkan.
Sedangkan kata fithr dalam bahasa
Arab berasal dari kata fathara yang berarti membedah atau membelah, bila
dihubungkan dengan puasa maka ia mengandung makna berbuka puasa (ifthar).
Karenanya ungkapan ”kembali kepada fitrah” ada yang menafsirkan kembali kepada
keadaan normal, kehidupan manusia yang memenuhi kehidupan jasmani dan ruhaninya
secara seimbang.
Sementara kata fithrah sendiri
bermakna ”yang mula-mula diciptakan Allah.” Berkaitan dengan fitrah manusia,
Allah berfirman dalam Alquran: “Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?. Mereka menjawab: ”Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi.” (QS. al-A’raf: 172).
Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh manusia
pada firtahnya mempunya ikatan primordial yang berupa pengakuan terhadap
ketuhanan Allah. Dalam hadis, Rasulallah juga mempertegas dengan sabdanya:
“Setiap anak Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah: kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR. Bukhari).”
Hadits ini memperjelas kesaksian atau pengakuan
seluruh manusia yang disebutkan Alquran di atas. Namun sayang tidak sedikit
dari mereka yang melupakan ikatan primordial tersebut sehingga potensi dasar
suci itu pun tak dapat dikembangkan sebagai penerang asasi bagi seluruh pola
lakunya. Keterseretan meraka dalam kondisi seperti ini merupakan akibat dari
ketersibukannya dengan hal-hal duniawi.
Idul Fitri dengan
demikian berarti kembali pada fitrah. Seluruh rangkaian ibadah yang dilakukan
selama bulan Ramadan seharusnya mampu membawa pelakunya pada suatu kondisi
psikologis dan ruhani yang bersih dan akrab dengan Allah. Itulah capaian
tertinggi Ramadan yang dalam bahasa Alquran disebut muttaqi (orang yang
bertakwa). Bergitulah fitrah manusia yang seharusnya terkondisikan setiap
tahun.
Di dalam
tradisi sufisme, fitrah manusia dikaitkan dengan penempatan cahaya (nur)
dari Tuhan dalam diri manusia. Asal nur dari Tuhan ini sekaligus menunjukkan
bahwa pada hakekatnya Dialah yang secara primordial memberikan sinaran
(petunjuk), bimbingan, dan arahan pada perilaku dan hidup manusia.
Dari sini
kemudian muncul istilah nurani (yang bersifat kecahayaan), yang dalam
perbendaharaan bahasa Indonesia ditambah dengan hati (qalb) menjadi hati
nurani. Dalam bahasa Arab juga digunakan kata dhamir, yang secara
harfiah diartikan perasaan. Dengan demikian, kata nurani, hati atau dhamir,
semuanya menunjukkan potensi yang cenderung kepada kebenaran, kebaikan, dan
kejujuran (hanif).
Lagi-lagi
sayang tidak sedikit manusia yang melupakan fitrahnya dan mengingkari hati
nuraninya sendiri. Terhadap kenyataan seperti ini, Tuhan menyediakan fasilitas
bagi manusia untuk kembali pada kondisi dasarnya (fitrah), yaitu dengan
rangkaian ritual di dalam bulan suci Ramadan.
Siapapun yang
mampu menjalankannya dengan baik dan benar dengan didasari keimanan yang utuh
berarti ia telah menjalani proses mudik pada fitrahnya. Kegagalan dalam
menjalani proses ini berarti menggiring pada absurditas dalam keberagamaan.
Bukankah manusia sebagai makhluk yang serba terbatas (relativismus uber
alles) justru memilih beragama sebagai langkah jitu dalam rangka
menyempurnakan dirinya (insan kamil).
Namun
demikian, perayaan idul fitri terasa belum sempurna jika masih menyisakan
persoalan kemanusiaan. Oleh karenanya harus dibarengi dengan upaya menjalin
hubungan yang harmonis antar sesama manusia, yaitu dengan menebar kasih yang
diawali dengan ungkapan saling memaafkan, yang dalam tradisi masyarakat kita
lazim disebut Halal bi Halal.
Dari sini
ukuran keberhasilan perayaan idul fitri adalah kemampuan seseorang dalam
mentransedensikan dirinya melalui olah rohani serta kemampuannya merajut
jalinan kasih sayang dengan sesama manusia. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar