Rabu, 20 November 2013

Berpikir Bebas Dalam Beragama



“Sesungguhnya orang yang mengakui ber-Tuhan, tapi menolak berpikir bebas berarti menghina rasionalitas eksistensinya Tuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena kepercayaannya hanya sekedar kepura-puraan tersembunyi.” (Ahmad Wahib).

Barangkali kalau catatan hariannya tidak dibukukan oleh teman dekatnya, Djohan Effendi, nama Ahmad Wahib benar-benar terkubur bersama jasadnya. Seorang pemuda berdarah Madura yang turut mewarnai pergolakan pembaruan Islam di Indonesia pada tahun 1960-an dan awal 1970-an. Sayang, ia mati muda, sebelum sempat melakukan pengkajian lebih dalam terhadap pemikiran liar dan non-mainstreaming yang ia catat dalam diarenya.
Tidak heran kalau nama Ahmad Wahib luput dari perhatian para Indosianis, seperti Prof. B.J. Boland dari Belanda dan Dr. Kamal Hassan dari Malaysia, saat mereka melakukan pengkajian tentang gerakan pemaruan Islam di Indonesia.
Baru pada tahun 1981, delapan tahun meninggalnya (31 Maret 1973), saat catatan hariannya diterbitakan oleh LP3ES dengan judul yang provokatif, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, nama Wahib kembali diingat dan memperoleh puncak popularitasnya.
Usia Wahib yang pendek dan posisinya sebagai “intelektual di balik layar” memang membuat nama pemuda berperawakan kecil dan kurang meyakinkan ini tidak banyak dikenal. Tetapi di kalangan pemuda dan mahasiswa yang gandrung pada ide-ide pembaruan dan kawan-kawannya, seperti Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, ia dikenal sebagai pemuda yang agresif menyuarakan pentingnya pembaruan di tubuh Islam.
Sikap agresif Wahib mula-mula muncul dalam diri yang ditemuinya selalu gelisah. Kegelisahan ini tampak misalnya dalam catatanya, “Aku ingin al-Qur’an itu membentuk pola berpikirku. Aku tak tahu apakah selama ini aku sudah Islam atau belum. Tapi bagaimanakah mengintegrasikan al-Qur’an itu dalam kepribadianku? Bagaimana? Tuhan, aku rindu akan kebenaran-Mu.
Adalah kegelisahan yang mendorong Wahib untuk menyerukan berpikir bebas dalam rangka mencari kebenaran. Berpikir bebas bukan saja hak melainkan sebuah kewajiban. Orang yang berpikir, meskipun hasilnya salah, masih jauh lebih baik daripada orang yang tidak pernah salah karena tidak pernah berpikir.
Berpikir bebas meniscayakan tidak adanya batasan dalam pemikiran keagamaan. Karenanya, Wahib menolak pemikiran keagamaan yang dibatasi dengan tauhid sebagai konklusi globalitas ajaran Islam. Ia tidak menginginkan Islam yang membatasi kebebasan berpikir. Ia lebih memilih menjadi seorang kafir, atau paling tidak, muslim setengah hati, jika memang Islam memberikan batasan terhadap apa yang boleh dan tidak dipikirkan.
Wahib yakin Tuhan tidak membatasi pikirannya. Dia malah bangga dengan otaknya yang selalu bertanya-tanya tentang-Nya. “Aneh,” tulisnya, “mengapa berpikir hendak dibatasi. Apakah Tuhan takut terhadap rasio yang diciptakan oleh Tuhan sendiri?” Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan itu segar, hidup, tidak beku, dan Dia tak akan mau dibekukan
Meski demikian, Wahib sebenarnya tidak sampai pada tingkat mendewakan kekuatan berpikir manusia seolah-olah absolut. Kekuatan berpikir manusia memang ada batasnya, tetapi batasan itu baru akan diketahui setelah manusia berkali-kali mencoba menembusnya dan selalu gagal. Otak manusia tidak akan mampu melampaui batas kekuatannya. Kalau sudah begitu, tidak ada gunanya mempersoalkan batas, karena yang di luar batas itu sudah di luar kemampuan.
Piranti berpikir bebas ini kemudian digunakan Wahib untuk mengkritisi masalah-masalah sosial, politik, budaya dan, terutama, agama. Pada masalah agama, Wahib tidak segan-segan mengkritik sikap-sikap keberagamaan yang ekslusif dan pemikiran-pemikiran keagamaan yang sudah established.
Alih-alih Wahib menyerukan kepada umat Islam untuk tidak takut menggunakan piranti berpikir bebas tentang agama, termasuk berpikir pada wilayah eksistensi Tuhan. Ia menegaskan, “Sesungguhnya orang yang mengakui ber-Tuhan, tapi menolak berpikir bebas berarti menghina rasionalitas eksistensinya Tuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena kepercayaannya hanya sekedar kepura-puraan tersembunyi.”
Berpikir bebas ini mutlak diperlukan bagi upaya pembaruan Islam. Sebagaimana mutlaknya keharusan pembaruan Islam itu sendiri, seiring dengan perubahan struktur sosial yang dipicu oleh perubahan sosio-politik, terpuruknya kekuatan politik umat Islam, dan terjadinya ketegangan di internal umat Islam sendiri kaitannya dengan upaya merespon modernisme.
Ketegangan yang terjadi di kalangan modernis Islam telah sampai pada titik ekstrim, yaitu kelompok yang cenderung melibatkan agama secara total dalam setiap segi kehidupan dan kelompok yang mengeksklusi agama untuk berperan dalam perubahan sosial. Padahal, keduanya telah terjerembab dalam lubang kekeliruan yang sama. Faksi pertama abai terhadap elan vital wahyu karena lebih mengedepankan historical setting-nya. Dan faksi kedua cenderung menafikan peran agama sebagai penjelas realitas sosial.
Ketegangan itu kemudian diurai oleh Wahib dengan membedakan Islam das sollen dan Islam das sein. Islam das sollen adalah statis, abadi, universal dan sempurna. Ia menjadi sumber moral yang mampu menggugah dan menerangi jiwa manusia. Islam dalam pengertian ini bukan merupakan Islam barang jadi tinggal pakai, bukan Islam yang secara rinci mengatur tingkah laku dan mengatur hukum-hukum kehidupan. Ia hanya merupakan titik tolak bagi munculnya berbagai perilaku dan hukum yang terbentuk menurut historical setting suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu.
Berbeda dengan Islam das sein, Islam dalam pemahaman umat. Islam ini dinamis dan akan terus mengalami perubahan seiring perubahan ruang dan waktu. Tegasnya, terdapat perbedaan antara (agama) Islam dan konseptualisasi terhadapnya. Kesadaran seperti ini yang tampaknya tidak dimiliki oleh mayoritas umat Islam, sehingga mereka cenderung menganggap pemahamannya terhadap Islam merupakan pemahaman menurut Tuhan.
Melalui penegasan ini tampaknya Wahib berusaha mengambil posisi tengah di antara dua faksi kelompok modernis yang masih terbuai oleh pemahaman keagamaan yang dogmatis dan parsial. Mereka tidak mau berpikir terlalu jauh atau berpikir bebas karena takut pada murka Tuhan.
Wahib ragu bahwa manusia akan mampu menemukan Islam sebenar-benar Islam dalam pengertian Islam menurut pembuatnya sendiri, Allah. Sebab manusia merupakan makhluk yang profan, meruang dan mewaktu, sedangkan Tuhan dan kalam-Nya merupakan suatu yang transendental. Yang dapat dilakukan manusia hanya mendekati Tuhan dan mendekati Islam yang sejati (das sollen), bukan meraihnya.
Di sisi lain, (agama) Islam juga memerlukan bentuk. Tetapi bentuk itu sendiri bukan agama.  Dalam hal ini, ajaran-ajaran Islam yang dipercayai secara penuh oleh Wahib hanya Allah dan Muhammad. Selain itu tidak mutlak, kondisional. Agama dalam pengertian peraturan-peraturan yang dibawa oleh Nabi Allah itu tidak mutlak dan tidak boleh dimutlakkan. Yang boleh dimutlakkan hanya Tuhan.
Al-Qur’an dan hadis merupakan bentuk final Islam di era formasi Islam. Tetapi keduanya bukan Islam itu sendiri, karena keduanya secara material merupakan hal yang profan, hasil sintesa problem kemasyarakatan dan respon umat pada jamannya.
Karenanya, umat Islam secara individual perlu memberikan bentuk pada Islamnya yang tidak berbentuk. Dan bentuk tersebut semata-mata urusan individual sesuai dengan keunikan-keunikan dalam dirinya, penghayatannya terhadap kehidupan dan penafsirannya terhadap suatu bentuk sempurna yang telah pernah ada dalam sejarah Islam, yaitu sejaran Muhammad.
Sejarah Muhammad, menurut Wahib, merupakan sumber utama Islam, bukan al-Qur’an dan hadis. Bunyi al-Qur’an dan hadis adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan Muhammad sendiri. Dikatakan sebagian karena masih tersisa sejarah Muhammad yang lain, seperti struktur masyarakat, kebudayaan, struktur ekonomi, pola pemerintaha, hubungan luar negeri, adat istiadat, iklim, pribadi Muhammad sendiri dan para sahabatnya, dll.
Dengan meletakkan sejarah Muhammad dan perjuangannya sebagai sumber Islam setiap individu muslim akan terlibat dalam tugas historical direction untuk mengisap dari sejarah itu sumber terang bagi masa kini. Dalam tugas ini, aktifitas spiritual dan intelektual akan ikut bicara. Orang yang mampu melaksanakan tugas ini dengan baik dan memahami tugas historical directian sebagai panggilan sekaligus direct communication with God, ia akan bisa memahami wahyu Allah secara komplit, yaitu wahyu Allah yang turun kepadanya selain al-Qur’an yang turun ke Muhammad.
Dengan demikian, apa yang transenden dan yang ideal harus didekati terus-menerus. Dan pada saat yang sama realitas alam semesta secara keseluruhan (kauniyah) juga harus dipersandingkan. Inilah tugas manusia sesuai fitrahnya. Apalagi manusia memang tidak mengetahui batas kemampuan pikirannya.
Proses serupa itu harus dilakukan secara terus-menerus. Untuk itu, Wahib menyatakan pentingnya gerakan pembaruan dan harus terus-menerus dijalankan, mengingat kompleksitas masalah keagamaan di satu sisi, dan perbedaan tantangan dari zaman ke zaman pada sisi lain. Sehingga proses pembaruan menjadi tuntutan yang tak bisa dielakkan.
Pembaruan berarti tidak mengenal kata selesai. Sebab ia senantiasa mencari dan terus mencari kebenaran. “… gerakan pembaruan adalah suatu gerakan yang selalu dalam keadaan gelisah, tidak puas, senantiasa mencari dan bertanya tentang yang lebih benar dari yang sudah benar, dari yang lebih baik dari yang sudah baik.” tulis Wahib.



 Biodata dan Karya

Ahmad Wahib lahir dan besar di di tengah-tengah keluarga muslim santri di Sampang Madura pad 9 Nopember 1942. Wahib mewarisi watak sebagai pemberontak terutama soal keberagamaan dari ayahnya yang seorang kyai. Meski ia seorang “Gus,” tapi ia lebih memilih pendidikan umum; SMA Pamekasan tahun 1961, FIPA UGM Yogyakarta dan STF Driyakara Jakarta. Sayang, ia belum sempat menyelesaikan kuliahnya.

Wahib memiliki pergaulan yang cukup luas, selain di HMI dan Lingkaran Diskusi Limited Group. Pergaulan ini turut mendukung proses pencariannya, sekaligus membentuk pikiran-pikirannya, hingga ia menjadi seorang pemikir “radikal” dan progresif.

Sayang, Wahib keburu meninggal (31 Maret 1973) sebelum sempat menuangkan pikiran-pikiran “liarnya” dalam bentuk kajian yang komprehensip. Selain artikelnya tentang pembaruan pemikiran Islam, yang ia tulis sebagai laporan untuk majalah Tempo menggantikan Syu’ba Asa yang sedang sakit, hanya berupa catatan harian yang kemudian disunting oleh teman dekatnya, Djohan Effendi, untuk diterbitkan oleh LP3ES tahun 1981 dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar