Kemarin (14/11) merupakan hari kesepuluh bulan Muharram
menurut kalender Hijriyah atau yang lebih dikenal dengan sebutan “asyura.”
Dalam rentang sejarah manusia, hari itu memiliki keistimewaan yang cukup besar.
Tidak heran jika semua penganut agama-agama samawi, termasuk Islam,
memasukkannya dalam daftar hari-hari istimewa yang harus diperingati dengan
serangkaian ibadah.
Anjuran bentuk ibadah yang utama yang diberikan oleh Nabi
kaitannya dengan peringatan hari Asyura adalah berpuasa dan melapangkang nafkah
untuk keluarga. Dan saat ini bentuk ibadah itu berkembang hingga dalam bentuk
pemberian santunan kepada kaum dhuafa’ terutama anak yatim. Bahkan ada banyak
kalangan yang mengharapkan hari itu menjadi “hari anak yatim.”
Terkait dengan perkembangan bentuk ibadah terdapat
kontroversi; ada yang menganggapnya sebagai fadla’il al-‘a’mal (mengambil
keutamaan dalam beramal), apalagi amalan yang dilakukan termasuk dalam kategori
ibadah sosial. Tetapi tidak sedikit pula yang menggolongkannya sebagai bentuk
bid’ah yang wajib dijauhi bagi orang menginginkan berislam secara murni.
Mari kita tinggalkan kontroversi itu dan kembali pada keutamaan
hari Asyura. Di dalam kitab Irsyad al-‘Ibad Ila Sabilal-Rasyad karya Zainuddin
Ibnu Abdul Aziz al-Malibari, kitab yang banyak dikaji terutama di
pesantren-pesantren salaf, dituturkan sebuah kisah tentang Athiyah bin Khalaf.
Diceritakan dia adalah seorang
penduduk Mesir yang berprofesi sebagai pedagang kurma. Dia termasuk orang yang
kaya raya. Dia sempat mendapatkan kekayaan yang melimpah dari profesinya
itu.tetpi karena suatu hal dia jatuh miskin. Dia tidak punya apa-apa kecuali
pakaian yang melekat di badan untuk menutupi auratnya.
Ketika
hari Asyura datang, dia melakukan shalat shubuh di Masjid Amru bin Ash. Setiap
hari Asyura masjid itu penuh dengan orang-orang yang ingin memanjatkan doa,
termasuk para wanita. Di hari-hari biasa masjid itu dinyatakan tertutup bagi
kaum wanita.
Seperti
jama’ah yang lain, Athiyah beri’tikaf dan berdoa. Dia mengambil tempat yang
terpisah dari kaum wanita. Tetapi tiba-tiba datang kepadanya seorang wanita
bersama anak-anak yang masih kecil.
Wanita
itu berkata: “Wahai tuan, aku minta kepadamu, demi Allah, semoga tuan bisa
meringankan kesulitanku dan rela memberikan sesuatu yang bisa kugunakan untuk
memenuhi kebutuhan makan anak-anak ini. Bapak mereka telah meninggal. Dia tidak
meninggalkan satu apapun untuk mereka. Aku adalah Syarifah. Aku tidak tahu
siapa yang aku tuju.
Aku tidak keluar kecuali hari ini, itupun karena keterpaksaan yang mendorongku untuk mengorbankan diri. Dan itu bukan merupakan kebiasanku.”
Aku tidak keluar kecuali hari ini, itupun karena keterpaksaan yang mendorongku untuk mengorbankan diri. Dan itu bukan merupakan kebiasanku.”
Athiyah
terharu terhadap keluhan wanitaitu. Dia berkata dalam hatinya: “Aku tidak
mempunyai apa-apa. Tidak ada milikku keculai baju ini. Jika aku lepas akan terbukalah
tubuhku. Tetapi jika wanita ini aku tolak, alasan apakah yang akan aku
kemukakan pada Rasulullah.”
Di
tengah kebingungannya, Athiyah berkata kepada wanita itu: “Mari ikut aku ke
rumahku. Aku akan memberimu sesuatu.”
Wanita
itu pun mengikuti ajakan Athiyah. Sesampai di rumahnya, Athiyah memintanya
menunggu di depan pintu, sementara dia masuk
ke rumah untuk melepas bajunya. Dengan mengenakan sarung lusuh dia kembali
menemui wanita itu dari balik pintu untuk memberikn baju yang dilepasnya tadi kepada
wanita itu.
Wanita
itu menerimanya dengan mendoakan Athiyah: “Semoga Allah memberikan pada tuan
pakaian-pakaian surga dan tuan tidak akan membutuhkan kepada orang lain selama
hidup tuan.”
Athiyah
merasa senang dengan doa wanita itu. Dia kemudian menutup pintunya. Dia tidak
keluar rumah lagi karena sibuk berdzikir hingga larut malam dan tertidur. Di
dalam tidurnya dia bermimpi melihat bidadari, belum pernah dia melihat seorang wanita
yang lebih cantik darinya. Tangan wanita itu memegang buah apel yang bau harumnya
semerbak ke sekitarnya, seolah mengharumkan seluruh antara langit dan bumi.
Wanita
itu membrikan buah apel tersebut kepada Athiyah. Ketika apel itu dibelah, darinya
keluar pakaian dari pakian surga yang tidak terbanding dengan pakaian di dunia.
Wanita itu meminta izin kepada Athiyah untuk mengenkan pakaian itu pada
tubuhnyanya. Sebelum kemudian wanita itu duduk manja di pangkuan Athiyah.
Athiyah
lantas bertanya: “Siapakah kamu ini?” “Aku adalah 'Asyura, istrimu di surga,”
jawab bidadari itu. “Dengan amal apa hingga aku memperoleh kemuliaan seperti
ini?” tanya Athiyah. Bidadari itu menjawab: “Dengan seorang janda miskin, dan
anak-anak yatim yang kemarin engkau telah berbuat baik kepada mereka.”
Kemudian
Athiyah terbangun, dan dia sangat senang yang tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Allah, sementara tempat dimana dia berada semerbak dari bau wanginya. Dia
kemudian mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat dua rakaat sebagai tanda
rasa syukurnya kepada Allah.
Seusai
shalat, dia mengangkat pandangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Tuhanku.
Apabila mimpi dalam tidurku itu benar dan bidadari dalam mimpiku itu adalah
istriku di surga, maka matikanlah aku saat ini juga untuk bertemu dengan-Mu.”
Belum usai doa dipanjatkan, Allah menyegerakan ruh Athiyah ke surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar