Rabu, 02 November 2011

Berkurban Untuk Kaum Lemah

Pada suatu saat Nabi berkumpul bersama para sahabatnya yang sebagian besar tergolong miskin. Di antara sahabat yang miskin itu adalah –sekedar menyebut beberapa nama– Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Bilal, Suhayb, Khabab bin al-Arat. Mereka semua, meski eks budak dan miskin tetapi tergolong sahabat senior dan perintis perjuangan Islam.
Sesaat kemudian datang serombongan bangsawan yang baru masuk Islam untuk menghadap Nabi. Melihat Nabi sedang berada di antara para eks budak yang miskin itu mereka agak enggan untuk langsung menghadap. Mereka pun tak bisa menyembunyikan ekspresi kebenciannya, hingga mereka sepakat untuk mengajukan satu usulan kepada Nabi agar mereka ditemui dalam majelis yang terpisah. "Kami mengusulkan kepada Anda agar Anda menyediakan majelis khusus bagi kami. Orang-orang Arab akan mengenal kemuliaan kita. Para utusan dari berbagai kabilah Arab akan datang untuk menemui Anda. Kami merasa malu kalau mereka melihat kami duduk dengan budak-budak itu. Bila kami datang menemui Anda, maka jauhkan mereka dari kami. Dan bila urusan kami sudah selesai, maka Anda boleh duduk bersama mereka sesuka Anda," ungkap mereka.
Uyainah bin Hishn yang ada dalam rombongan itu menambahkan, "Baunya Salman al-Farisi mengangguku. Untuk itu, buatlah majelis khusus bagi kami hingga kami tidak berkumpul bersama mereka. Dan buat juga majelis bagi mereka hingga mereka tidak berkumpul bersama kami."
Dan tiba-tiba pada saat itu juga Jibril datang membawa firman Tuhan,
"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim." (al-An'am [6]: 52)
Nabi segera menyuruh para sahabat yang miskin untuk mengambil tempat duduk yang lebih dekat lagi dengannya, sampai lutut-lutut mereka merapat dengan lututnya. "Salam 'Alaikum," kata Nabi dengan keras, seakan-akan memberikan jawaban kepada usul para pembesar Quraisy.
Setelah itu, Jibril menyampaikan lagi, "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (al-Kahfi [18]: 28)
Dikisahkan bahwa sejak itu Nabi tidak akan meninggalkan tempat duduknya ketika sedang berada dalam satu majelis dengan kaum miskin sebelum mereka pergi lebih dulu. Ia juga memilih duduk dalam kelompok mereka bila mendatangi suatu majelis. Ia sering kali berkata, "Alhamdulillah, terpuji Allah yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah hari, yang ukurannya 500 tahun. Mereka bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya."
Begitulah contoh sikap keberpihakan kepada kelompok lemah yang ditunjukkan oleh Nabi. Namun demikian, tampaknya sikap seperti yang ditunjukkan oleh bangsawan Qurasy tersebut selalu saja terulang sepanjang sejarah manusia. Di sekitar kita tidak terlalu sulit untuk mencari contoh orang yang bersikap seperti itu, atau bahkan diri kita masih memiliki kecenderungan untuk bersikap demikian. Hal ini barangkali karena sangat kuatnya dominasi standart ekonomi dalam melihat strata sosial dalam masyarakat. Padahal sikap ini justru memiliki potensi untuk memposisikan kelompok lemah hanya sebagai pelengkap guna menunjang kepentingan-kepentingan golongan kaya, dan menafikan suatu komitmen untuk mengangkat taraf hidup mereka (berkorban).
Dari sini patut diingat kembali pernyataan Tuhan bahwa Ia tidak melihat seseorang pada penampilan fisiknya, tetapi lebih pada bobot ketaqwaannya. Tidak ada beda antara golongan kaya dan miskin, pemimpin dan rakyat, dan sebagainya, selain konsistensinya pada penerapan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan dalam kehidupannya (taqwa). Salah satu wujud konkrit ketaqwaan itu adalah kemauan untuk berkorban guna menghapus ketimpangan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Inilah salah satu makna sosiologis simbol ritual "kurban" dalam Islam yang tampaknya harus terus dikembangkan guna menemukan fungsi transformatifnya bagi masyarakat. Kalau selama ini fugsi transformatif ini belum banyak terwujudkan barangkali karena masih dominannya motiv-motiv yang melatarbelakangi pelaksanaan kurban lebih bersifat individual, yaitu mengharapkan keselamatan dari siksa Tuhan nanti di akhirat, hingga aspek sosialnya hanya menjadi perhatian nomor dua. Padahal kalau pun motiv itu dibalik tetap saja tidak akan mengurangi fingsi individual ritual kurban tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar