Pada suatu saat Nabi berkumpul bersama para sahabatnya yang sebagian besar
tergolong miskin. Di antara sahabat yang miskin itu adalah –sekedar menyebut
beberapa nama– Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Bilal, Suhayb, Khabab bin
al-Arat. Mereka semua, meski eks budak dan miskin tetapi tergolong sahabat
senior dan perintis perjuangan Islam.
Sesaat kemudian datang serombongan bangsawan yang baru masuk Islam untuk
menghadap Nabi. Melihat Nabi sedang berada di antara para eks budak yang miskin
itu mereka agak enggan untuk langsung menghadap. Mereka pun tak bisa
menyembunyikan ekspresi kebenciannya, hingga mereka sepakat untuk mengajukan
satu usulan kepada Nabi agar mereka ditemui dalam majelis yang terpisah. "Kami
mengusulkan kepada Anda agar Anda menyediakan majelis khusus bagi kami.
Orang-orang Arab akan mengenal kemuliaan kita. Para utusan dari berbagai
kabilah Arab akan datang untuk menemui Anda. Kami merasa malu kalau mereka
melihat kami duduk dengan budak-budak itu. Bila kami datang menemui Anda, maka jauhkan
mereka dari kami. Dan bila urusan kami sudah selesai, maka Anda boleh duduk
bersama mereka sesuka Anda," ungkap mereka.
Uyainah bin Hishn yang ada dalam rombongan itu menambahkan, "Baunya
Salman al-Farisi mengangguku. Untuk itu, buatlah majelis khusus bagi kami
hingga kami tidak berkumpul bersama mereka. Dan buat juga majelis bagi mereka
hingga mereka tidak berkumpul bersama kami."
Dan tiba-tiba pada saat itu juga Jibril datang membawa firman Tuhan,
"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim." (al-An'am [6]: 52)
"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim." (al-An'am [6]: 52)
Nabi segera menyuruh para sahabat yang miskin untuk mengambil tempat duduk yang
lebih dekat lagi dengannya, sampai lutut-lutut mereka merapat dengan lututnya.
"Salam 'Alaikum," kata Nabi dengan keras, seakan-akan memberikan
jawaban kepada usul para pembesar Quraisy.
Setelah itu, Jibril menyampaikan lagi, "Dan bersabarlah kamu
bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari
dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu
mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta
menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (al-Kahfi
[18]: 28)
Dikisahkan bahwa sejak itu Nabi tidak akan meninggalkan tempat duduknya
ketika sedang berada dalam satu majelis dengan kaum miskin sebelum mereka pergi
lebih dulu. Ia juga memilih duduk dalam kelompok mereka bila mendatangi suatu
majelis. Ia sering kali berkata, "Alhamdulillah, terpuji Allah yang
menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama
mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim
dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum
orang-orang kaya setengah hari, yang ukurannya 500 tahun. Mereka
bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa
amalnya."
Begitulah contoh sikap keberpihakan kepada kelompok lemah yang ditunjukkan
oleh Nabi. Namun demikian, tampaknya sikap seperti yang ditunjukkan oleh
bangsawan Qurasy tersebut selalu saja terulang sepanjang sejarah manusia. Di
sekitar kita tidak terlalu sulit untuk mencari contoh orang yang bersikap
seperti itu, atau bahkan diri kita masih memiliki kecenderungan untuk bersikap
demikian. Hal ini barangkali karena sangat kuatnya dominasi standart ekonomi dalam
melihat strata sosial dalam masyarakat. Padahal sikap ini justru memiliki
potensi untuk memposisikan kelompok lemah hanya sebagai pelengkap guna
menunjang kepentingan-kepentingan golongan kaya, dan menafikan suatu komitmen
untuk mengangkat taraf hidup mereka (berkorban).
Dari sini patut diingat kembali pernyataan Tuhan bahwa Ia tidak melihat
seseorang pada penampilan fisiknya, tetapi lebih pada bobot ketaqwaannya. Tidak
ada beda antara golongan kaya dan miskin, pemimpin dan rakyat, dan sebagainya,
selain konsistensinya pada penerapan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan
dalam kehidupannya (taqwa). Salah satu wujud konkrit ketaqwaan itu adalah
kemauan untuk berkorban guna menghapus ketimpangan sosial yang terjadi dalam
masyarakat.
Inilah salah satu makna sosiologis simbol ritual "kurban" dalam
Islam yang tampaknya harus terus dikembangkan guna menemukan fungsi
transformatifnya bagi masyarakat. Kalau selama ini fugsi transformatif ini
belum banyak terwujudkan barangkali karena masih dominannya motiv-motiv yang
melatarbelakangi pelaksanaan kurban lebih bersifat individual, yaitu
mengharapkan keselamatan dari siksa Tuhan nanti di akhirat, hingga aspek
sosialnya hanya menjadi perhatian nomor dua. Padahal kalau pun motiv itu dibalik
tetap saja tidak akan mengurangi fingsi individual ritual kurban tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar