Rabu, 25 Juli 2012

Bulan Ibadah

          Salah satu sebutan bagi Ramadlan adalah “syahr al-‘ibadah” (bulan ibadah). Sebutan ini lebih didasarkan pada kebijakan Tuhan untuk melipatgandakan pahala setiap perbuatan baik yang dikerjakan oleh umat Islam di dalam bulan ini. Berbagai aktivitas ibadah terasa ringan bagi mereka untuk dikerjakan, hingga tak heran kalau masjid, musallah, maupun di tempat-tempat lain selalu ramai dengan aktivitas ibadah, seperti membaca al-Qur’an (tadarrus), shalat tarawih, i’tikaf, pengajian, dan lain-lain. Inilah salah satu keistimewaan bulan Ramadlan yang sampai sekarang dapat dirasakan.
            Dalam suasana ibadah yang sedang menguat ini, ada baiknya arti ibadah itu sendiri kembali direnungkan mengingat masih adanya sebagian orang yang memahaminya secara parsial dan artifisial, dalam pengertian ibadah hanya dipahami sebagai sederetan rutinitas ritual hingga banyak bidang ibadah yang belum banyak mendapat perhatian. Kondisi ini dapat berakibat pada munculnya sosok muslim yang kepribadiannya tidak seimbang. Contoh konkrit pribadi serupa ini adalah orang yang rajin menjalankan shalat tetapi dalam perilaku kesehariannya masih banyak ditemukan indikasi penyimpangan dari nilai moralitas Islam.
         Pijakan dasar nash tentang ibadah ini sangat banyak. Salah satunya adalah  pernyataan Tuhan bahwa Ia tidak mencipta manusia dan jin kecuali agar mereka beribadah kepada-Nya, dan penegasan Nabi bahwa ibadah merupakan hak Tuhan atas hambanya-Nya, yang apabila dipenuhi, Ia akan menjamin keselamatannya dari siksa-Nya.
        Kata ibadah itu sendiri berasal dari bahasa Arab “‘ibadah” yang berarti tunduk, patuh, dan merendahkan diri. Ibadah dalam pengertian ini merupakan implikasi fitrah manusia. Artinya manusia itu selalu mengejawantahkan ketundukannya terhadap sesuatu (tuhan). Sesuatu merupakan kata umum, bisa menunjukkan benda alamiah seperti patung, pepohonan, sungai, matahari, bulan, dan lain-lain, bisa juga menunjukkan bentuk ideologi seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan lain-lian. Kepatuhan seseorang hanya kepada hal-hal tersebut berarti ia telah menjadikannya sebagai tuhannya, relevan dengan sebutan al-Qur’an terhadap orang yang hanya menuruti nafsunya (tunduk dan patuh kepada selain Allah) sebagai orang yang menjadikan nafsunya sebagai Tuhanya.
       Tetapi jelas bukan demikian yang dikehendaki Islam, karena ketundukan dan kepatuhan tersebut hendaknya hanya kepada Allah, sesuai dengan arti dasar Islam itu sendiri yaitu patuh dan pasrah hanya kepada Allah. Ibadah dalam pemahaman seperti ini sekaligus dapat menunjukkan tujuan utamanya, yaitu memperoleh kerelaan (ridla) Allah, sebab hanya kerelaan ini yang mampu menghantarkan pertemuan antara manusia dan Tuhannya nanti di akhirat, sesuai dengan janji-Nya bahwa “siapa saja yang ingin bertemu Tuhannya maka hendaknya ia melakukan amal perbuatan yang baik (amal saleh).” –Amal saleh yang dimaksud di sini tidak lain merupakan artikulasi ibadah.
     Untuk itu, ibadah membutuhkan sikap ikhlas, karena hakikat ikhlas adalah mengorientasikan ibadah hanya kepada ridla Tuhan. Berarti ibadah yang tidak disertai keikhlasan dengan sendirinya tidak berarti apa-apa bagi Tuhan, hingga implikasi bagi yang mengerjakannya juga nol. Dengan demikian keikhlasan merupakan salah satu wujud komitmen dari keimanan yang mendasari ibadah itu sendiri, atau keimanan yang dimanifestasikan dalam bentuk amal saleh.
        Adapun ibadah dalam makna terminologisnya adalah mengikuti ajaran Nabi yang berupa perintah dan larangan. Dan karena dalam perintah itu ada kategori wajib dan sunnah dan dalam larangan itu ada kategori haram dan makruh, maka secara praktis ibadah dapat diartikan sebagai tindakan mengerjakan kewajiban dan sunnah serta meninggalkan hal-hal yang haram dan makruh.
           Pengertian ibadah seperti ini jelas sangat longgar. Artinya seluruh perbuatan baik yang diniatkan menjalankan perintah Tuhan dan meninggalkan larangan-Nya tergolong ibadah. Kalau dalam al-Qur’an dan hadits banyak disebut tentang perintah dan larangan yang menyangkut seluruh totalitas manusia (hati, jiwa, raga, pikiran, dan harta), maka hal itu sekaligus menunjukkan sangat banyaknya ragam ibadah.
         Secara teknis, ibadah ada yang formal (muqayyadah), terikat aturan-aturan tertentu berupa syarat dan rukun, dan ada yang nonformal (muthlaqah), pelaksanaannya tergantung pada pelakunya kaitannya dengan situasi dan kondisi. Berdasarkan cakupan manfaatnya, ibadah ada yang tergolong individual (syahsiyah) dan ada yang tergolong sosial (ijtima’iyah). Di sisi lain ibadah juga ada yang dikelompokkan dalam ibadah material (maliyah) dan fisik (badaniyah).
        Berangkat dari banyaknya ragam ibadah ini, setiap individu dapat mengerjakannya sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya; ilmuwan dan ulama dengan ilmunya; hartawan dengan hartanya; pemimpin dengan kekuasaannya; kaum miskin dengan kekuatan fisiknya, dan lain-lain.
       Begitu juga kaitannya dengan ibadah di bulan Ramadlan, sudah tentu Islam tidak menganjurkan untuk hanya mengutamakan ibadah yang formal, individual, dan fisikal saja tetapi juga harus disertai dengan yang nonformal, sosial, dan material. Hal ini seperti dapat ditemui pada banyaknya anjuran Nabi tentang bersedekah sekaligus keutamaannya di bulan Ramadhan di samping anjuran untuk memperbanyak ibadah ritualnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar