Tradisi berlebaran yang khas di negeri ini
adalah halal bi halal. Tradisi ini sungguh merupakan tradisi yang sangat baik,
mengingat ia dapat melengkapi kefitrahan setiap mukmin yang setelah melalui
proses penghambaan yang utuh selama bulan Ramadan. Sebab jaminan kembali pada
fitrah tersebut hanya terkait dengan dimensi vertikal (habl min Allah).
Taubat seorang mukmin yang diajukan kepada
Allah di bulan Ramadan melalui serangkaian ibadah wajib dan sunat hanya
menyangkut kesalahan dan dosa kepada Allah. Tegasnya Allah hanya mengampuni
dosa yang terkait lang denganNya. Sementara kesalahan dan dosa yang berdimensi
horizontal (habl min al-nas) masih ditangguhkan sampai orang yang bersangkutan
menyelesaikannya.
Di sinilah letak nilai pentingnya tradisi
halal bi halal, yaitu sebagai suatu upaya membersihkan diri dari kesalahan dan
dosa horizontal. Dengan berhalal bi halal maka setiap mukmin akan benar-benar
mampu naik tingkat ke dalam golongan orang-orang yang kembali pada fitrahnya
dan orang-orang yang beruntung lagi bahagia (minal a’idin wal faizin).
Namun, yang patut diperhatikan adalah
pelaksanaan halal bi halal itu sendiri. Seorang yang melakukan halal bi halal
hanya bermotiv melestarikan tradisi, misalnya. Maka dia tidak mendapatkan apa-apa
selain kenyataan bahwa tradisi itu masih
tetap lestari, di mana dia turut ambil bagian dalam pelestarian itu.
Ada yang hanya mengalir bagaikan air, hanyut
dalam eforia bermaaf-maafan, tanpa dibarengi denga upaya membersihkan diri dari
kesalahan dan dosa horizontal. Pola ini yang nampaknya menjadi pilihan
mayoritas umat mukmin di negeri ini, termasuk para penjahat dan para koruptor.
Jika demikian halnya, maka jauh panggang dari apai. Artinya halal bi halal yang
dilakukan belum mampu berfungsi sebagai pelengkap untuk mencapai kefitrahan.
Sebagaimana telah menjadi maklum bahwa ada
kesalahan-kesalahan yang kita lakukan kepada orang lain atau sebaliknya yang
mudah dimaafkan dan tidak mudah untuk dimaafkan. Yang pertama biasanya terkait
dengan kesalahan-kesalahan kecil baik yang disengaja atau tidak. Sementara yang
kedua terkait dengan hal-hal besar dan prinsipil. Sudah tentu kesalahan yang
kedua ini tidak bisa selesai hanya dengan bermaaf-maafan tanpa adanya suatu
upaya penyelesaian yang nayata.
Sampai di sini, kiranya patut kita membaca
kembali ajaran Islam tentang taubat, sebab halal bi halal itu tidak lain adalah
salah satu bentuk taubat. Taubat secara harfiah berarti kembali. Manusia yang
pada dasarnya baik, dengan bertaubat dia akan kembali baik, setelah sekian lama
terjerumus dalam keburukan.
Taubat juga ada yang terhitung serius/tulus
(taubat nashuha), ada yang tidak. Untuk menilai tingkat keseriusannya paling
tidak ada empat kreteria yang harus dipenuhi, yaitu 1) meninggalkan kesalahan dan
dosa yang diperbuat dengan penuh kesadaran tentang keburukannya, 2)
bersungguh-sungguh menyesalinya, 3) berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,
dan 4) menggantinya dengan perilaku yang baik.
Keempat kreteria ini berlaku baik bagi dosa
vertikal maupun harizontal. Bertaubat untuk kesalahan pertama hanya membutuhkan
permohonan maaf (istighfar) kepada Allah. Tetapi untuk kesalahan yang kedua istighfar
saja tidak cukup, harus dibarengi dengan penyelesaian secara tuntas hak-hak orang
lain yang menjadi tanggungjawabnya.
Taubat seorang pencuri misalnya, di samping
harus memohon ampunan kepada Allah, dia juga harus memohon maaf kepada seluruh
korbannya dengan atau tanpa syarat, dan mengembalikan seluruh hasil curiannya.
Jika korbannya sudah meninggal maka diselesaikan dengan ahli warisnya. Dan jika
juga tidak ada maka dibelanjakan untuk kemaslahatan umat. Sama halnya dengan
koruptor, karena keduanya sama-sama maling,.
Lebaran bagi koruptor tidak lain adalah
moment untuk bertaubat. Karenanya dalam berhalal bi halal hendaknya dia
membeberkan korupsi yang dilakukannya disertai dengan pengembalian seluruh
hasil korupsinya, sekaligus turut menyelesaikan seluruh dampak sosio-ekonomi
yang ditimbulkan oleh perbuatannya tersebut. Jadi tidak hanya cukup dengan
permohonan maaf dan tetap membiarkan kerusakan sistem yang diakibatkan oleh
perbuatannya.
Memang tampak berat, tapi setimpal dengan
beratnya kejahatan yang dilakukan. Dan ini merupakan satu harga mahal yang
harus dibayar demi mencapai kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat,
seperti yang tertuang dalam do’anya setiap habis shalat (rabbana atina fi
ad-dunya hasanah wa fi al-akhirati hasanah).
Tetapi tampaknya bukan prasyarat yang cukup
memberatkan ini yang membuat para koruptor enggan untuk bertaubat. Ketercorengan
“harga diri” di hadapan masyarakat mengalahkan rasa malunya (haya’) di hadapan Allah.
Alpa pada laranganNya agar tidak menjual agamanya demi kepentingan duniawi
semata, dan tentang tanggungjawab personal di hadapanNya.
Penegasan terakhir tersebut meneguhkan sikap naif
para koruptor “hidup adalah permainan.” Alih-alih mereka menampakkan kesadaran
religiusnya saat berlebaran dan berhalal bi halal. Mereka malah menjadikannya
sebagai bagian dari permainannya. Logika kembali pada fitrah dijadikan momentum
untuk merasa bahwa dirinya benar-benar telah bersih, termasuk dari kejahatan
korupsi. Sehingga pasca Idul Fitri korupsinya menjadi semakin menggila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar