Rabu, 29 Agustus 2012

Lebaran Bagi Koruptor

Tradisi berlebaran yang khas di negeri ini adalah halal bi halal. Tradisi ini sungguh merupakan tradisi yang sangat baik, mengingat ia dapat melengkapi kefitrahan setiap mukmin yang setelah melalui proses penghambaan yang utuh selama bulan Ramadan. Sebab jaminan kembali pada fitrah tersebut hanya terkait dengan dimensi vertikal (habl min Allah).
Taubat seorang mukmin yang diajukan kepada Allah di bulan Ramadan melalui serangkaian ibadah wajib dan sunat hanya menyangkut kesalahan dan dosa kepada Allah. Tegasnya Allah hanya mengampuni dosa yang terkait lang denganNya. Sementara kesalahan dan dosa yang berdimensi horizontal (habl min al-nas) masih ditangguhkan sampai orang yang bersangkutan menyelesaikannya.
Di sinilah letak nilai pentingnya tradisi halal bi halal, yaitu sebagai suatu upaya membersihkan diri dari kesalahan dan dosa horizontal. Dengan berhalal bi halal maka setiap mukmin akan benar-benar mampu naik tingkat ke dalam golongan orang-orang yang kembali pada fitrahnya dan orang-orang yang beruntung lagi bahagia (minal a’idin wal faizin).
Namun, yang patut diperhatikan adalah pelaksanaan halal bi halal itu sendiri. Seorang yang melakukan halal bi halal hanya bermotiv melestarikan tradisi, misalnya. Maka dia tidak mendapatkan apa-apa selain kenyataan  bahwa tradisi itu masih tetap lestari, di mana dia turut ambil bagian dalam pelestarian itu.
Ada yang hanya mengalir bagaikan air, hanyut dalam eforia bermaaf-maafan, tanpa dibarengi denga upaya membersihkan diri dari kesalahan dan dosa horizontal. Pola ini yang nampaknya menjadi pilihan mayoritas umat mukmin di negeri ini, termasuk para penjahat dan para koruptor. Jika demikian halnya, maka jauh panggang dari apai. Artinya halal bi halal yang dilakukan belum mampu berfungsi sebagai pelengkap untuk mencapai kefitrahan.
Sebagaimana telah menjadi maklum bahwa ada kesalahan-kesalahan yang kita lakukan kepada orang lain atau sebaliknya yang mudah dimaafkan dan tidak mudah untuk dimaafkan. Yang pertama biasanya terkait dengan kesalahan-kesalahan kecil baik yang disengaja atau tidak. Sementara yang kedua terkait dengan hal-hal besar dan prinsipil. Sudah tentu kesalahan yang kedua ini tidak bisa selesai hanya dengan bermaaf-maafan tanpa adanya suatu upaya penyelesaian yang nayata.
Sampai di sini, kiranya patut kita membaca kembali ajaran Islam tentang taubat, sebab halal bi halal itu tidak lain adalah salah satu bentuk taubat. Taubat secara harfiah berarti kembali. Manusia yang pada dasarnya baik, dengan bertaubat dia akan kembali baik, setelah sekian lama terjerumus dalam keburukan.
Taubat juga ada yang terhitung serius/tulus (taubat nashuha), ada yang tidak. Untuk menilai tingkat keseriusannya paling tidak ada empat kreteria yang harus dipenuhi, yaitu 1) meninggalkan kesalahan dan dosa yang diperbuat dengan penuh kesadaran tentang keburukannya, 2) bersungguh-sungguh menyesalinya, 3) berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, dan 4) menggantinya dengan perilaku yang baik.
Keempat kreteria ini berlaku baik bagi dosa vertikal maupun harizontal. Bertaubat untuk kesalahan pertama hanya membutuhkan permohonan maaf (istighfar) kepada Allah. Tetapi untuk kesalahan yang kedua istighfar saja tidak cukup, harus dibarengi dengan penyelesaian secara tuntas hak-hak orang lain yang menjadi tanggungjawabnya.
Taubat seorang pencuri misalnya, di samping harus memohon ampunan kepada Allah, dia juga harus memohon maaf kepada seluruh korbannya dengan atau tanpa syarat, dan mengembalikan seluruh hasil curiannya. Jika korbannya sudah meninggal maka diselesaikan dengan ahli warisnya. Dan jika juga tidak ada maka dibelanjakan untuk kemaslahatan umat. Sama halnya dengan koruptor, karena keduanya sama-sama maling,.
Lebaran bagi koruptor tidak lain adalah moment untuk bertaubat. Karenanya dalam berhalal bi halal hendaknya dia membeberkan korupsi yang dilakukannya disertai dengan pengembalian seluruh hasil korupsinya, sekaligus turut menyelesaikan seluruh dampak sosio-ekonomi yang ditimbulkan oleh perbuatannya tersebut. Jadi tidak hanya cukup dengan permohonan maaf dan tetap membiarkan kerusakan sistem yang diakibatkan oleh perbuatannya.
Memang tampak berat, tapi setimpal dengan beratnya kejahatan yang dilakukan. Dan ini merupakan satu harga mahal yang harus dibayar demi mencapai kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat, seperti yang tertuang dalam do’anya setiap habis shalat (rabbana atina fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirati hasanah).
Tetapi tampaknya bukan prasyarat yang cukup memberatkan ini yang membuat para koruptor enggan untuk bertaubat. Ketercorengan “harga diri” di hadapan masyarakat mengalahkan rasa malunya (haya’) di hadapan Allah. Alpa pada laranganNya agar tidak menjual agamanya demi kepentingan duniawi semata, dan tentang tanggungjawab personal di hadapanNya.
Penegasan terakhir tersebut meneguhkan sikap naif para koruptor “hidup adalah permainan.” Alih-alih mereka menampakkan kesadaran religiusnya saat berlebaran dan berhalal bi halal. Mereka malah menjadikannya sebagai bagian dari permainannya. Logika kembali pada fitrah dijadikan momentum untuk merasa bahwa dirinya benar-benar telah bersih, termasuk dari kejahatan korupsi. Sehingga pasca Idul Fitri korupsinya menjadi semakin menggila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar