Senin, 29 Oktober 2012

Allah Cinta Kepada…

Allah mencipta alam semesta, termasuk manusia, ini bukan sekedar untuk bersenang-senang atau mencari kepuasan pribadi, tetapi disertai dengan tujuan yaitu agar eksistensi-Nya dikenal oleh ciptaan-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsi Ia berfirman, “Aku adalah sebuah gudang rahasia, kemudian Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku.”
Perkenalan antara makhluk dan penciptanya ini jelas manfaatnya tidak untuk  diri-Nya melainkan untuk makhluk itu sendiri. Karena taat atau durhakanya makhluk tidak berpengaruh sedikit pun bagi-Nya. Ketaatan makhluk kepada-Nya tidak akan menambah sedikit pun kebesaran dan keagungan-Nya. Dan kebesaran dan keagungan-Nya juga tidak akan tergeser sama sekali oleh kedurhakaan makhluk-Nya. Ini pasti bagi-Nya karena Ia Maha Kaya (Ghani).
Ibarat sebuah permainan (game), Allah telah membuat prangkat-prangkat baik software dan hardware yang dapat menjerat manusia untuk mempercayai-Nya atau tidak, menyintai-Nya atau tidak, bahkan mengenal-Nya atau tidak. Perangkat ini yang kemudian disebut syari’at. Dalam syari’at ini telah digariskan adanya golongan manusia yang dicintai-Nya dan yang dibenci-Nya. Mereka yang dicintai, seperti yang diinformasikan dalam al-Qur’an, antara lain:
Pertama, orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Rasa cinta merupakan bagian kecenderungan yang dimiliki oleh manusia. Namun bagi seorang muslim cinta kepada Allah dan Rasul-Nya harus menempati posisi yang paling tinggi (al-mahammabul ‘ula), dan menjadikan kecintaan ini sebagai tolok ukur bagi kecintaannya kepada yang lain, seperti istri/suami, anak, keluarga, harta, pangkat, dan jabatan. 
Cinta kepada Allah merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Karena kecintaan inilah yang dapat memotivasinya untuk selalu konsisten di jalan yang telah disyari’atkan-Nya. Ia berfirman, “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) menyintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (3: 31). Bahkan Allah juga telah menjadikan cinta ini sebagai salah satu tanda keimanan, “Orang-orang yang beriman (mukmin) itu sangat cinta kepada Allah.” (2: 165).
Sudah tentu cinta kepada Allah harus dilengkapi dengan cinta kepada Rasul-Nya. Sebab hanya darinya mereka mengetahui syari’at-Nya. Nabi menyataka, “Tidak beriman kepadaku salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (Bukhari dan Muslim).
Kedua, orang-orang yang berbuat adil (muqsithin). Adil berarti melakukan suatu perbuatan secara proporsional, tidak menzalimi orang lain dan diri sendiri. Adil juga berarti melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan dan menerima hak sebagai imbalannya.
Keadilan harus ditegakkan dalam semua aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi, maupun hukum. Allah berfirman, ''Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka, jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.'' (5: 42).
Ketiga, orang-orang yang berlaku sabar (shabirin). Sabar dalam menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangannya, pada saat senang dan duka, dll. Sabar yang demikian menunjukkan suatu wujud kepatuhan seutuhnya kepada kehendak Tuhan, rela terhadap qada’ dan qadar-Nya. Allah berfirman, ''Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.'' (3: 146).
Keempat, orang-orang yang bertawakal (mutawakilin). Tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah berkaitan dengan segala hal, dengan dasar suatu keyakinan bahwa tidak ada daya untuk berupaya selain atas pertolongan Allah (la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim).
Tawakkal seperti ini jelas tidak menafikan faktor usaha (ikhtiyar) yang memang dianjurkan oleh Tuhan, dengan dasar bahwa siapa pun akan diberi balasan oleh-Nya sesuai dengan jerih payahnya. Tegasnya manusia diharuskan untuk selalu merancang dan melakukan suatu upaya meski keberhasilannya tetap sangat bergantung pada kehendak Tuhan. Allah berfirman, ''Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.'' (3: 159).
Kelima, orang-orang yang menyucikan diri (mutathahhirin). Allah berfirman, ''Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.'' (2: 222). Kesucian dalam pandangan Islam ada dua jenis, yaitu kesucian secara fisik berupa suci dari najasah dan kesucian secara maknawi berupa suci dari hadats baik kecil maupun besar.
Kesucian ini menjadi salah satu prasyarat bagi muslim untuk melakukan ibadah kepada Allah. Lebih jauh diharapkan kebiasaan bersuci sebelum bermunajat kepada Allah ini diharapkan memberikan pengaruh positif untuk bersih diri dan lingkungan. Dengan demikian, orang yang selalu menjaga kesuciannya dapat dipastikan memiliki i’tikad baik untuk menciptakan suatu lingkungan yang harmoni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar