Allah mencipta alam semesta, termasuk manusia, ini bukan
sekedar untuk bersenang-senang atau mencari kepuasan pribadi, tetapi disertai
dengan tujuan yaitu agar eksistensi-Nya dikenal oleh ciptaan-Nya. Dalam sebuah
hadits Qudsi Ia berfirman, “Aku adalah sebuah gudang rahasia, kemudian
Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku.”
Perkenalan antara makhluk dan penciptanya ini jelas
manfaatnya tidak untuk diri-Nya
melainkan untuk makhluk itu sendiri. Karena taat atau durhakanya makhluk tidak
berpengaruh sedikit pun bagi-Nya. Ketaatan makhluk kepada-Nya tidak akan
menambah sedikit pun kebesaran dan keagungan-Nya. Dan kebesaran dan
keagungan-Nya juga tidak akan tergeser sama sekali oleh kedurhakaan
makhluk-Nya. Ini pasti bagi-Nya karena Ia Maha Kaya (Ghani).
Ibarat sebuah permainan (game), Allah telah membuat
prangkat-prangkat baik software dan hardware yang dapat menjerat manusia untuk
mempercayai-Nya atau tidak, menyintai-Nya atau tidak, bahkan mengenal-Nya atau
tidak. Perangkat ini yang kemudian disebut syari’at. Dalam syari’at ini telah
digariskan adanya golongan manusia yang dicintai-Nya dan yang dibenci-Nya.
Mereka yang dicintai, seperti yang diinformasikan dalam al-Qur’an, antara lain:
Pertama, orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Rasa
cinta merupakan bagian kecenderungan yang dimiliki oleh manusia. Namun bagi
seorang muslim cinta kepada Allah dan Rasul-Nya harus menempati posisi yang
paling tinggi (al-mahammabul ‘ula), dan menjadikan kecintaan ini sebagai
tolok ukur bagi kecintaannya kepada yang lain, seperti istri/suami, anak,
keluarga, harta, pangkat, dan jabatan.
Cinta kepada Allah merupakan suatu kewajiban bagi setiap
muslim. Karena kecintaan inilah yang dapat memotivasinya untuk selalu konsisten
di jalan yang telah disyari’atkan-Nya. Ia berfirman, “Katakanlah, ‘Jika kamu
(benar-benar) menyintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (3: 31).
Bahkan Allah juga telah menjadikan cinta ini sebagai salah satu tanda keimanan,
“Orang-orang yang beriman (mukmin) itu sangat cinta kepada Allah.” (2: 165).
Sudah tentu cinta kepada Allah harus dilengkapi dengan
cinta kepada Rasul-Nya. Sebab hanya darinya mereka mengetahui syari’at-Nya.
Nabi menyataka, “Tidak beriman kepadaku salah seorang di antara kalian hingga
aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anaknya, dan
seluruh manusia.” (Bukhari dan Muslim).
Kedua, orang-orang yang berbuat adil (muqsithin).
Adil berarti melakukan suatu perbuatan secara proporsional, tidak menzalimi
orang lain dan diri sendiri. Adil juga berarti melaksanakan kewajiban sesuai
ketentuan dan menerima hak sebagai imbalannya.
Keadilan harus ditegakkan dalam semua aspek kehidupan
manusia, baik sosial, politik, ekonomi, maupun hukum. Allah berfirman, ''Jika
mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah
(perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka, jika kamu
berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu
sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah di
antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.''
(5: 42).
Ketiga, orang-orang yang berlaku sabar (shabirin).
Sabar dalam menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangannya, pada saat
senang dan duka, dll. Sabar yang demikian menunjukkan suatu wujud kepatuhan
seutuhnya kepada kehendak Tuhan, rela terhadap qada’ dan qadar-Nya. Allah
berfirman, ''Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di
jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah
menyukai orang-orang yang sabar.'' (3: 146).
Keempat, orang-orang yang bertawakal (mutawakilin).
Tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah berkaitan dengan segala hal,
dengan dasar suatu keyakinan bahwa tidak ada daya untuk berupaya selain atas
pertolongan Allah (la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim).
Tawakkal seperti ini jelas tidak menafikan faktor usaha
(ikhtiyar) yang memang dianjurkan oleh Tuhan, dengan dasar bahwa siapa pun akan
diberi balasan oleh-Nya sesuai dengan jerih payahnya. Tegasnya manusia
diharuskan untuk selalu merancang dan melakukan suatu upaya meski
keberhasilannya tetap sangat bergantung pada kehendak Tuhan. Allah berfirman,
''Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.''
(3: 159).
Kelima, orang-orang yang menyucikan diri (mutathahhirin).
Allah berfirman, ''Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri.'' (2: 222). Kesucian dalam pandangan
Islam ada dua jenis, yaitu kesucian secara fisik berupa suci dari najasah dan
kesucian secara maknawi berupa suci dari hadats baik kecil maupun besar.
Kesucian ini menjadi salah satu prasyarat bagi muslim untuk
melakukan ibadah kepada Allah. Lebih jauh diharapkan kebiasaan bersuci sebelum
bermunajat kepada Allah ini diharapkan memberikan pengaruh positif untuk bersih
diri dan lingkungan. Dengan demikian, orang yang selalu menjaga kesuciannya
dapat dipastikan memiliki i’tikad baik untuk menciptakan suatu lingkungan yang
harmoni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar