Kamis, 11 Oktober 2012

Allah Hanya Memilih Yang Ikhlas


Setibanya di rumah, dia menarik nafas yang dalam-dalam, lalu bersandar di sebatang pohon tua di tengah halaman rumahnya. “Suamiku, apa yang terjadi?” tegur istrinya begitu mengetahui keresahan yang melanda suaminya itu. Abu Aqil kemudian berjalan masuk ke rumah. Lalu sambil bersandar ke dinding dia berkata, “Musuh Tuhan bermaksud untuk memerangi kita. Tentara muslim sudah disiagakan untuk melawan. Tetapi, tentara kita tidak punya bekal dan makanan. Kami sedang berada di masjid ketika Nabi membacakan sebuah ayat suci Alqur’an dan meminta kaum muslimin untuk memberikan bantuan sesuai dengan kemampuannya.” 
Hari itu Abu Aqil tampak sangat resah. Tak pernah dia kelihatan seresah itu sebelumnya. Dia tenggelam dalam pikirannya yang berkecamuk, hingga tak hirau terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya, pun suara gaduh saat dia melangkahkan kaki menju rumahnya. Langkahnya cepat, kepalanya tertunduk, matanya selalu memandang tanah, dan mulutnya tampak bergerak seperti mengucapkan sesuatu.
 “Apakah bunyi ayat itu?” Tanya istri Abu Aqil. Setelah berpikir sejenak, sambil menutup matanya, Abu Aqil kemudian membaca ayat ke-11 dari surat Al-Hadid: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak,.
Istri Abu Aqil tertunduk sedih, dan berkata, “Engkau adalah pemimpin dalam rumah ini dan engkau lebih mengetahui bahwa kita tidak punya harta dan simpanan apapun untuk kita berikan.” Dia menjawab, “Tetapi, kita harus turut melibatkan dalam tugas ini. Tidakkah engkau ketahui perbuatan ini disenangi oleh Allah dan Rasul-Nya?
 “Ayat ini sangat menyentuh perasaanku hingga aku segera pulang.” Lanjut Abu Aqil. “Hari ini semua orang Islam membawa apa yang mereka miliki kepada Nabi agar permintaan Tuhan terpenuhi.” Istrinya tersenyum dan dia mengambil salah satu bejana dan mengeluarkan segenggam kurma sambil berkata, “Kita mempunyai sedikit kurma. Ambillah dan berikan kepada Nabi".
Abu Aqil tertegun dan menggumam sendirian, “Apa yang bisa diperbuat dengan kurma ini? Tetapi ini lebih baik daripada tidak ada sama sekali.” Istrinya lantas menaruh kurma itu dalam sebuah kain bersih dan memberikannya kepada Abu Aqil. “Meskipun kurma ini tidak tampak berguna tetapi ia dapat dimanfaatkan di medan perang”. Kata Abu Aqil saat menerimanya.
Segera Abu Aqil membawanya ke masjid. Saat itu halaman masjid suah ramai. Dia melihat sudah ada beberapa ekor biri-biri, kambing, dan unta sumbangan dari umat Islam. Dia juga melihat masih banyak orang yang membawa sumbangan, baik yang berjumlah besar maupun kecil. Abu Aqil mendekap bungkusan yang dibawanya, lalu melangkah masuk ke dalam masjid.
Kaum munafik merasa tidak senang melihat simpati umat Islam yang besar itu, hingga mereka mengejek beberapa orang yang hendak memberikan bantuan, termasuk Abu Aqil. Orang yang memberikan bantuan dalam jumlah besar, mereka ejek sebagai orang yang pamer, tidak ikhlas dan mengharap pujian. Sedangkan orang yang memberikan bantuan dalam jumlah sedikit, mereka ejek dengan mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya tidak memerlukan bantuan kamu yang tidak ada harganya”.
Melihat sikap orang-orang munafik itu, Abu Aqil sempat terbersit keinginannya untuk kembali pulang. Tetapi dia merasa seolah ada kekuatan besar dalam dirinya yang menghalanginya untuk pulang. Akhirnya dia duduk terdiam di sudut masjid. Dilihatnya Nabi sedang duduk di tepi Mihrab dan menerima hadiah-hadiah dari umatnya. “Alangkah baiknya jika dia mempunyai simpanan yang lebih pantas untuk diberikan kepada Nabi.” Katanya dalam hati.
Beberapa waktu kemudian, masjid menadadak hening. Abu Aqil melihat Nabi tampaknya sedang sedang menerima wahyu. Terihat mata Nabi tertutup dan wajahnya sekonyong-konyong sedang tenggelam dalam cahaya yang bersinar. Semua sahabat memahami keadaan Nabi ini dan menanti sampai Nabi selesai menerima wahyu.
Nabi kemudian membuka matanya dan dengan langkah perlahan beliau mendekati Abu Aqil. Jantung Abu Aqil berdebar-debar dan dia berusaha untuk menyembunyikan bungkusan kurmanya. Lalu, terdengar suara Nabi yang memecah kesunyian Masjid: “Wahai manusia, baru saja Jibril menyampaikan wahyu dari Allah kepadaku. Ketahuilah bahwa para malaikat yang berada di langit, memandang bumi untuk menyaksikan pinjaman siapakah yang terbaik di sisi Allah ”.
Nabi kemudian meletakkan tangannya ke atas pundak Abu Aqil dan berkata, “Ketahuilah, hadiahmu lebih berharga dari emas di sisi Allah. Orang munafik yang mencelamu dan menyebabkan hatimu sakit, kelak akan diberi azab. Wahai Abu Aqil, para malaikat sedang menanti, berikan hadiah itu kepadaku dan ketahuilah bahwa Allah ingin agar aku menggembirakanmu. Engkau hari ini disenangi oleh Allah”.
Abu Aqil tertegun, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Dia seperti sedang bermimpi. Nabi akhirnya mengambil bungkusan kurma tersebut dari tangan Abu Aqil.  Lalu membacakan ayat ke-79 surah Taubah:
 “(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar