Setibanya di rumah, dia menarik nafas yang
dalam-dalam, lalu bersandar di sebatang pohon tua di tengah halaman rumahnya. “Suamiku,
apa yang terjadi?” tegur istrinya begitu mengetahui keresahan yang melanda
suaminya itu. Abu Aqil kemudian berjalan masuk ke rumah. Lalu sambil bersandar
ke dinding dia berkata, “Musuh Tuhan bermaksud untuk memerangi kita. Tentara
muslim sudah disiagakan untuk melawan. Tetapi, tentara kita tidak punya bekal
dan makanan. Kami sedang berada di masjid ketika Nabi membacakan sebuah ayat
suci Alqur’an dan meminta kaum muslimin untuk memberikan bantuan sesuai dengan
kemampuannya.”
Hari itu Abu Aqil tampak sangat resah. Tak
pernah dia kelihatan seresah itu sebelumnya. Dia tenggelam dalam pikirannya
yang berkecamuk, hingga tak hirau terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya,
pun suara gaduh saat dia melangkahkan kaki menju rumahnya. Langkahnya cepat, kepalanya
tertunduk, matanya selalu memandang tanah, dan mulutnya tampak bergerak seperti
mengucapkan sesuatu.
“Apakah bunyi ayat itu?” Tanya istri Abu Aqil.
Setelah berpikir sejenak, sambil menutup matanya, Abu Aqil kemudian membaca
ayat ke-11 dari surat
Al-Hadid: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka
Allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan
memperoleh pahala yang banyak,.
Istri Abu Aqil tertunduk sedih, dan berkata,
“Engkau adalah pemimpin dalam rumah ini dan engkau lebih mengetahui bahwa kita
tidak punya harta dan simpanan apapun untuk kita berikan.” Dia menjawab,
“Tetapi, kita harus turut melibatkan dalam tugas ini. Tidakkah engkau ketahui
perbuatan ini disenangi oleh Allah dan Rasul-Nya?
“Ayat
ini sangat menyentuh perasaanku hingga aku segera pulang.” Lanjut Abu Aqil. “Hari
ini semua orang Islam membawa apa yang mereka miliki kepada Nabi agar
permintaan Tuhan terpenuhi.” Istrinya tersenyum dan dia mengambil salah satu
bejana dan mengeluarkan segenggam kurma sambil berkata, “Kita mempunyai sedikit
kurma. Ambillah dan berikan kepada Nabi".
Abu Aqil tertegun dan menggumam sendirian,
“Apa yang bisa diperbuat dengan kurma ini? Tetapi ini lebih baik daripada tidak
ada sama sekali.” Istrinya lantas menaruh kurma itu dalam sebuah kain bersih
dan memberikannya kepada Abu Aqil. “Meskipun kurma ini tidak tampak berguna
tetapi ia dapat dimanfaatkan di medan
perang”. Kata Abu Aqil saat menerimanya.
Segera Abu Aqil membawanya ke masjid. Saat
itu halaman masjid suah ramai. Dia melihat sudah ada beberapa ekor biri-biri,
kambing, dan unta sumbangan dari umat Islam. Dia juga melihat masih banyak orang
yang membawa sumbangan, baik yang berjumlah besar maupun kecil. Abu Aqil mendekap
bungkusan yang dibawanya, lalu melangkah masuk ke dalam masjid.
Kaum munafik merasa tidak senang melihat
simpati umat Islam yang besar itu, hingga mereka mengejek beberapa orang yang
hendak memberikan bantuan, termasuk Abu Aqil. Orang yang memberikan bantuan
dalam jumlah besar, mereka ejek sebagai orang yang pamer, tidak ikhlas dan
mengharap pujian. Sedangkan orang yang memberikan bantuan dalam jumlah sedikit,
mereka ejek dengan mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya tidak memerlukan bantuan
kamu yang tidak ada harganya”.
Melihat sikap orang-orang munafik itu, Abu
Aqil sempat terbersit keinginannya untuk kembali pulang. Tetapi dia merasa
seolah ada kekuatan besar dalam dirinya yang menghalanginya untuk pulang.
Akhirnya dia duduk terdiam di sudut masjid. Dilihatnya Nabi sedang duduk di
tepi Mihrab dan menerima hadiah-hadiah dari umatnya. “Alangkah baiknya jika dia
mempunyai simpanan yang lebih pantas untuk diberikan kepada Nabi.” Katanya
dalam hati.
Beberapa waktu kemudian, masjid menadadak
hening. Abu Aqil melihat Nabi tampaknya sedang sedang menerima wahyu. Terihat
mata Nabi tertutup dan wajahnya sekonyong-konyong sedang tenggelam dalam cahaya
yang bersinar. Semua sahabat memahami keadaan Nabi ini dan menanti sampai Nabi selesai
menerima wahyu.
Nabi kemudian membuka matanya dan dengan
langkah perlahan beliau mendekati Abu Aqil. Jantung Abu Aqil berdebar-debar dan
dia berusaha untuk menyembunyikan bungkusan kurmanya. Lalu, terdengar suara Nabi
yang memecah kesunyian Masjid: “Wahai manusia, baru saja Jibril menyampaikan
wahyu dari Allah kepadaku. Ketahuilah bahwa para malaikat yang berada di
langit, memandang bumi untuk menyaksikan pinjaman siapakah yang terbaik di sisi
Allah ”.
Nabi kemudian meletakkan tangannya ke atas
pundak Abu Aqil dan berkata, “Ketahuilah, hadiahmu lebih berharga dari emas di
sisi Allah. Orang munafik yang mencelamu dan menyebabkan hatimu sakit, kelak
akan diberi azab. Wahai Abu Aqil, para malaikat sedang menanti, berikan hadiah
itu kepadaku dan ketahuilah bahwa Allah ingin agar aku menggembirakanmu. Engkau
hari ini disenangi oleh Allah”.
Abu Aqil tertegun, seakan tidak percaya
dengan apa yang terjadi. Dia seperti sedang bermimpi. Nabi akhirnya mengambil
bungkusan kurma tersebut dari tangan Abu Aqil. Lalu membacakan ayat ke-79 surah Taubah:
“(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang
mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela)
orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar
kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan
membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar