Seorang sahabat bernama Atha, suatu
hari menemui Aisyah. Lalu ia bertanya, “Beritahukanlah kepadaku sesuatu yang
menakjubkan dari Rasulullah?” Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba Aisyah
menangis.
Lalu Aisyah berkata, “Bagaimana tak
menakjubkan, pada suatu malam beliau mendatangiku, lalu pergi
bersamaku ke tempat tidur dan berselimut hingga kulitku
menempel dengan kulitnya.”
Kemudian Rasulullah berkata, “Wahai
putri Abu Bakar, biarkanlah aku beribadah
kepada Tuhanmu.” Aisyah menjawab, “Saya senang berdekatan denganmu, tetapi saya
juga tidak akan menghalangi keinginanmu.” Rasulullah lalu mengambil tempat air dan berwudhu, tanpa
menuangkan banyak air.
Nabi pun shalat, lalu menangis
hingga air matanya bercucuran membasahi dadanya. “Beliau ruku, lalu menangis.
Beliau sujud lalu menangis. Beliau berdiri lagi lalu menangis. Begitu seterusnya
hingga sahabat
bernama Bilal datang dan aku mempersilakannya masuk,” papar Aisyah.
“Ya Rasullulah, apa yang membuat
Anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang lalu maupun
yang akan datang,” tanya Aisyah. “Tak bolehkah aku menghendaki agar menjadi
seorang hamba yang bersyukur?” ungkap Nabi.
Allah telah menjelaskan pentingnya
bersyukur, seperti dalam firman-Nya di surah Ibrahim ayat 17, “…. Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Dikisahkan, kaum Saba’ pernah
mengalami kemajuan peradaban yang laur biasa. Mereka menguasai teknologi yang
tertinggi pada zamannya, yakni telah berhasil membangun bendungan Ma’rib (sekarang
Yaman). Menurut penulis Yunani, Ma’rib merupakan salah satu kota termaju saat
itu dan memiliki lahan yang subur.
Bendungan Ma’rib mampu mengairi
sekitar 9.600 hektare lahan subur. Negeri itu pun kaya-raya. Namun, karena
mereka tak bersyukur atas nikmat yang begitu
melimpah, Allah menurunkan banjir besar yang menghancurkan semua kekayaan yang
dimiliki penduduk negeri Saba’.
Pada bagian lain, Nabi pernah mencium tangan seorang
pemuda saat berjabatan tangan. Padahal kedua tangan pemuda itu keras dan agak
kasar. Wajar, karena pemuda itu seorang pekerja keras. Saat itu Nabi
menyatakan, “Inilah kedua tangan yang dicintai Allah.” (HR Jamaah).
Tergambar dalam hadis ini bahwa Nabi menyintai dan
bangga terhadap sosok muslim pekerja keras. Karenanya beliau mendorong umatnya
untuk selalu bekerja dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan, mempersembahkan
kerja dan amal yang terbaik (ihsan), baik dalam kaitannya dengan Allah, dengan
sesama manusia, maupun dengan dirinya sendiri.
Allah berfirman, “Dan Katakanlah: "Bekerjalah
kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan
yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan.” (QS at-Taubah [9]: 105).
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu
maka berjalanlah di segala penjurunya (bekerja keras) dan makanlah sebahagiaan
dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
(QS al-Mulk [67]: 15).
Rasulullah sangat memuji orang yang berusaha dan
bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Beliau
bersabda “Sesungguhnya seseorang dari kalian pergi mencari kayu bakar yang
dipikul di atas pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang
lain, baik diberi atau tidak.” (HR Bukhari).
“Tidaklah
seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri dan
Nabi Dawud AS juga makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR Bukhari). Bahkan,
jika seseorang tertidur kelelahan karena mencari rezeki yang halal maka
tidurnya itu akan dipenuhi dengan ampunan dari Allah (HR Imam Tabrani).
Sebaliknya, Rasulullah sangat membenci
bermalas-malasan, tidak mau bekerja. Dan, beliau selalu memohon perlindungan
Allah dari sifat malas. "Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari sikap
lemah, malas, pengecut, dan kepikunan dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah
kehidupan dan kematian dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.” (HR
Bukhari).
Negeri ini sangat kaya. Kekayaan
itu harus dinikmati dan disyukuri. Wujud syukurnya adalah dengan bekerja keras
memanfaatkan kekayaan tersebut untuk kesejahteraan bersama. Dengan begitu
bangsa ini akan terhindar dari adzab Allah, sebagaimana yang dialami oleh kaum
Saba’. Jika sebaliknya, sudah tentu bangsa ini harus besiap-siap meneria adzab
Allah yang sangat pedih, akibat dari sikap kufur nikmat mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar