Jumat, 18 Januari 2013

Bersyukur dan Bekerja Keras

Seorang sahabat bernama Atha, suatu hari menemui Aisyah. Lalu ia bertanya, “Beritahukanlah kepadaku sesuatu yang menakjubkan dari Rasulullah?” Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba Aisyah menangis.
Lalu Aisyah berkata, “Bagaimana tak menakjubkan, pada suatu malam beliau mendatangiku, lalu pergi bersamaku ke tempat tidur dan berselimut hingga kulitku menempel dengan kulitnya.”
Kemudian Rasulullah berkata, “Wahai putri Abu Bakar, biarkanlah aku beribadah kepada Tuhanmu.” Aisyah menjawab, “Saya senang berdekatan denganmu, tetapi saya juga tidak akan menghalangi keinginanmu.” Rasulullah lalu mengambil tempat air dan berwudhu, tanpa menuangkan banyak air.
Nabi pun shalat, lalu menangis hingga air matanya bercucuran membasahi dadanya. “Beliau ruku, lalu menangis. Beliau sujud lalu menangis. Beliau berdiri lagi lalu menangis. Begitu seterusnya hingga sahabat bernama Bilal datang dan aku mempersilakannya masuk,” papar Aisyah.
“Ya Rasullulah, apa yang membuat Anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang lalu maupun yang akan datang,” tanya Aisyah. “Tak bolehkah aku menghendaki agar menjadi seorang hamba yang bersyukur?” ungkap Nabi.
Allah telah menjelaskan pentingnya bersyukur, seperti dalam firman-Nya di surah Ibrahim ayat 17, “…. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Dikisahkan, kaum Saba’ pernah mengalami kemajuan peradaban yang laur biasa. Mereka menguasai teknologi yang tertinggi pada zamannya, yakni telah berhasil membangun bendungan Ma’rib (sekarang Yaman). Menurut penulis Yunani, Ma’rib merupakan salah satu kota termaju saat itu dan memiliki lahan yang subur.
Bendungan Ma’rib mampu mengairi sekitar 9.600 hektare lahan subur. Negeri itu pun kaya-raya. Namun, karena mereka tak bersyukur atas nikmat yang begitu melimpah, Allah menurunkan banjir besar yang menghancurkan semua kekayaan yang dimiliki penduduk negeri Saba’.
Pada bagian lain, Nabi pernah mencium tangan seorang pemuda saat berjabatan tangan. Padahal kedua tangan pemuda itu keras dan agak kasar. Wajar, karena pemuda itu seorang pekerja keras. Saat itu Nabi menyatakan, “Inilah kedua tangan yang dicintai Allah.” (HR Jamaah).
Tergambar dalam hadis ini bahwa Nabi menyintai dan bangga terhadap sosok muslim pekerja keras. Karenanya beliau mendorong umatnya untuk selalu bekerja dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan, mempersembahkan kerja dan amal yang terbaik (ihsan), baik dalam kaitannya dengan Allah, dengan sesama manusia, maupun dengan dirinya sendiri.
Allah berfirman, “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS at-Taubah [9]: 105).
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu maka berjalanlah di segala penjurunya (bekerja keras) dan makanlah sebahagiaan dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS al-Mulk [67]: 15).
Rasulullah sangat memuji orang yang berusaha dan bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Beliau bersabda “Sesungguhnya seseorang dari kalian pergi mencari kayu bakar yang dipikul di atas pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak.” (HR Bukhari).
 “Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri dan Nabi Dawud AS juga makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR Bukhari). Bahkan, jika seseorang tertidur kelelahan karena mencari rezeki yang halal maka tidurnya itu akan dipenuhi dengan ampunan dari Allah (HR Imam Tabrani).
Sebaliknya, Rasulullah sangat membenci bermalas-malasan, tidak mau bekerja. Dan, beliau selalu memohon perlindungan Allah dari sifat malas. "Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari sikap lemah, malas, pengecut, dan kepikunan dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.” (HR Bukhari).
Negeri ini sangat kaya. Kekayaan itu harus dinikmati dan disyukuri. Wujud syukurnya adalah dengan bekerja keras memanfaatkan kekayaan tersebut untuk kesejahteraan bersama. Dengan begitu bangsa ini akan terhindar dari adzab Allah, sebagaimana yang dialami oleh kaum Saba’. Jika sebaliknya, sudah tentu bangsa ini harus besiap-siap meneria adzab Allah yang sangat pedih, akibat dari sikap kufur nikmat mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar