Kamis, 03 Januari 2013

Menyikapi Orang Fasik

Kata fasiq berasal dari bahasa Arab al-fisq yang berarti keluarnya sesuatu dari sesuatu yang lain dalam keadaan rusak. Adapun secara syar’i fasik diartikan sebagai suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at Allah. Fasik berarti pula sikap lupa terhadap ketaatan kepada Allah yang tercermin dalam suatu perbuatan, baik yang berimplikasi pada kekufuran maupun tidak.
Fasik ada yang terkategori akbar (besar) yang bersifat kulli (menyeluruh). Artinya keluar dari Islam secara keseluruhan dan ini sama dengan kufur. Fasik dalam kategori ini seperti ditemukan dalam firman Allah, “Dan sungguh Kami telah turunkan kepadamu ayat-ayat yang nyata dan tidaklah mengafirinya kecuali orang-orang yang fasiq” (al-Baqarah: 99).
Ada juga yang terkategori ashghar (kecil) yang bersifat juz’i (sebagian). Artinya keluar dari sebagian ajaran Islam dengan cara melakukan dosa besar. Sebagaimana dalam firman Allah, “Dan orang-orang yang menuduh (berzina) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya lalu tidak mendatangkan empat saksi maka cambuklah mereka delapan puluh cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (an-Nur: 4)
Orang fasik baik dalam kategori pertama maupun kedua jelas ada, kalau tidak dibilang banyak, di lingkungan sekitar kita. Salah satu kegemaran mereka, disadarinya atau tidak, adalah membuat fitnah. Karenanya, sudah sepatutnya kita bersikap hati-hati terhadap merega agar kita terhindar dari fitnanya.
Segala bentuk informasi yang mereka sampaikan jangan ditelan mentah-mentah, agar kita tidak tertelan oleh kebohongan dan fitnanya. Dalam hal ini Allah pernah mengingatkan Nabi, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.“ (al-Hujurat: 6).
Imam al-Baghawi dalam kitabnya Tafsir al-Baghawi menuturkan asbabun nuzul ayat ini. Dia mengatakan bahwa ayat di ini turun berkenaan dengan Al-Walid bin Uqbah bin Abi Muith yang diutus oleh Nabi kepada Bani Al-Musthaliq. Di masa jahiliyah al-Walid pernah bermusuhan dengan Bani Musthaliq. Tatkala Bani Musthaliq mendengar kabar akan datangnya al-Walid sebagai utusan Nabi, mereka bergerak untuk menyambut kedatangannya.
Namun al-Walid justru kembali dan melaporkan kepada Nabi bahwa Bani Musthaliq telah menolak membayar zakat dan bahkan akan membunuhnya. Laporan itu membuat Nabi marah dan bertekad hendak memerangi mereka.
Di sisi lain, kabar tentang kembalinya al-Walid juga sampai ke telinga Bani Musthaliq. Mereka segera menghadap Nabi. ‘Wahai Rasulullah.” Perwakilan mereka mulai melaporkan kepada Nabi. “Kami mendengar tentang akan datangnya utusanmu kepada kami. Kami segera bergegas keluar untuk menyambutnya dan kami akan membayar kepadanya apa yang sudah kami terima sebagai hak Allah. Tetapi ternyata dia kembali sebelum bertemu kami. Kami khawatir kalau-kalau perintahmulah yang membuatnya kembali karena engkau murka kepada kami. Sungguh kami berlindung kepada Allah dari murka-Nya dan murka Rasul-Nya.”
Nabi belum bisa menentukan sikap terhadap berita yang berbeda seratus delapan puluh derajat tersebut. Beliau kemudian memerintahkan Khalid bin Walid untuk pergi dengan membawa pasukan ke perkampungan Bani Musthaliq secara diam-diam. Beliau memerintahkan agar Khalid dan pasukannya untuk mengamati mereka. Jika mereka terlihat masih beriman maka ambillah zakat dari harta mereka. Tetapi jika ternyata mereka telah berpaling dari iman maka perlakukan mereka sebagaimana perlakuan terhadap orang-orang kafir.
Khalid melaksanakan perintah itu. Dia masih mendengar adzan Maghrib dan Isya berkumandang di perkampungan mereka. Dia kemudian segera mengambil zakat dari mereka, sebelum kemudian kembali ke Madinah untuk melapor kepada Nabi. Kemudian turunlah ayat tersebut.
Dalam ayat tersebut Allah telah menyebut al-Walid sebagai seorang fasik lantaran telah membuat laporan palsu, yang tidak sesuai dengan faktanya tentang Bani Musthaliq dan sempat membuat Nabi murka dan hendak memeranginya. Sebutan fasik itu tepat untuknya karena telah melakukan perbuatan dosa besar, yakni bohong, apalagi kebohongannya itu bisa membuat fitnah yang besar yakni peperangan.
Allah telah begitu tegas memberikan panduan kepada kaum muslimin di dalam menyikapi suatu informasi. Mereka tidak boleh percaya begitu saja terhadap informasi, berita, opini, dll. yang dibawa atau disebarkan oleh orang-orang fasik. Sebelum sampai pada kesimpulan menerima atau menolaknya mereka harus menelitinya terlebih daluhu tetang kebenarannya.
Islam menempatkan identifikasi “kefasikan” pada posisi yang sangat penting, sejajar dengan pentingnya identifikasi ‘adalah wa tsiqah (dapat dipercaya dan kredibel). Dalam tradisi ilmu musthalah hadits identifikasi ini digunakan untuk meneliti kredibilitas perawi dalam sanad hadis.
Nabi sendiri pernah menegaskan, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Mawardi, “Umumkanlah orang fasik dengan kondisi yang ada padanya agar masyarakat mewapadainya.” Imam Thabrani juga meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad hasan “Sampai kapan kamu enggan menyebut tentang orang pendusta? Umumkanlah sampai masyarakat mengetahuinya.” 
Kondisi carut-marutnya tatanan kemasyarakatan saat ini tidak lain merupakan akibat dari ulah orang-orang fasik yang gemar berbohong dan menebar fitnah. Untuk mengidentifikasi mereka pun tidak cukup sulit. Membasmi mereka tampaknya mnjadi semangat yang wajib ditanam dalam benak kita di awal tahun ini. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar