Kata fasiq
berasal dari bahasa Arab al-fisq yang berarti keluarnya sesuatu dari sesuatu
yang lain dalam keadaan rusak. Adapun secara syar’i fasik diartikan sebagai
suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at Allah. Fasik berarti pula
sikap lupa terhadap ketaatan kepada Allah yang tercermin dalam suatu perbuatan,
baik yang berimplikasi pada kekufuran maupun tidak.
Fasik ada yang
terkategori akbar (besar) yang bersifat kulli (menyeluruh). Artinya keluar dari
Islam secara keseluruhan dan ini sama dengan kufur. Fasik dalam kategori ini
seperti ditemukan dalam firman Allah, “Dan sungguh Kami telah turunkan
kepadamu ayat-ayat yang nyata dan tidaklah mengafirinya kecuali orang-orang
yang fasiq” (al-Baqarah: 99).
Ada juga yang
terkategori ashghar (kecil) yang bersifat juz’i (sebagian). Artinya keluar dari
sebagian ajaran Islam dengan cara melakukan dosa besar. Sebagaimana dalam
firman Allah, “Dan orang-orang yang menuduh (berzina) wanita-wanita yang
menjaga kehormatannya lalu tidak mendatangkan empat saksi maka cambuklah mereka
delapan puluh cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka
selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (an-Nur: 4)
Orang fasik baik dalam kategori pertama maupun
kedua jelas ada, kalau tidak dibilang banyak, di lingkungan sekitar kita. Salah
satu kegemaran mereka, disadarinya atau tidak, adalah membuat fitnah. Karenanya,
sudah sepatutnya kita bersikap hati-hati terhadap merega agar kita terhindar
dari fitnanya.
Segala bentuk informasi yang mereka sampaikan
jangan ditelan mentah-mentah, agar kita tidak tertelan oleh kebohongan dan
fitnanya. Dalam hal ini Allah pernah mengingatkan Nabi, “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.“ (al-Hujurat: 6).
Imam al-Baghawi dalam kitabnya Tafsir
al-Baghawi menuturkan asbabun nuzul ayat ini. Dia mengatakan bahwa ayat di ini
turun berkenaan dengan Al-Walid bin Uqbah bin Abi Muith yang diutus oleh Nabi kepada
Bani Al-Musthaliq. Di masa jahiliyah al-Walid pernah bermusuhan dengan Bani
Musthaliq. Tatkala Bani Musthaliq mendengar kabar akan datangnya al-Walid
sebagai utusan Nabi, mereka bergerak untuk menyambut kedatangannya.
Namun al-Walid justru kembali dan melaporkan
kepada Nabi bahwa Bani Musthaliq telah menolak membayar zakat dan
bahkan akan membunuhnya. Laporan itu membuat Nabi marah dan bertekad hendak
memerangi mereka.
Di sisi lain, kabar tentang kembalinya al-Walid
juga sampai ke telinga Bani Musthaliq. Mereka segera menghadap Nabi. ‘Wahai
Rasulullah.” Perwakilan mereka mulai melaporkan kepada Nabi. “Kami mendengar
tentang akan datangnya utusanmu kepada kami. Kami segera bergegas keluar untuk
menyambutnya dan kami akan membayar kepadanya apa yang sudah kami terima
sebagai hak Allah. Tetapi ternyata dia kembali sebelum bertemu kami. Kami
khawatir kalau-kalau perintahmulah yang membuatnya kembali karena engkau murka
kepada kami. Sungguh kami berlindung kepada Allah dari murka-Nya dan murka
Rasul-Nya.”
Nabi
belum bisa menentukan sikap terhadap berita yang berbeda seratus delapan puluh
derajat tersebut. Beliau kemudian memerintahkan Khalid bin Walid untuk pergi dengan
membawa pasukan ke perkampungan Bani Musthaliq secara diam-diam. Beliau
memerintahkan agar Khalid dan pasukannya untuk mengamati mereka. Jika mereka
terlihat masih beriman maka ambillah zakat dari harta mereka. Tetapi jika
ternyata mereka telah berpaling dari iman maka perlakukan mereka sebagaimana
perlakuan terhadap orang-orang kafir.
Khalid melaksanakan perintah itu. Dia masih mendengar
adzan Maghrib dan Isya berkumandang di perkampungan mereka. Dia kemudian segera
mengambil zakat dari mereka, sebelum kemudian kembali ke Madinah untuk melapor
kepada Nabi. Kemudian turunlah ayat tersebut.
Dalam ayat tersebut Allah telah menyebut al-Walid
sebagai seorang fasik lantaran telah membuat laporan palsu, yang tidak sesuai
dengan faktanya tentang Bani Musthaliq dan sempat membuat Nabi murka dan hendak
memeranginya. Sebutan fasik itu tepat untuknya karena telah melakukan perbuatan
dosa besar, yakni bohong, apalagi kebohongannya itu bisa membuat fitnah yang
besar yakni peperangan.
Allah telah begitu
tegas memberikan panduan kepada kaum muslimin di dalam menyikapi suatu
informasi. Mereka tidak boleh percaya begitu saja terhadap informasi, berita,
opini, dll. yang dibawa atau disebarkan oleh orang-orang fasik. Sebelum sampai
pada kesimpulan menerima atau menolaknya mereka harus menelitinya terlebih
daluhu tetang kebenarannya.
Islam menempatkan
identifikasi “kefasikan” pada posisi yang sangat penting, sejajar dengan
pentingnya identifikasi ‘adalah wa tsiqah (dapat dipercaya dan kredibel). Dalam
tradisi ilmu musthalah hadits identifikasi ini digunakan untuk meneliti
kredibilitas perawi dalam sanad hadis.
Nabi sendiri
pernah menegaskan, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Mawardi, “Umumkanlah
orang fasik dengan kondisi yang ada padanya agar masyarakat mewapadainya.” Imam
Thabrani juga meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad hasan “Sampai kapan kamu enggan menyebut tentang orang pendusta?
Umumkanlah sampai masyarakat mengetahuinya.”
Kondisi carut-marutnya
tatanan kemasyarakatan saat ini tidak lain merupakan akibat dari ulah orang-orang
fasik yang gemar berbohong dan menebar fitnah. Untuk mengidentifikasi mereka
pun tidak cukup sulit. Membasmi mereka tampaknya mnjadi semangat yang wajib
ditanam dalam benak kita di awal tahun ini. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar