Rabu, 27 Maret 2013

Nikmat Hidayah

       Abu Thalib tetap mempertahankan dukungannya terhadap dakwah Nabi meski tekanan dan teror terus datang dari kaum Quraisy. Cukup disayangkan memang paman Nabi yang turut membesarkan dan membela Nabi itu tetap memilih untuk tidak beriman dan mengikti ajaran yang dibawa oleh keponakannya tersebut.
       Tekanan dan teror yang diberikan oleh kaum Quraisy kepada Nabi dan pengikutnya membuat Abu Thalib prihatin. Mungkin keprihatinan itu muncul dari rasa kemanusiaannya yang tidak tega melihat orang yang selalu ditindas atau justru hanya faktor keluarga, tidak ada riwayat yang menuturkan hal ini, yang jelas keprihatinannya tersebut tidak sampai mengetk pintu hatinya untuk menerima dan mengikuti ajaran Nabi hingga akhir hayatnya.
       Terdap kenyataan ini Nabi tidak bisa berbuat apa-apa, terutama kaitannya dengan ancaman siksaan bagi orang kafir, beliau hanya bisa berdoa, sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits riwatar Bukhari dan Muslim: “Semoga syafaatku bermanfaat baginya kelak di hari kiamat. Karena itu, dia ditempatkan di neraka yang paling dangkal, api neraka mencapai mata kakinya lantaran itu otaknya mendidih.”
       Sesungguhnya Nabi sangat berkeinginan untuk mengislamkan pamannya itu. Namun, Allah tidak memberikan hidayah kepadanya. Allah memiliki rencana lain yang belum dipahami oleh Nabi. Allah menegaskan, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS al-Qashshash: 56).
       Hidayah memang merupakan hak prerogatif Allah yang hanya diberikan kepada manusia yang dikehendakiNya. Karenanya nikmat hidayah merupakan nikmat yang sangat besar yang terimakan Allah kepada manusia. Bersyukur terhadap nikmat ini sudah sepatutnya menjadi prioritas karena nikmat ini kelakigus sebagai tanda bahwa orang yang bersangkutan telah dikehendaki baik oleh Allah.
      Nikmat hidayah ini sungguh sangat mahal harganya. Tidak semua orang mendapatkannya. Mari kita tengok perjuangan Nabi Nuh, sudah sekian lama dia berdakwah untuk mengajak umatnya beriman kepada Allah. Namun, hingga usianya hampir seribu tahun (950 tahun), hanya sedikit kaumnya yang beriman kepada Allah. Bahkan, anak dan istri yang disayanginya juga tidak mengindahkan seruannya untuk beriman kepada Allah.
       Nuh bahkan tidak dapat menyelamatkan mereka dari adzab Allah. “Dan Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh, ‘Wahai anakku! Naiklah bahtera ini bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang kafir’. Dia berkata, ‘Aku akan berlindung ke gunung yang akan menghindarkanku dari air bah. Nuh berkata, ‘Hari ini tidak ada lagi yang bisa melindungi dari adzab Allah kecuali Dzat Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang pun menghalangi mereka berdua, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Hud: 42-43)
       Melihat anaknya yang tenggelam, Nabi Nuh berdoa,“Dan Nuh pun menyeru Rabbnya, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji yang benar, dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman, ‘Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (yang diselamatkan), sesungguhnya amalannya bukanlah amalan yang shalih. Maka janganlah engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya Aku peringatkan engkau agar jangan termasuk orang-orang yang jahil.” (QS. Hud: 45-46)
       Kisah yang serupa juga dialami oleh Nabi Ibrahim. Keimanannya yang diperoleh melalui proses pencarian yang panjang mampu tertanam kokoh di dalam hatinya. Namun dia hidup di tengah-tengah orang yang menyembah berhala dan menyekutukan Allah, dan dia tidak mampu mengajak orang tuanya untuk mengikuti ajaran yang dibawanya. “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan yang ada di langit dan di bumi agar dia termasuk orang-orang yang yakin.” (QS al-An’am: 75).
       Kisah-kisah tersebut, dan kisah-kisah lain yang serupa, dapat menjadi pendorong yang kuat untuk meningkatkan sikap syukur terhadap nikmat hidayah. Ditambah lagi adanya kenyataan bahwa orang yang tidak mendapat hidayah dari Allah, hidup di dunia ini terasa lelah, takut, cemas, waswas, gelisah, dan bingung.
       Bukankah tidak sedikit orang kaya malah menderita dengan kekayaannya. Kekayaan yang melimpah justru semakin membuat sengsara dan menyiksanya. Semakin kaya semakin banyak barang yang harus dijaganya, takut hilang, takut dicuri orang, memunculkan sifat ingin dipuji, dan sebagainya.
       Ada juga yang menyangka bahwa dengan kedudukan, pangkat, dan gelar maka seseorang akan memperoleh kemuliaan. Dia menganggap kemuliaan itu datang dari gelar, sehingga dia kasak kusuk kesana kemari memburu kedudukan dan gelar. Sekolah tidak, kuliah tidak, tiba-tiba bertitel master atau doktor.
       Mengapa ada orang yang sampai mau membeli gelar, membohongi dirinya sendiri. Padahal semua itu tidak ada artinya kalau dia tidak mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah untuk menjadi orang yang tahu agama. Setinggi apapun gelar atau kedudukannya, setiap manusia suatu saat pasti akan mati.
       Orang yang jauh dari agama, jauh dari Alquran, apapun yang diberikan Allah kepadanya pasti hanya akan membuat dirinya hina. Harta, gelar, pangkat, jabatan yang diberikan Allah kalau tidak diikuti dengan ketaatan kepada Allah, justru pasti akan menjadi siksa baginya.
       Sebaliknya, orang yang mendapat hidayah dari Allah, dia tidak akan pernah merasa takut. La khaufun alaihim wa laa hum yahzanuun (tidak ada ketakutan pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati). Dia tidak pernah panik menghadapi kehidupan dunia. Justru dia akan merasa galau kalau tidak mampu berbuat yang terbaik dengan apa yang bisa dia lakukan.
       Jika orang lain takut tidak punya uang, maka orang yang mendapatkan hidayah takut kalau tidak punya jujur, takut jika tidak punya syukur, takut bila tidak punya sabar. Banyak orang takut karena tidak memiliki gelar, padahal yang seharusnya ditakuti adalah ketidakmampuan mempertangungjawabkan gelar tersebut.
       Langkah paling pokok untuk meraih hidayah Allah adalah dengan terus mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Tiada hari tanpa mencari ilmu, tiada hari kecuali bertambah amal dan tiada hari kecuali menambah bersih hati. Makin banyak ilmu, makin produktif dalam beramal dan makin bening hati.
       Semoga Allah tetap menjaga nikmatNya yang paling mahal, yakni hidayah, untuk kita dengan ilmu. Dan semoga pula kita dapat terus mensyukurinya dengan amal yang tulus dan ikhlas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar