Syari’at
puasa jelas mengandung manfaat bagi pelakunya. Manfaat ini tidak hanya dalam
bentuk balasan yang diterimakan nanti di akhirat. Tetapi ada manfaat yang
secara langsung dirasakan, seperti manfaat bagi kesehatan fisik. Nabi
menyatakan, “Berpuasalah kalian, kalian akan sehat.” (HR. Abu Na’im).
Secara medis hal ini tepat karena berpuasa berarti memberikan jeda istirahat
bagi pencernaan hingga tidak mudah aus. Ibarat mesin yang tidak pernah berhenti
akan rusak juga.
Puasa
juga bermanfaat bagi kesehatan mental. WHO (organisasi Kesehatan Sedunia) telah
membuat delapan kreteria untuk menilai orang dapat dikategorikan sebagai sehat
secara mental, yaitu: Pertama, dapat menyesuaikan diri secara
konstruktif pada kenyatataan betapapun kenyataan itu buruk. Puasa, sudah tentu
yang dilakukan dengan benar dan penuh penghayatan, akan memberi manfaat kepada
pelakunya berupa tumbuhnya sikap lapang dada, toleran, dapat beradaptasi dengan
segala keadaan, mampu meredam kemarahan hingga dapat terhindar dari konflik,
dan yang lebih penting adalah kemampuan memanag keseimbangan antara dimensi
rasional, emosional, dan bahkan spiritualnya.
Kedua, dapat merasakan kepuasan dari
usaha atau perjuangannya. Nabi menyatakan bahwa “orang yang berpuasa itu
memperoleh dua kenikmatan, yaitu saat berbukan dan saat bertemu Tuhannya.”
Kenikmatan ini dirasakan oleh orang yang berpuasa, terutama yang pertama yang
bisa dibuktikan saat ini. Di samping itu jika ia berusaha dapat menjalankan
kewajiban puasa sebulan penuh dengan sebaik mungkin ia dijamin oleh Allah dapat
kembali bersih sesuai dengan fitrahnya ketika telah memasuki Idul Fitri.
Kepuasan ini memang tidak harus dirayakannya dengan hidup mewah dalam merayakan
Idul Fitri, tetapi ia jelas merasakan kebersihan jiwanya, hingga ia pun semakin
bersemangat dalam menjalankan beragam aktivitasnya.
Ketiga, merasa lebih paus memberi
daripada menerima. Kreteria ini sangat jelas dibuktikan para sha’imin di bulan
Ramadlan. Rasa lapar dan dahaga yang dirasakannya dapat menumbuhkan kepekaan
sosialnya, hingga mereka tidak enggan bahkan sangat tertarik untuk melibatkan
diri dalam turut menyeselaikan beragam kasus sosial yang terjadi di
lungkungannya. Mereka merasakan secara langsung rasa lapar dan dahaga yang
biasa dialami oleh fakir miskin, lebih jauh mereka juga dapat merasakan
penderitaan orang-orang yang tertimpa musibah. Rasa ini yang dapat menumbuhkan
keinginannya untuk gemar membantu orang lain.
Keempat, relatif bebas dari ketegangan
dan kecemasan. Puasa dilakukan dengan sikap tulus hanya karena Allah. Ketulusan
ini menyiratkan bahwa sepanjang puaza shaim selalu mengingat-Nya, sebab jika
tidak berarti ia telah melupakan penjagaan terhadap kerahasiaan puasa. Artinya
selama puasa ia selalu dzikir kepada Allah. Sementara dzikir ini dapat
menjadikannya memiliki ketenangan batin. Dengan demikian orang yang berpuasa
memiliki daya tahan dan daya adaptasi terhadap stres, kecemasan, dan segala
bentuk penderitaan karena semuanya telah diserahkan kepada Allah (tawakkal).
Kelima, dapat berinteraksi dengan orang
lain, tolong menolong, dan saling memuaskan. Pelaksanaan ibadah puasa di bulan
suci Ramadlan disertai berbagai kegiatan ibadah yang lain, yang banyak dilakukan
secara berjamaah, seperti buka bersama, shalat tarawih, tadarrus, dll. Artinya
terbuka peluang bagi para shaimin untuk berinteraksi dan saling membantu
terhadap kesusahan yang dialami orang lain. Bukankah puasa itu sendiri telah
melahirkan kepekaan sosial.
Keenam, dapat menerima kegagalan
sebagai pelajaran. Puasa itu terkait erat dengan kesabaran. Orang yang berpuasa
dilatih untuk bersabar, setidaknya untuk tidak makan, minum, dan berhubungan
seksual selama menjalankan puasa. Orang yang sabar tidak akan mudah kecewa,
karena ia sangat sadar bahwa segala yang menimpa dirinya merupakan kehendak
Yang Kuasa. Berbagai kegagalan dan musibah yang dialaminya dianggap sebagai
keberhasilan yang tertunda. Justru ia menjadikan kegagalan itu sebagai
pelajaran bagi sikapnya ke depan.
Ketujuh, dapat menyelesaikan permusuhan
dengan baik. Puasa, secara syar'i memang hanya dengan makan, minum, dan
pemenuhan kebutuhan seksual, tetapi untuk kesempurnaannya harus dibarengi
dengan pengendalian diri agar tidak terjerumus pada sikap-sikap yang tergolong madzmumah
(tercela) apalagi sesat. Dan ini direalisasikan dengan pengendalian diri hingga
dapat berperilaku dalam frime positif. Hal ini seperti dianjurkan Nabi, "Apabila
salah seorang di antara kamu berpuasa, maka janganlah berkata kotor dan jangan
ribut-ribut. Jika ada seseorang yang mencaci-maki atau mengajak berkelahi maka
hendaklah ia berkata 'sesungguhnya aku sedang berpuasa'." (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dan kedelapan, mempunyai
rasa kasih sayang. Kepekaan sosial yang ditumbuhkan oleh puasa dapat
diekspresikan dalam bentuk saling mengasihi dan menghormati antar sesama. Karena
puasa memang dapat menumbuhkan rasa persaudaraan antar sesama maka jelas orang
yang berpuasa akan menolak kebencian dan permusuhan. Hal ini, paling tidak,
kemudian diekspresikan dalam bentuk berhalal-bihalal saat Idul Fitri, di mana
mereka dengan penuh kasih sayang memohon dan memberi maaf kepada setiap saudara
seiman, bahkan sesama manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar