Kamis, 17 Juli 2014

Puasa dan Kesehatan Mental

       Syari’at puasa jelas mengandung manfaat bagi pelakunya. Manfaat ini tidak hanya dalam bentuk balasan yang diterimakan nanti di akhirat. Tetapi ada manfaat yang secara langsung dirasakan, seperti manfaat bagi kesehatan fisik. Nabi menyatakan, “Berpuasalah kalian, kalian akan sehat.” (HR. Abu Na’im). Secara medis hal ini tepat karena berpuasa berarti memberikan jeda istirahat bagi pencernaan hingga tidak mudah aus. Ibarat mesin yang tidak pernah berhenti akan rusak juga.
         Puasa juga bermanfaat bagi kesehatan mental. WHO (organisasi Kesehatan Sedunia) telah membuat delapan kreteria untuk menilai orang dapat dikategorikan sebagai sehat secara mental, yaitu: Pertama, dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyatataan betapapun kenyataan itu buruk. Puasa, sudah tentu yang dilakukan dengan benar dan penuh penghayatan, akan memberi manfaat kepada pelakunya berupa tumbuhnya sikap lapang dada, toleran, dapat beradaptasi dengan segala keadaan, mampu meredam kemarahan hingga dapat terhindar dari konflik, dan yang lebih penting adalah kemampuan memanag keseimbangan antara dimensi rasional, emosional, dan bahkan spiritualnya.
Kedua, dapat merasakan kepuasan dari usaha atau perjuangannya. Nabi menyatakan bahwa “orang yang berpuasa itu memperoleh dua kenikmatan, yaitu saat berbukan dan saat bertemu Tuhannya.” Kenikmatan ini dirasakan oleh orang yang berpuasa, terutama yang pertama yang bisa dibuktikan saat ini. Di samping itu jika ia berusaha dapat menjalankan kewajiban puasa sebulan penuh dengan sebaik mungkin ia dijamin oleh Allah dapat kembali bersih sesuai dengan fitrahnya ketika telah memasuki Idul Fitri. Kepuasan ini memang tidak harus dirayakannya dengan hidup mewah dalam merayakan Idul Fitri, tetapi ia jelas merasakan kebersihan jiwanya, hingga ia pun semakin bersemangat dalam menjalankan beragam aktivitasnya.
Ketiga, merasa lebih paus memberi daripada menerima. Kreteria ini sangat jelas dibuktikan para sha’imin di bulan Ramadlan. Rasa lapar dan dahaga yang dirasakannya dapat menumbuhkan kepekaan sosialnya, hingga mereka tidak enggan bahkan sangat tertarik untuk melibatkan diri dalam turut menyeselaikan beragam kasus sosial yang terjadi di lungkungannya. Mereka merasakan secara langsung rasa lapar dan dahaga yang biasa dialami oleh fakir miskin, lebih jauh mereka juga dapat merasakan penderitaan orang-orang yang tertimpa musibah. Rasa ini yang dapat menumbuhkan keinginannya untuk gemar membantu orang lain.
Keempat, relatif bebas dari ketegangan dan kecemasan. Puasa dilakukan dengan sikap tulus hanya karena Allah. Ketulusan ini menyiratkan bahwa sepanjang puaza shaim selalu mengingat-Nya, sebab jika tidak berarti ia telah melupakan penjagaan terhadap kerahasiaan puasa. Artinya selama puasa ia selalu dzikir kepada Allah. Sementara dzikir ini dapat menjadikannya memiliki ketenangan batin. Dengan demikian orang yang berpuasa memiliki daya tahan dan daya adaptasi terhadap stres, kecemasan, dan segala bentuk penderitaan karena semuanya telah diserahkan kepada Allah (tawakkal).
Kelima, dapat berinteraksi dengan orang lain, tolong menolong, dan saling memuaskan. Pelaksanaan ibadah puasa di bulan suci Ramadlan disertai berbagai kegiatan ibadah yang lain, yang banyak dilakukan secara berjamaah, seperti buka bersama, shalat tarawih, tadarrus, dll. Artinya terbuka peluang bagi para shaimin untuk berinteraksi dan saling membantu terhadap kesusahan yang dialami orang lain. Bukankah puasa itu sendiri telah melahirkan kepekaan sosial.
Keenam, dapat menerima kegagalan sebagai pelajaran. Puasa itu terkait erat dengan kesabaran. Orang yang berpuasa dilatih untuk bersabar, setidaknya untuk tidak makan, minum, dan berhubungan seksual selama menjalankan puasa. Orang yang sabar tidak akan mudah kecewa, karena ia sangat sadar bahwa segala yang menimpa dirinya merupakan kehendak Yang Kuasa. Berbagai kegagalan dan musibah yang dialaminya dianggap sebagai keberhasilan yang tertunda. Justru ia menjadikan kegagalan itu sebagai pelajaran bagi sikapnya ke depan.
Ketujuh, dapat menyelesaikan permusuhan dengan baik. Puasa, secara syar'i memang hanya dengan makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan seksual, tetapi untuk kesempurnaannya harus dibarengi dengan pengendalian diri agar tidak terjerumus pada sikap-sikap yang tergolong madzmumah (tercela) apalagi sesat. Dan ini direalisasikan dengan pengendalian diri hingga dapat berperilaku dalam frime positif. Hal ini seperti dianjurkan Nabi, "Apabila salah seorang di antara kamu berpuasa, maka janganlah berkata kotor dan jangan ribut-ribut. Jika ada seseorang yang mencaci-maki atau mengajak berkelahi maka hendaklah ia berkata 'sesungguhnya aku sedang berpuasa'." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan kedelapan, mempunyai rasa kasih sayang. Kepekaan sosial yang ditumbuhkan oleh puasa dapat diekspresikan dalam bentuk saling mengasihi dan menghormati antar sesama. Karena puasa memang dapat menumbuhkan rasa persaudaraan antar sesama maka jelas orang yang berpuasa akan menolak kebencian dan permusuhan. Hal ini, paling tidak, kemudian diekspresikan dalam bentuk berhalal-bihalal saat Idul Fitri, di mana mereka dengan penuh kasih sayang memohon dan memberi maaf kepada setiap saudara seiman, bahkan sesama manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar