Hubungan antara manusia dengan Allah
sejatinya adalah hubungan antara raja (al-malik) dan hamba (al-’abd).
Raja memiliki hak penuh untuk melakukan apa saja sesuai kehendanya. Sedangkan
hamba harus mmemberikan seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada raja.
Hubungan ini dibuktikan dengan fungsi
utama penciptaan manusia, yaitu hanya untuk beribadah (mengabdi) kepada Allah
(QS. 51:56). Istilah ’ibadah, dengan demikian, digunakan untuk menyebut
fungsi utama manusia kaitannya dengan hubungannya dengan Allah tersebut.
Pengabdian kepada Allah merupakan
pengabdian secara menyeluruh. Mencakup dimensi lahiriyah maupun batiniyah.
Tegasnya, seluruh pekerjaan manusia merupakan manifestasi pengabdiaanya
(ibadah) kepada Allah, baik pekerjaan dalam bentuk ’ibadah mahdlah
(ritual) maupun berkaitan dengan hubungan dengan sesama manusia (mu’amalah).
Terdapat tiga pilar yang harus
diperhatikan manusia untuk memaksimalkan fungsi utama penciptaannya tersebut,
yaitu rasa hubb (cinta), khauf (takut), dan raja’ (harap).
Hanya dengan menyeimbangkan ketiga pilar tersebut manusia akan mampu melakukan
ibadah secara sempurna.
Pertama, rasa cinta merupakan pilar paling penting,
karena hanya rasa cinta yang mampu menjadi motivasi terbesar bagi manusia untuk
melakukan apa saja. Seseorang bisa melakukan suatu pekerjaan yang besar dan
tidak rasional sekalupun hanya untuk memikan hati kekasihnya.
Bagi orang mukmin, cinta terbesarnya karus
diberikan kepada Allah. Kemudian diberikan kepada Nabi-Nya, dan baru kemudian
diberikan kepada yang lain, seperti orang tua, suami/istri, anak, dll. Urutan
cinta seperti ini, sebagaimana diungkapkan Nabi, sekaligus merupakan tanda
sempurna atau belumnya iman seseorang.
Cinta kepada Allah diwujudkan dalam bentuk
cinta kepada Nabi. Dan cinta kepada Nabi dibuktikan dengan menjalani hidup
sesuai dengan ajarannya dan meneladani seluruh akhlaknya. Allah berfirman, “Katakanlah
(wahai muhammad): Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. 3:31).
Kedua, rasa takut akan mendorong manusia untuk berupaya
maksimal agar terhindar dari adzab dan murka Allah. Rasa takut inilah yang
mampu menjaga konsistensi keimanan dan ibadah manusia. Pun dengan rasa takut
ini manusia mampu mengendalikan diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan
maksiat.
Allah telah membuat aturan-aturan bagi
manusia. Setiap aturan memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri. Manusia juga
telah diberi perangkat untuk membedakan hal-hal yang baik dan buruk. Mampukah
rasa takutnya menjadi pendorong kuat baginya untuk tunduk dan patuh pada
aturan-aturan tersebut. Semua tergantung pada manusia sendiri.
Ketiga, rasa harap. Harapan yang terbesar bagi manusia
adalah dapat meraih kebahagiaan dan ketenangan batin baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Sudah tentu harapan terhadap kemewahan fisik duniawi bukan
menjadi fokus utama. Yang utama adalah harapan terhadap kerelaah (ridla)
Allah.
Harapan duniawi, seperti jabatan, harta,
popularitas, dan lain-lain, hanya sekedarnya saja. Dikatakan demikian, karena
ketertarikan manusia pada dunia merupakan kewajaran. Yang terpenting adalah
menyikapi dunia agar memiliki peran besar untuk memperoleh akhirat yang lebih
baik. Sikap seperti ini yang oleh Nabi dikatakan ”dunia sebagai cermin
akhirat.”
Harapan paling besar bagi manusia adalah
memperoleh kasih sayang dan kerelaah Allah. Dia akan mampu memperbesar
harapannya ini, bahkan mungkin mampu meraihnya, jika dia mampu memperbesar rasa
cinta dan takut kepada Allah.
Idealnya memang ketiga pilar tersebut
harus menyertai seluruh aktivitas manusia setiap hari dan setiap saat. Sesuai
dengan konsep ibadah atau pengabdian yang mencakup bentuk ritual dan mu’amalah.
Meraih yang ideal ini merupakan satu keharusan bagi setiap muslim dan mukmin,
sehingga kelak mereka akan mampu menghadap Allah dalam kondisi sebagai manusia
sempurna (insan kamil).
Di samping itu, kadar ketiga pilar itu
juga harus seimbang. Kedudukan ketiga pilar tersebut tak ubahnya kedudukan
seekor burung, dimana rasa takut dan harap sebagai kedua sayapnya dan rasa
cinta sebagai kepalanya. Burung tidak akan dapat terbang sempurna jika salah
satu sayapnya koyak. Pun apabila kepalanya sakit.
Rasa takut yang berlebihan akan
menyebabkan cepat putus asa, sedangkan rasa takut yang rendah akan mudah
mengelincirkan pada kemaksiatan. Rasa harap juga demikian, jika berlebihan maka
dapat menyebabkan mudah berlaku maksiat dan jika rendah maka akan mudah putus
asa. Sedangkan rasa cinta menjadi pendorong utama untuk melakukan setiap
pekerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar