Kewajiban
puasa di bulan Ramadlan bagi umat Islam didasarkan pada firman Allah, "Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa." (QS:2:183).
Terdapat empat kata kunci (key word) untuk memahami lemih jauh firman
ini, yaitu iman, puasa umat Islam, puasa umat sebelum Islam, dan taqwa.
Pertama,
iman. Allah memberikan kewajiban puasa hanya kepada orang-orang yang beriman.
Hal ini jelas menunjukkan adanya kaitan puasa dengan kwalitas keimanan. Segala
aktivitas setiap muslim harus dilandasi dengan keimanan sebab tanpanya akan
sia-sia di sisi Allah. Aktivitas yang tidak didasari keimanan diibaratkan-Nya
seperti fatamorgana, "Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka
adalah laksana fatamorgana, di tanah yang datar, yang disangka air oleh
orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapakan
susutau apapun." (QS:24:39). Di sini nampak bahwa sebuah perbuatan
tanpa iman akan menjadi semata bayang-bayang, yang nampak seakan menjanjikan
apa yang diharapkan, tetapi pada hakekatnya ia tiada ada artinya di sisi Allah.
Iman
juga memberikan suasana psikologis yang harmoni kepada manusia. Dan pada
gilirannya suasana ini dapat mendorongnya untuk menerima segala tugas yang
diberikan kepadanya dengan lapang dada. Dengan kata lain, keimanan itu dapat
mendorong manusia taat pada setiap ketentuan yang diberlakun bagi dan untuknya.
Kedua,
puasa umat Islam. Secara syar'i kewajiban puasa adalah dalam bentuk menahan
diri dari makan, minum, dan berhubungan badan sejak terbit fajar hingga
terbenam matahari dengan disertai niat. Setiap muslim yang menjalankannya
dengan keimanan ia berhak mendapatkan balasan dari Allah, seperti
difirmankan-Nya dalam sebuah hadits Qudsi, "Semua amalan anak adam
milknya, kecuali puasa, ia adalah milik-Ku, dan Akulah yang akan memberikan
pahala terhadap puasa tersebut." (HR. Bukhari Muslim).
Balasan
ini merupakan penghargaan Allah yang amat tinggi terhadap ketulusan (ikhlas)
orang yang berpuasa (sha’im) dalam merealisasikan kepatuhannya terhadap
kewajiban yang telah diberikan-Nya. Karenanya Nabi menyatakan, "Barang
siapa yang berpuasa (pada bulan Ramdlan) dengan penuh keimanan dan pengharapan
atasa ridla Allah, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat."
(HR. Bukhari-Muslim). Semua sikap ini dilahirkan oleh sha’im tidak lain
merupakan manifestasi keimanan.
Penghapusan
dosa ini bukan satu-satunya balasan puasa, meski dapat dikatakan ia merupakan
balasan yang sangat tinggi. Allah juga menjadikan puasa sebagai pelindung bagi
pelakunya dari api neraka, seperti disabdakan Nabi, "Puasa itu
merupakan penghalang dari api neraka." (HR. Bukhari-Muslim). Bahkan Ia
juga menyediakan satu pintu khusus di surga bagi mereka, yaitu ar-Rayyan. Tidak
ada yang bisa masuk pintu itu kecuali orang-orang yang berpuasa (HR.
Bukhari-Muslim). Allah juga akan mengkarunia dua kebagaiaan bagi yang berupasa:
Kebahagiaan ketika berbuka puasa, dan kebahagaain ketika bertemu Allah dengan
puasanya (HR. Bukhari-Muslim).
Ketiga,
puasa umat sebelum Islam. Sebelum Islam lahir Allah memang telah mewajibkan
puasa. Maryam, ibunda nabi Isa dapat dijadikan contoh. Ia telah bernadzar untuk
berpuasa dengan cara tidak berbicara dengan siapapun (QS. 19:26). Puasa ini
jelas berbeda dengan puasa umat Islam. Meski modelnya berbeda-beda tetapi tetap
disebut puasa. Hal ini di samping menunjukkan adanya keterkaitan antara Islam
yag dibawa Nabi dengan ajaran nabi dan rasul sebelumnya, juga menunjukkan
besarnya hakikat yang terkandung dalam ibadah ini.
Dan
keempat, taqwa. Puasa merupakan realisasi ketaqwaan, bahkan tujuan
buapas itu sendiri adalah meningkatkan kualitas taqwa. Taqwa adalah berarti
keimanan yang jujur kepada Allah, sehingga seorang yang bertaqwa (muttaqi)
benar-benar mengamalkan ajaran Allah di mana dan kapan saja ia berada. Ia juga
bersikap ekstra hati-hati terhadap hal-hal yang dilarang Allah. Ibarat sedang
berjalan di atas jalan setapak yang penuh duri. Ia melangkah pelan-pelan supaya
selamat dari tusukan duri. Demikian juga takwa, ia adalah sikap hati-hati dalam
sekecil apapun langkahnya, takut kalau nanti langkahnya itu melanggar ajaran
Allah.
Realisasi
taqwa ini dalam puasanya adalah berusaha dengan jujur menjaga puasanya dari
hal-hal yang merusaknya, padahal ia bisa membatalkannya dengan tanpa seorang
pun tahu. Ia juga menjaganya agar tidak dirusak oleh dorongan hawa nafsunya,
bahkan ketika ada orang yang mengejek atau mengajak bertengkar ia akan
mengatakan, "Maaf saya sedang puasa." (HR. Bukhari Muslim)
Ia
berusaha menjaga hatinya supaya senantiasa berdzikir kepada Allah dalam segala
perbuatannya. Artinya segala bentuk perbuatannya merupakan cermin ketaqwaan.
Pola sikap seperti ini yang akan menjauhkannya dari hal-hal negatif yang
menimpanya. Kalaupun terjadi, itu merupakan ujian bukan musibah. Dan sikap ini
pula yang akan mebawa pada kedamaian hidup. Seperti dijanjikan Allah, “Jika
seluruh warga negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami limpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al-A'raf
7: 96).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar