Kamis, 11 September 2014

Kekuatan Nurani



Al-Hajaj bin Yusuf ats-Tsaqofi saat menjabat gubernur Iraq ia terkenal otoriter dan diktator. Hampir tidak ada seorang pun penduduk Basrah yang berani mengajukan kritik apalagi membantah titah-titahnya. Hanya sebagian kecil yang berani melakukannya. Salah satunya adalah Hasan Al-Basri.
Ia tidak hanya melontarkan kritik-kritiknya di “mimbar-mimbar bebas,”  tetapi ia juga melakukannya di depan Al-Hajaj sendiri, seperti pada saat acara peresmian istana Al-Hajaj di tepian kota Basrah. Istana ini dibangun dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat diundang untuk menyaksikan peresmiannya.
Di tengah-tengah tamu undangan seluruh penduduk Basrah yang hadir saat itu, Hasan Al-Basri berdiri, dan menyuarakan kritiknya terhadap Al-Hajaj, “Kita telah melihat apa-apa yang telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita juga telah mengetahui Fir’au membangun istana yang lebih indah dan lebih megah dari istana ini. Tetapi Allah menghancurkan istana itu … karena kedurhakaan dan kesombongannya …”
Beberapa orang mulai mencemaskan perbuatan Hasan Al-Basri tersebut. Salah seorang dari mereka berbisik menegurnya, “Ya Abu Sa’id, sudahi kritikmu, cukup!” Namun ia malah menjawab, “Sungguh Allah telah mengambil janji dari orang-orang yang berilmu supaya menerangkan kebenaran kepada orang lain dan tidak menyembunyikannya.”
Wajah Al-Hajaj tampak memerah mendengar kritikan Hasan Al-Basri tersebut. Apalagi hal itu dilakukan pada acara yang digelarnya sendiri. Spontan ini memarahi para ajudannya, “Celakalah kalian. Mengapa kalian biarkan budak dari Basrah itu mencaci maki dan bicara seenaknya? Dan tak seorangpun dari kalian yang mencegahnya? Tangkap dia, hadapkan kepadaku!” .
Sesaat kemudian Hasan Al-Basri ditangkap dan dikeler di hadapan Al-Hajaj.  Semua mata tertuju kepadanya. Hati dan pikiran mereka berkecamuk membayangkan apa yang akan terjadi pada Hasan Al-Basri. Ini sangat jauh berbeda dengan Hasan Al-Basri sendiri yang berdiri tegak dan tenang menghadapi Al-Hajaj bersama puluhan pasukan pengawal dan algojonya.
Raut wajah Al-Hajaj mendadak berubah. Sikap tenang Hasan Al-Basri mampu melunturkan kecongkakan wajah sang penguasa. Berubah menjadi wajah sopan dan ramah. Al-Hajaj pun menyambut Hasan Al-Basri dengan ramah tak ubahnya saat menyambut kawan lamanya. “Kemarilah ya Abu Sa’id …” ajak Al-Hajaj kepada Hasan Al-Basri untuk duduk di sampingnya. Semua mata memandangnya dengan kagum.
Dalam pertemuan itu, Al-Hajaj banyak bertanya tentang agama kepada Hasan Al-Basri. Seluruh pertanyaan Al-Hajaj dijawab tuntas dengan bahasa yang lembut dan mempesona. Dan akhirnya Hasan Al-Basri pun dipersilahkan untuk pulang.
Di mana seorang pengawal Al-Hajaj yang turut mengantar kepulangan Hasan Al-Basri, apa yang baru saja terjadi tersebut merupakan suatu peristiwa yang sangat aneh. Tetapi ia sempat melihat mulut Hasan Al-Basri bergerak-gerak seperti sedang membaca sesuatu sebelum menghadap Al-Hajaj.
Ia pun tertarik untuk menanyakannya, “Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda mengucapkan sesuatu ketika hendak berhadapan dengan Al-Hajaj. Apakah sesungguhnya kalimat yang anda baca itu?” Hasan Al-Basri menjawab, “Saat itu aku baca ‘Ya Wali dan Pelindungku dalam kesusahan. Jadikanlah hukuman Al-Hajaj sejuk dan keselamatan buatku, sebagaimana Engkau telah jadikan api sejuk dan menyelamatkan bagi Ibrahim.”
Inilah salah satu kisah tentang seorang putra mantan pembantu salah seorang istri Nabi, Hind binti Suhail yang lebih terkenal dengan julukan Ummu Salamah, yang bernama Khairoh. Kritik-kritik yang dilontarkannya secara tulus dan berdasar pada kebenaran Ilahi telah mampu mengabah sikap tiran seorang penguasa.
Inilah salah satu pelajaran yang dapat diambil dari kisah tersebut. Sebuah kondisi yang tidak baik dapat dirubah dengan kritik-kritik konstruktif. Dengan catatan kritik itu tidak disampaikan hanya sekedar mencari sensasi atau justru malah menyembunyikan maksud-maksud politis tertentu. Jika yang terakhir ini yang terjadi maka yang tersisa hanya perang retorika dan saling unjuk kekuatan politik seperti yang selama ini terjadi di pentas politik di negeri ini.
Kritik yang tulus dan berdasar pada kebenaran Ilahi tersebut bukan tidak mungkin ditegakkan di negeri ini. Sebab sebagai bangsa yang beragama sudah sepatutnya menjadikan nurani sebagai landasan untuk membangun ulang sistem yang sudah rusak. Bukan hanya nurani rakyat atau hanya nurani penguasa.
Barangkali karena terabaikannya nurani inilah yang kemudian bangsa ini diperingatkan Tuhan dengan beruntunnya musibah biak dalam bentuk bencana alam maupun kecelakan transportas, dan lain-lain. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar