Al-Hajaj bin
Yusuf ats-Tsaqofi saat menjabat gubernur Iraq ia terkenal otoriter dan diktator.
Hampir tidak ada seorang pun penduduk Basrah yang berani mengajukan kritik apalagi
membantah titah-titahnya. Hanya sebagian kecil yang berani melakukannya. Salah
satunya adalah Hasan Al-Basri.
Ia tidak hanya
melontarkan kritik-kritiknya di “mimbar-mimbar bebas,” tetapi ia juga melakukannya di depan Al-Hajaj
sendiri, seperti pada saat acara peresmian istana Al-Hajaj di tepian kota
Basrah. Istana ini dibangun dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat
diundang untuk menyaksikan peresmiannya.
Di
tengah-tengah tamu undangan seluruh penduduk Basrah yang hadir saat itu, Hasan
Al-Basri berdiri, dan menyuarakan kritiknya terhadap Al-Hajaj, “Kita telah
melihat apa-apa yang telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita juga telah mengetahui
Fir’au membangun istana yang lebih indah dan lebih megah dari istana ini.
Tetapi Allah menghancurkan istana itu … karena kedurhakaan dan kesombongannya …”
Beberapa orang
mulai mencemaskan perbuatan Hasan Al-Basri tersebut. Salah seorang dari mereka berbisik
menegurnya, “Ya Abu Sa’id, sudahi kritikmu, cukup!” Namun ia malah menjawab, “Sungguh
Allah telah mengambil janji dari orang-orang yang berilmu supaya menerangkan
kebenaran kepada orang lain dan tidak menyembunyikannya.”
Wajah Al-Hajaj
tampak memerah mendengar kritikan Hasan Al-Basri tersebut. Apalagi hal itu
dilakukan pada acara yang digelarnya sendiri. Spontan ini memarahi para
ajudannya, “Celakalah kalian. Mengapa kalian biarkan budak dari Basrah itu
mencaci maki dan bicara seenaknya? Dan tak seorangpun dari kalian yang mencegahnya?
Tangkap dia, hadapkan kepadaku!” .
Sesaat
kemudian Hasan Al-Basri ditangkap dan dikeler di hadapan Al-Hajaj. Semua mata tertuju kepadanya. Hati dan pikiran
mereka berkecamuk membayangkan apa yang akan terjadi pada Hasan Al-Basri. Ini
sangat jauh berbeda dengan Hasan Al-Basri sendiri yang berdiri tegak dan tenang
menghadapi Al-Hajaj bersama puluhan pasukan pengawal dan algojonya.
Raut wajah
Al-Hajaj mendadak berubah. Sikap tenang Hasan Al-Basri mampu melunturkan
kecongkakan wajah sang penguasa. Berubah menjadi wajah sopan dan ramah.
Al-Hajaj pun menyambut Hasan Al-Basri dengan ramah tak ubahnya saat menyambut
kawan lamanya. “Kemarilah ya Abu Sa’id …” ajak Al-Hajaj kepada Hasan Al-Basri untuk
duduk di sampingnya. Semua mata memandangnya dengan kagum.
Dalam
pertemuan itu, Al-Hajaj banyak bertanya tentang agama kepada Hasan Al-Basri.
Seluruh pertanyaan Al-Hajaj dijawab tuntas dengan bahasa yang lembut dan
mempesona. Dan akhirnya Hasan Al-Basri pun dipersilahkan untuk pulang.
Di mana
seorang pengawal Al-Hajaj yang turut mengantar kepulangan Hasan Al-Basri, apa
yang baru saja terjadi tersebut merupakan suatu peristiwa yang sangat aneh.
Tetapi ia sempat melihat mulut Hasan Al-Basri bergerak-gerak seperti sedang membaca
sesuatu sebelum menghadap Al-Hajaj.
Ia pun
tertarik untuk menanyakannya, “Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda
mengucapkan sesuatu ketika hendak berhadapan dengan Al-Hajaj. Apakah
sesungguhnya kalimat yang anda baca itu?” Hasan Al-Basri menjawab, “Saat itu aku
baca ‘Ya Wali dan Pelindungku dalam kesusahan. Jadikanlah hukuman Al-Hajaj
sejuk dan keselamatan buatku, sebagaimana Engkau telah jadikan api sejuk dan
menyelamatkan bagi Ibrahim.”
Inilah salah
satu kisah tentang seorang putra mantan pembantu salah seorang istri Nabi, Hind
binti Suhail yang lebih terkenal dengan julukan Ummu Salamah, yang bernama
Khairoh. Kritik-kritik yang dilontarkannya secara tulus dan berdasar pada
kebenaran Ilahi telah mampu mengabah sikap tiran seorang penguasa.
Inilah salah
satu pelajaran yang dapat diambil dari kisah tersebut. Sebuah kondisi yang
tidak baik dapat dirubah dengan kritik-kritik konstruktif. Dengan catatan
kritik itu tidak disampaikan hanya sekedar mencari sensasi atau justru malah
menyembunyikan maksud-maksud politis tertentu. Jika yang terakhir ini yang
terjadi maka yang tersisa hanya perang retorika dan saling unjuk kekuatan
politik seperti yang selama ini terjadi di pentas politik di negeri ini.
Kritik yang
tulus dan berdasar pada kebenaran Ilahi tersebut bukan tidak mungkin ditegakkan
di negeri ini. Sebab sebagai bangsa yang beragama sudah sepatutnya menjadikan
nurani sebagai landasan untuk membangun ulang sistem yang sudah rusak. Bukan
hanya nurani rakyat atau hanya nurani penguasa.
Barangkali
karena terabaikannya nurani inilah yang kemudian bangsa ini diperingatkan Tuhan
dengan beruntunnya musibah biak dalam bentuk bencana alam maupun kecelakan transportas, dan lain-lain. Wallahu a’lam bi
al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar