Senin, 15 September 2014

Mengenal Hati



Nabi pernah bersabda, seperti dituturkan oleh Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal darah. Jika ia baik maka akan seluruh tubuh ikut baik, pun jika ia rusak maka seluruh tubuh akan ikut rusak. Ketahuilah ia adalah hati.”
Teks yang bermakna hati dalam hadis tersebut adalah qalb yang menunjukkan arti berubah-rubah. Ada sepenggal syair Arab yang amat pepuler yang menunjukkan qalb dalam arti demikian, yaitu ma summiya al-qalb illa li yatataqallabu (tidak disebut hati kecuali karena berubah-rubah). Al-Ghazali menggambarkan perubahan hati melebihi kecepatan didih air dalam kuali.
Saat Nabi menghadapi isra’ dan mi’raj, ia dibersihkan dulu hatinya oleh Jibril. Kata al-shadr (dada) dalam teks penggambaran peristiwa itu menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah jantung,bukan liver, karena jantung posisinya di dada.
Dalam banyak kamus Arab-Indonesia, kata qalb bila berdiri sendiri bararti hati, jantung atau akal. Untuk makna yang disebut terakhir ini seperti disampaian oleh Al-Farra’ -seorang pakar bahasa Arab- dalam mengartikan ayat “Bagi orang yang memiliki qalb.” (QS. Qaf : 37)
Dari sini tampak adanya dua pemaknaan terhadap kata qalb, yaitu pemaknaan secara biologis dan psikis. Namun keduanya menunjukkan karakter dan fungsi yang sama, yaitu karakter mudah berubah dan fungsi penentu.
Di samping itu, banyak ulama (terutama ulama Syafi’iyah) yang berpandangan bahwa akal manusia itu berada di dalam qalb bukan otak. Lepas dari silang pendapat tersebut, yang jelas hadis tersebut, seperti ditegaskan Imam Nawawi, menegaskan agar manusia berupaya memperbaiki qalb serta menjaganya dari kerusakan.
Alasannya sangat jelas bahwa hati merupakan motor penggerak utama aktivitas manusia. Jika orang menghendaki jadi orang baik maka selayaknya ia menjaga hatinya agar ia bisa bersinar (nurani), tidak sebaliknya menggelapkan (dhulmani). Karena itu sejatinya perbedaan manusia itu terletak pada perbedaan hatinya.
Terkait dengan hal ini, tercatat paling tidak ada tiga macam hati manusia. Pertama, hati yang sehat, yaitu hati yang selamat, hati yang bertauhid, di mana seseorang tidak akan selamat di hari akhirat nanti kecuali ia datang dengan membawa hati ini. Allh berfirman, “(Yaitu) hari di mana tidak berguna lagi harta dan anak-anak kecuali mereka yang datang menemui Alloh dengan hati yang selamat (selamat dari kesyirikan dan kotoran-kotorannya).” (QS as-Syu’ara: 88-89)
Hati yang sehat adalah hati yang terbebas dari jeratan hawa nafsu, selamat dari setiap keinginan yang bertentangan dengan hukum Allah. Pemilik hati ini akan senantiasa bersikap tenang dan tegar dalam menghadapi setiap permasalahan.
Kedua, hati yang mati, yaitu hati yang tidak mengenal Tuhannya. Hati ini senantiasa menyelaraskan jalan dengan hawa nafsu. Ia menutup diri dari petunjuk Tuhan. Sudah tentu pemiliknya akan tersesat jalan, tidak mendapatkan kedamaian, serta akan merasakan murka Allah.
Pemilik hati ini bahkan ada yang sampai menentang Tuhan dengan menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat al-Jatsiyah ayat 23, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
Dan ketiga, hati yang sakit, yaitu hati yang hidup namun mengandung penyakit. Hati ini akan mengikuti unsur kuat yang mempengaruhinya. Pemilik hati ini akan senantiasa berubah-ubah. terkadang ia berada dalam ketaatan dan kebaikan, namun terkadang ia berada dalam maksiat dan dosa. Sikap dan lakunya akan selalu berubah sesuai dengan arus lingkungannya.
Termasuk golongan yang manakah kita, tentu tidak ada yang tahu selain Allah dan diri kita sendiri. Untuk itu, bersegera untuk menilik ke kedalaman hati merupakan agenda mendesak kita sebelum lebih jauh kita menapaki jalan hidup ini.
Sebagai bahan renungan, sepatutnya kita mengingat firman Allah dalam surat al-Kahfi ayat 49, “Dan diletakkanlah kitab (kitab amalan perbuatan), lalu kamu akan melihat orang-orang berdosa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan hadir (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar