Beberapa hari lagi tanggal 1 Syawal akan
tiba, yang menunjukkan berakhirnya bulan Ramadhan. Banyak sebutan untuk hari
itu, seperti lebaran, bodo, Idul Fitri, dan lain-lain, yang semuanya jelas
terkait dengan aktifitas umat muslim selama bulan Ramadhan. Lebaran berakar
pada kata lebar dalam Bahasa Jawa yang menunjukkan arti usai. Umat muslim telah
selesai melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah yang lain selama sebulan
penuh. Bodo berakar pada kata ba’d dalam Bahasa Arab yang menunjukkan arti
setelah atau seusai. Dengan demikian kedua istilah tersebut menunjukkan
pengertian yang sama, yaitu berakhirnya seluruh rangkaian ibadah Ramadhan.
Ungkapan tersebut tampaknya lebih
menekankan pada aspek pelaksanaan ibadah secara lahiriah, dan masih menyisakan
satu pertanyaan “seteleh itu lalu bagaimana?” Dan jawabannya juga jelas, yaitu
kembali seperti semula sebelum Ramadhan. Seperti pergi haji. Sepulang dari
tanah suci berarti kembali ke rumah asal.
Berbeda dengan istilah Idul fitri, yang menunjukkan pengertian bahwa
seluruh rangkaian ibadah selama sebulan dapat menghantarkan seseorang untuk
kembali pada kahikat kefitrahannya. Sehingga pada hari itu dia seperti terlahir
kembali.
Selain itu, hari itu juga disebut hari
raya, yang mengandung pengertian ramai atau perayaan. Berdasar istilah ini
masyarakat meramaikannya dengan berpakaian serba baru, dan menyajikan beragam
jenis makanan dan minuman. Kecenderungan ini yang melatari pandangan sahabat
Ali bahwa “lebaran bukan bagi orang yang mengenakan bakaian baru, tetapi bagi
orang yang kadar ketaatannya kepada Tuhan bertambah”.
Terlepas dari persoalan istilah, yang jelas hari itu merupakan titik
awal untuk mengetahui hasil dari serangkaian ibadah selama Ramadhan. Secara
konsepsional perilaku ibadah tersebut merupakan satu proses penyadaran diri
terdahap eksistensi kemanusiaan (fitrah). Sehingga puncak kesadaran ini
disimbolkan dengan perayaan idul fitri (kembali pada fitrah). Dan karena fitrah
itu hanya menghendaki yang baik dan benar maka sepatutnya pelilaku pasca
Ramadhan juga baik dan benar.
Dengan demikian, keberhasilan ibadah Ramadhan seseorang dapat diketahui
dari perilakunya pasca Ramadhan. Sekira dia tetap atau lebih baik daripada
sebelumnya berarti tergolong orang yang berhasil. Tetapi jika tetap atau lebih
jelek dia termasuk orang yang merugi dan tertipu. Seperti orang yang berangkat
haji. Kalau sebaliknya dari tanah suci perilakunya dapat berubah menjadi salih
berarti menandakan hajinya babrur, dan bagi yang sebalikya berarti hajinya
mardud.
Karena itu ada yang menyebut bahwa Ramadhan merupakan media evaluasi
diri (muhasabat al-nafs) tahunan. Pemanfaatan media ini secara efektif akan
menjamin peningkatan hidup seseorang pada setiap tahun. Dalam konsteks keimanan
dan ketaqwaan, berarti seharusnya setiap tahun terdapat peningkatan, sehingga
bersamaan dengan bergulirnya usia dia akan selalu siap menghadap Tuhan kapan
pun Tuhan menghendaki.
Menurut pandangan ini, sebenarnya Islam menghendaki pengaturan hidup
secara bertahap dan serius. Pernyataan bahwa hidup adalah satu permainan (lahw
wa la’ib) merupakan satu realita yang tidak dikehendaki oleh Islam, dan
sekaligus merupakan tipuan yang dapat menghambat progrsifitas dan produktifitas
manusia.
Halal bi Halal
Perilaku baik pasca Ramadhan yang menunjukkan keberhasilan ibadah
seseorang itu bukan hanya terkait dengan hubungannya dengan Tuhan (habl min
Allah), tetapi juga terkait dengan hubungannya dengan sesama manusia (habl min
al-nas). Sebab bisa jadi ritual yang dijalani telah mengahtarkannya pada
pengampunan Tuhan. Tetapi kesalahan yang dilakukan terhadap orang lain
(kesalahan sosial) tidak bisa terampuni hanya dengan pelaksanaan ritual formal,
harus diselesaikan secara manusiawi. Hal inilah yang mendasari tradisihalal bi
halal di negeri ini.
Tradisi ini murni terkait dengan hubungan antarsesama manusia.
Diasumsikan bahwa segala urusan dengan Tuhan telah selesai dengan pelaksaan
ritual selama Ramadhan. Sementara untuk urusan sesama manusia tidak bisa hanya
diserahkan kepada Tuhan, tetapi harus diselesaikan dengan sesama manusia.
Sehingga seseorang belum benar-benar dapat dibilang telah mampu kembali pada
fitrahnya jika dia masih memiliki tanggungjawab kemanusiaan (hak adami). Di
sinilah urgensi halal bi halal, yaitu untuk menyelesaikan segala urusan
kemanusiaan.
Seorang yang pernah menipu temannya misalnya. Pelanggarannya terhadap
syariat (tidak boleh menipu) barangkali dapat diampuni oleh Tuhan melalui
ritual Ramadhan. Tetapi pengampunan itu tidak akan sempurna jika dia tidak
meminta maaf sekaligus menjelaskan bentuk penipuannya kepada temannya tersebut.
Hal ini juga berlaku bagi para pemimpin,
termasuk pemimpin negara. Berarti halal bi halalnya presiden atau petinggi
negara yang lain tidak cukup hanya dengan menyampaikan permohonan maaf, tetapi
harus disertai uraian tentang berbagai penipuan (jika ada) yang pernah
dilakukan selama satu tahun. Mungkin hal ini tidak mungkin karena erat
kaitannya dengan prestise seorang pemimpin. Tetapi apa sebutan bagi pemimpin
yang terbiasa menyembungikan perilaku buruknya terhadap rakyatnya sendiri.
Di sini barangkali batut diurai kembali
keteladanan kepemimpinan Umar bin Khattab, yang secara tegas mempersilahkan
kepada rakyatnya untuk memberikan penilaian terhadap dirinya. Bahkan dia
memberi peluang bagi mereka untuk meluruskan penyimpangan yang pernah
dilakukan. Nabi sendiri, sebelum wafat, juga mengumpulkan seluruh sahabatnya
guna mencari siapa saja yang pernah merasa terdhalimi olehnya. Apa yang
dilakukan oleh Umar dan Nabi tersebut tidak lain adalah halal bi halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar