Sabtu, 02 Agustus 2014

Tanggal 1 Syawal

          Beberapa hari lagi tanggal 1 Syawal akan tiba, yang menunjukkan berakhirnya bulan Ramadhan. Banyak sebutan untuk hari itu, seperti lebaran, bodo, Idul Fitri, dan lain-lain, yang semuanya jelas terkait dengan aktifitas umat muslim selama bulan Ramadhan. Lebaran berakar pada kata lebar dalam Bahasa Jawa yang menunjukkan arti usai. Umat muslim telah selesai melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah yang lain selama sebulan penuh. Bodo berakar pada kata ba’d dalam Bahasa Arab yang menunjukkan arti setelah atau seusai. Dengan demikian kedua istilah tersebut menunjukkan pengertian yang sama, yaitu berakhirnya seluruh rangkaian ibadah Ramadhan.
       Ungkapan tersebut tampaknya lebih menekankan pada aspek pelaksanaan ibadah secara lahiriah, dan masih menyisakan satu pertanyaan “seteleh itu lalu bagaimana?” Dan jawabannya juga jelas, yaitu kembali seperti semula sebelum Ramadhan. Seperti pergi haji. Sepulang dari tanah suci berarti kembali ke rumah asal.
Berbeda dengan istilah Idul fitri, yang menunjukkan pengertian bahwa seluruh rangkaian ibadah selama sebulan dapat menghantarkan seseorang untuk kembali pada kahikat kefitrahannya. Sehingga pada hari itu dia seperti terlahir kembali.
Selain itu, hari itu juga disebut hari raya, yang mengandung pengertian ramai atau perayaan. Berdasar istilah ini masyarakat meramaikannya dengan berpakaian serba baru, dan menyajikan beragam jenis makanan dan minuman. Kecenderungan ini yang melatari pandangan sahabat Ali bahwa “lebaran bukan bagi orang yang mengenakan bakaian baru, tetapi bagi orang yang kadar ketaatannya kepada Tuhan bertambah”.
Terlepas dari persoalan istilah, yang jelas hari itu merupakan titik awal untuk mengetahui hasil dari serangkaian ibadah selama Ramadhan. Secara konsepsional perilaku ibadah tersebut merupakan satu proses penyadaran diri terdahap eksistensi kemanusiaan (fitrah). Sehingga puncak kesadaran ini disimbolkan dengan perayaan idul fitri (kembali pada fitrah). Dan karena fitrah itu hanya menghendaki yang baik dan benar maka sepatutnya pelilaku pasca Ramadhan juga baik dan benar.
Dengan demikian, keberhasilan ibadah Ramadhan seseorang dapat diketahui dari perilakunya pasca Ramadhan. Sekira dia tetap atau lebih baik daripada sebelumnya berarti tergolong orang yang berhasil. Tetapi jika tetap atau lebih jelek dia termasuk orang yang merugi dan tertipu. Seperti orang yang berangkat haji. Kalau sebaliknya dari tanah suci perilakunya dapat berubah menjadi salih berarti menandakan hajinya babrur, dan bagi yang sebalikya berarti hajinya mardud.
Karena itu ada yang menyebut bahwa Ramadhan merupakan media evaluasi diri (muhasabat al-nafs) tahunan. Pemanfaatan media ini secara efektif akan menjamin peningkatan hidup seseorang pada setiap tahun. Dalam konsteks keimanan dan ketaqwaan, berarti seharusnya setiap tahun terdapat peningkatan, sehingga bersamaan dengan bergulirnya usia dia akan selalu siap menghadap Tuhan kapan pun Tuhan menghendaki.
Menurut pandangan ini, sebenarnya Islam menghendaki pengaturan hidup secara bertahap dan serius. Pernyataan bahwa hidup adalah satu permainan (lahw wa la’ib) merupakan satu realita yang tidak dikehendaki oleh Islam, dan sekaligus merupakan tipuan yang dapat menghambat progrsifitas dan produktifitas manusia.

Halal bi Halal
Perilaku baik pasca Ramadhan yang menunjukkan keberhasilan ibadah seseorang itu bukan hanya terkait dengan hubungannya dengan Tuhan (habl min Allah), tetapi juga terkait dengan hubungannya dengan sesama manusia (habl min al-nas). Sebab bisa jadi ritual yang dijalani telah mengahtarkannya pada pengampunan Tuhan. Tetapi kesalahan yang dilakukan terhadap orang lain (kesalahan sosial) tidak bisa terampuni hanya dengan pelaksanaan ritual formal, harus diselesaikan secara manusiawi. Hal inilah yang mendasari tradisihalal bi halal di negeri ini.
Tradisi ini murni terkait dengan hubungan antarsesama manusia. Diasumsikan bahwa segala urusan dengan Tuhan telah selesai dengan pelaksaan ritual selama Ramadhan. Sementara untuk urusan sesama manusia tidak bisa hanya diserahkan kepada Tuhan, tetapi harus diselesaikan dengan sesama manusia. Sehingga seseorang belum benar-benar dapat dibilang telah mampu kembali pada fitrahnya jika dia masih memiliki tanggungjawab kemanusiaan (hak adami). Di sinilah urgensi halal bi halal, yaitu untuk menyelesaikan segala urusan kemanusiaan.
Seorang yang pernah menipu temannya misalnya. Pelanggarannya terhadap syariat (tidak boleh menipu) barangkali dapat diampuni oleh Tuhan melalui ritual Ramadhan. Tetapi pengampunan itu tidak akan sempurna jika dia tidak meminta maaf sekaligus menjelaskan bentuk penipuannya kepada temannya tersebut.
              Hal ini juga berlaku bagi para pemimpin, termasuk pemimpin negara. Berarti halal bi halalnya presiden atau petinggi negara yang lain tidak cukup hanya dengan menyampaikan permohonan maaf, tetapi harus disertai uraian tentang berbagai penipuan (jika ada) yang pernah dilakukan selama satu tahun. Mungkin hal ini tidak mungkin karena erat kaitannya dengan prestise seorang pemimpin. Tetapi apa sebutan bagi pemimpin yang terbiasa menyembungikan perilaku buruknya terhadap rakyatnya sendiri.
         Di sini barangkali batut diurai kembali keteladanan kepemimpinan Umar bin Khattab, yang secara tegas mempersilahkan kepada rakyatnya untuk memberikan penilaian terhadap dirinya. Bahkan dia memberi peluang bagi mereka untuk meluruskan penyimpangan yang pernah dilakukan. Nabi sendiri, sebelum wafat, juga mengumpulkan seluruh sahabatnya guna mencari siapa saja yang pernah merasa terdhalimi olehnya. Apa yang dilakukan oleh Umar dan Nabi tersebut tidak lain adalah halal bi halal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar