Pada saat Umar bin Khattab menjabat
sebagai khalifah, penyebaran Islam sudah jauh sampai ke luar wilayah jazirah
Abab. Untuk memperlancar urusan kekhalifahan, Khalifah mengangat beberapa orang
sebagai gubenur. Salah seorang di antaranya adalah Amr bi Ash.
Amr dipercaya oleh Khalifah untuk menjadi
gubenur di Mesir. Dalam program tata kotanya, ia merencanakan membangun sebuah
masjid yang megah tepat di depan kantornya. Kebetulan hamparan lahan di situ
masih kosong. Cuma berdiri sebuah gubuk kecil yang ternyata belakangan
diketahui milik seorang warga yang beragama Yahudi.
Pada suatu hari, si Yahudi itu dipanggil
menghadap. Gubenur Amr mengutarakan maksudnya, termasuk ganti rugi yang harus
diberikan. Semula si Yahudi menolak. Tetapi sang Gubenur memaksanya, bahkan
sempat mengeluarkan ancaman. Meski begitu, sang Gubenur masih menawarkan untuk
mengganti tiga kali lipat dari harga yang semestinya.
Tidak ada kata sepakat dalam pertemuan
itu. Tetapi sang Gubenur tetap melanjutnya niatnya. Ia mengeluarkan keputusan untuk
membongkar paksa gubuk si Yahudi itu dan membangun masjid untuk kepentingan
seluruh warga muslim, juga agar kota semakin tampak cantik.
Si Yahudi merasa tertindas. Ia bertekad
memperjuangkan haknya. Ia pergi ke Madinah untuk mengadu ke Khalifah. Sesampainya
di sana, ia sangat terkejut dengan keadaan Khalifah yang sangat populis itu
ternyata tidak memiliki istana yang megah. Kedatangannya saja disambut di
halaman masjid Nabawi, di bawah pohon kurma.
Setelah dipersilahkan oleh Khalifah, si
Yahudi segera menyampaikan maksud kedatangannya: sebidang tanah dan gubuk kecil
yang dibeli dari hasil kerja kerasnya telah dirampas oleh Gubenur Amr. Khalifah
sangat marah. Begitu kemarahannya agak reda, ia menyuruh si Yahudi untuk
mengambil sepotong tulang di tempat sampah yang tidak jauh dari tempat mereka
duduk.
Si Yahudi bimbang. Ia segera
beranjak setelah Khalifah menyuruh untuk yang kedua kalinya. Sesaat kemudian ia
kembali dengan membawa sepotong tulang belikat unta. Khalifah lalu mengukir
huruf alif dengan ujung pedangnya sepanjang tulang itu, dan di tengahnya diberi
tanda palang.
Kemudian tulang itu dikembalikan
lagi ke si Yahudi untuk dibawa menghadap ke Gubenur Amr. Peristiwa ini sangat
membingungkan si Yahudi. Rasa tidak puas pun mendorongnya untuk bertanya kepada
Khalifah, “Maaf, tuan Khalifah. Saya datang ke mari untuk menuntut
keadilan. Ternyata bukan keadilan yang tuan berikan, melainkan sepotong tulang
yang tidak berharga. Bukankah ini suatu penghinaan atas diri saya?”
Khalifah maklum dengan sikap si Yahudi.
Ia pun berkata, “Wahai Yahudi. Pada tulang busuk itulah terletak keadilan yang
tuan inginkan.” Penjelasan ini juga tidak membuatnya puas. Dengan rasa dongkol
di dada ia kemudian mohon panit. Berkali-kali ia tampak menggumam. “Perjalanan
yang amat jauh ini hanya untuk sebatang tulang busuk,” begitu kira-kira
gumamannya.
Begitu ia sampai kembali di Mesir, ia
segera menghadap Gubenur Amr untuk menyampaikan pesan Khalifah. Lagi-lagi ia
terkejut. Saat menerima tulang itu, wajah sang Gubenur mendadak pucat seperti
orang ketakutan. Dan saat itu juga ia memerintahkan untuk membongkar masjid
yang sedang dibangun, serta membangun kembali gubuk si Yahudi seperti semula.
“Maaf, tuan Gubenur.” Kata si Yahudi
menyela. “Tolong jangan dibongkar dulu masjid itu. Izinkan saya menanyakan satu
perkara paling pelik yang mengusik pikiran saya.” “Perkara apa lagi.” Tanya
sang Gubenur.
“Apa sebabnya tuan begitu ketakutan dan
menyuruh supaya merobohkan kembali masjid itu hanya kerana tuan menerima
sepotong tulang dari Khalifah?” Gabenur Amr lalu menjawab, “Wahai, Yahudi.
Ketahuilah tulang yang kamu bawa ini memang tulang biasa, malah baunya sangat
busuk. Tetapi kerana ia dikirim oleh khalifah, tulang itu merupakan peringatan
sekaligus ancaman yang amat keras.”
“Bisa lebih diperjelas, tuan Gubenur!”
pinta si Yahudi. “Dengan huruf alif yang dipalang tengahnya ini, sama saja
Khaliah Umar berkata: “Amr bin Ash, ingatlah kamu, siapa pun kamu sekarang,
betapa tinggi pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti berubah
menjadi tulang yang busuk. Untuk itu, bertindaklah yang adil, seperti huruf
alif yang tegak lurus. Adil di atas dan adil di bawah. Dan jika tidak, akan
kutebas batang lehermu.”
Peristiwa ini membuat si Yahudi sangat
terharu. Hatinya kemudian terbuka untuk mewakafkan dengan tulus tanah dan
gubuknya untuk pembangunan masjid. Sejak itu juga ia menyatakan dua
kalimat syahadat.
Memang, untuk menata kota, kadang
pemerintah membutuhkan ‘pengorbanan’ rakyat. Mereka yang rumah dan atau
tanahnya terkena trabasan harus rela pindah. Sudah tentu dengan ganti rugi yang
sesuai.
Dulu, populer istilah ‘penggusuran’ untuk
menyebut kasus seperti ini. Istilah itu muncul untuk menyebut aspirasi
masyarakat yang hampir tidak pernah didengar dan diakomodasi. Tetapi hal ini
tampaknya jarang –untuk tidak menyebut tidak, terjadi saat ini.
Masyarakat umum bisa jadi kurang mengerti
tentang pengembangan tata kota, bahkan pembangunan secara umum. Namun yang
mereka inginkan adalah suatu pembangunan yang berkeadilan. Wallahu a’lam bi
al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar