Kamis, 08 Maret 2012

Hadiah Tulang Busuk Untuk Amr bin Ash


Pada saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah, penyebaran Islam sudah jauh sampai ke luar wilayah jazirah Abab. Untuk memperlancar urusan kekhalifahan, Khalifah mengangat beberapa orang sebagai gubenur. Salah seorang di antaranya adalah Amr bi Ash.
Amr dipercaya oleh Khalifah untuk menjadi gubenur di Mesir. Dalam program tata kotanya, ia merencanakan membangun sebuah masjid yang megah tepat di depan kantornya. Kebetulan hamparan lahan di situ masih kosong. Cuma berdiri sebuah gubuk kecil yang ternyata belakangan diketahui milik seorang warga yang beragama Yahudi. 
Pada suatu hari, si Yahudi itu dipanggil menghadap. Gubenur Amr mengutarakan maksudnya, termasuk ganti rugi yang harus diberikan. Semula si Yahudi menolak. Tetapi sang Gubenur memaksanya, bahkan sempat mengeluarkan ancaman. Meski begitu, sang Gubenur masih menawarkan untuk mengganti tiga kali lipat dari harga yang semestinya.
Tidak ada kata sepakat dalam pertemuan itu. Tetapi sang Gubenur tetap melanjutnya niatnya. Ia mengeluarkan keputusan untuk membongkar paksa gubuk si Yahudi itu dan membangun masjid untuk kepentingan seluruh warga muslim, juga agar kota semakin tampak cantik.
Si Yahudi merasa tertindas. Ia bertekad memperjuangkan haknya. Ia pergi ke Madinah untuk mengadu ke Khalifah. Sesampainya di sana, ia sangat terkejut dengan keadaan Khalifah yang sangat populis itu ternyata tidak memiliki istana yang megah. Kedatangannya saja disambut di halaman masjid Nabawi, di bawah pohon kurma.
Setelah dipersilahkan oleh Khalifah, si Yahudi segera menyampaikan maksud kedatangannya: sebidang tanah dan gubuk kecil yang dibeli dari hasil kerja kerasnya telah dirampas oleh Gubenur Amr. Khalifah sangat marah. Begitu kemarahannya agak reda, ia menyuruh si Yahudi untuk mengambil sepotong tulang di tempat sampah yang tidak jauh dari tempat mereka duduk.
Si Yahudi  bimbang. Ia segera beranjak setelah Khalifah menyuruh untuk yang kedua kalinya. Sesaat kemudian ia kembali dengan membawa sepotong tulang belikat unta. Khalifah lalu mengukir huruf alif dengan ujung pedangnya sepanjang tulang itu, dan di tengahnya diberi tanda palang.
 Kemudian tulang itu dikembalikan lagi ke si Yahudi untuk dibawa menghadap ke Gubenur Amr. Peristiwa ini sangat membingungkan si Yahudi. Rasa tidak puas pun mendorongnya untuk bertanya kepada Khalifah, Maaf, tuan Khalifah. Saya datang ke mari untuk menuntut keadilan. Ternyata bukan keadilan yang tuan berikan, melainkan sepotong tulang yang tidak berharga. Bukankah ini suatu penghinaan atas diri saya?”
Khalifah maklum dengan sikap si Yahudi. Ia pun berkata, “Wahai Yahudi. Pada tulang busuk itulah terletak keadilan yang tuan inginkan.” Penjelasan ini juga tidak membuatnya puas. Dengan rasa dongkol di dada ia kemudian mohon panit. Berkali-kali ia tampak menggumam. “Perjalanan yang amat jauh ini hanya untuk sebatang tulang busuk,” begitu kira-kira gumamannya.
Begitu ia sampai kembali di Mesir, ia segera menghadap Gubenur Amr untuk menyampaikan pesan Khalifah. Lagi-lagi ia terkejut. Saat menerima tulang itu, wajah sang Gubenur mendadak pucat seperti orang ketakutan. Dan saat itu juga ia memerintahkan untuk membongkar masjid yang sedang dibangun, serta membangun kembali gubuk si Yahudi seperti semula. 
“Maaf, tuan Gubenur.” Kata si Yahudi menyela. “Tolong jangan dibongkar dulu masjid itu. Izinkan saya menanyakan satu perkara paling pelik yang mengusik pikiran saya.” “Perkara apa lagi.” Tanya sang Gubenur.
“Apa sebabnya tuan begitu ketakutan dan menyuruh supaya merobohkan kembali masjid itu hanya kerana tuan menerima sepotong tulang dari Khalifah?” Gabenur Amr lalu menjawab, “Wahai, Yahudi. Ketahuilah tulang yang kamu bawa ini memang tulang biasa, malah baunya sangat busuk. Tetapi kerana ia dikirim oleh khalifah, tulang itu merupakan peringatan sekaligus ancaman yang amat keras.”
“Bisa lebih diperjelas, tuan Gubenur!” pinta si Yahudi. “Dengan huruf alif yang dipalang tengahnya ini, sama saja Khaliah Umar berkata: “Amr bin Ash, ingatlah kamu, siapa pun kamu sekarang, betapa tinggi pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti berubah menjadi tulang yang busuk. Untuk itu, bertindaklah yang adil, seperti huruf alif yang tegak lurus. Adil di atas dan adil di bawah. Dan jika tidak, akan kutebas batang lehermu.” 
Peristiwa ini membuat si Yahudi sangat terharu. Hatinya kemudian terbuka untuk mewakafkan dengan tulus tanah dan gubuknya untuk pembangunan masjid. Sejak itu juga ia menyatakan dua kalimat syahadat. 
Memang, untuk menata kota, kadang pemerintah membutuhkan ‘pengorbanan’ rakyat. Mereka yang rumah dan atau tanahnya terkena trabasan harus rela pindah. Sudah tentu dengan ganti rugi yang sesuai.
Dulu, populer istilah ‘penggusuran’ untuk menyebut kasus seperti ini. Istilah itu muncul untuk menyebut aspirasi masyarakat yang hampir tidak pernah didengar dan diakomodasi. Tetapi hal ini tampaknya jarang –untuk tidak menyebut tidak, terjadi saat ini. 
Masyarakat umum bisa jadi kurang mengerti tentang pengembangan tata kota, bahkan pembangunan secara umum. Namun yang mereka inginkan adalah suatu pembangunan yang berkeadilan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar