Sangat
dianjurkan bagi siapa saja yang hendak melakukan suatu pekerjaan penting untuk
membaca basmalah. Nabi menegaskan bahwa setiap hal penting yang dikerjakan
tanpa didahului dengan basmalah ia seperti hewan yang buta sebelah atau yang
tidak berekor.
Hewan yang demikian, khususnya bagi
hewan yang halal untuk dikonsumsi dagingnya, meski tetap halal dimakan tetapi
ia tetap tidak sempurna karena ia tidak termasuk hewan yang diperbolehkan untuk
digunakan sebagai hewan (simbol) persembahan atau pengorbanan, misalnya pada
ritual kurban atau akikah. Sedangkan bagi hewan yang tidak boleh dimakan karena
tergolong binatang buas misalnya, kebuasaannya jelas berkurang karena
ketidaksempurnaannya secara fisik.
Sebagian
ulama ada yang memahami perumpamaan Nabi itu memberikan pengertian tentang
ketidaksempurnaan nilai hal penting itu di hadapan Tuhan, sehingga meski ia
tampak dikerjakan dengan baik tetapi ia tidak banyak bernilai positif bagi
pelakunya. Bahkan dalam hal-hal tertentu, menurut ahli fiqh, berimplikasi pada
pelarangan Tuhan untuk menjamahnya, seperti hewan yang disembelih tanpa
menyebut nama-Nya.
Sedang
sebagian yang lain memahaminya tidak diberkati. Dalam pengertian perbuatan itu
tidak mendorong Tuhan untuk melimpahkan rahmat dan inayah atau maunah-Nya
kepada pelakunya. Karena ia telah mengesampingkan atau melupakan aspek
transendensi pada perbuatannya tersebut. Setiap perbuatan makhluk sudah
selayaknya diorientasikan kepada sang khalik. Sebab tanpa pertolongan-Nya ia
tidak akan mampu melakukan dan mendapatkan apa-apa.
Berkat itu
sendiri adalah suatu kebaikan yang diberikan oleh Tuhan kepada hambanya, yang
acap kali yang bersangkutan tidak kuasa menduga sebelumnya. Kalau janji Tuhan
seperti ini diberikan kepada orang yang bertaqwa maka transendensi ini
merupakan salah satu bentuk ketaqwaan tersebut.
Ungkapan “la
haula wa la quwata illa bi Allah” (tidak ada daya dan upaya selain karena
Tuhan) menjustifikasi pernyataan tersebut. Ketika manusia merasa dirinya tidak
ada apa-apanya di hadapan Tuhan, maka tidak ada jalan lain selain
mengorientasikan segala perbuatannya kepada-Nya. Kedasaran terhadap orientasi
ini paling tidak ditunjukkan dengan penyertaan basmalah dalam setiap perbuatan.
Di samping
itu, dalam basmalah terkandung suatu sikap pasrah (tawakal) terhadap kehendak
tuhan kaitannya dengan perbuatan yang sedang dikerjakan. Berhasil atau tidaknya
sangat bergantung dengan kehendak-Nya. Secerdik apa pun manusia, ia pasti
tunduk pada hukum alam (kehendak Tuhan). Untuk itu, tidak ada jalan lain selain
menganggantungkan diri pada hukum tersebut, dengan tetap memanfaatkan segala
potensi yang dimiliki.
Dengan
demikian, basmalah juga akan dapat menjauhkan seseorang dari sikap sombong
(takabur), karena ia merasa dirinya dikelilingi oleh kelemahan, terutama
kaitannya dengan penentuan terhadap capaian dari segala bentuk aktivitasnya.
Pemahaman
seperti ini jika dikaitkan dengan penegasan Tuhan bahwa Ia akan memberikan
rizki yang tak terduga kepada orang yang mau bertaqwa maka yang dimaksud tidak
lain adalah berkat ini. Ia hanya berada pada kehendah (iradah) Tuhan. Tak
seorang pun yang mempu memilikinya. Pemahaman ini sekaligus menyangkal
pandangan sebagian orang yang menganggap seseorang (ulama) memiliki berkat.
Namun,
barangkali tidak ada pemahaman seperti itu. Kalau pun ada, sebenarnya hanya ada
pada ungkapan yang “salah kaprah”. Di balik ungkapan atau pandangan itu
tersimpan satu pemahaman yang mendalam, yaitu berkat tetap menjadi hak
prerogatif Tuhan untuk memberikannya kepada orang yang bertaqwa. Di sisi lain
ulama pasti memiliki tingkat ketaqwaan yang tinggi di atas orang kebanyakan.
Dengan taqwa itu ia memiliki kedekatan dengan Tuhan, sehingga kedekatan itu
dapat dimanfaatkan untuk memohonkan berkat kepada Tuhan bagi orang lain.
Tepatnya ulama itu hanya mediator atau fasilitator berkat.
Dengan
demikian siapa pun memiliki potensi untuk memohon berkat kepada Tuhan,
sebagaimana ia berpotensi untuk mempertinggi tingkat ketaqwaannya. Salah satu
upayanya adalah dengan menyertakan Tuhan dalam setiap perbuatannya, yang paling
tidak dengan mengucapkan basmalah.
Terkait dengan penegasan Nabi di atas, seseorang yang melakukan suatu perbuatan
tanpa didahului basmalah sangat mungkin bisa mencapai hasil, tetapi masih belum
bisa dipastikan keberhasilan itu dibarengi dengan kebahagiaan, kedamaian,
bahkan kelanggengan. Di sinilah berkat menjadi penting. Ibarat makan, mungkin
tanpa basmalah orang bisa kenyang, tetapi kenyang itu belum tentu dapat
menghindarkannya dari penyakit. Nabi pernah menyatakan bahwa setan (faktor
negatif) akan terus berada dan ikut dalam setiap perjamuan makan sampai disebut
asma Allah.
Dengan demikian, basmalah merupakan suatu upaya transendesi manusia dalam
segala aktivitasnnya. Dan sudah tentu hal ini tidak cukup hanya dengan
basmalah, hingga dianjurkan pula bagi setiap orang untuk bersyukur kepada Tuhan
pada setiap menyelesaikan suatu pekerjaan dengan membaca hamdalah. Bila suatu
pekerjaan yang di awal dan di akhirnya disebut nama Tuhan, maka di sinilah
berkat akan diperoleh oleh manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar