Jumat, 15 Agustus 2014

Hidup Merdeka



Siapa pun baik sebagai pribadi maupun kelompok menginginkan dapat hidup secara merdeka. Perjuangan bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga setengah abad melawan penjajah tidak lain agar bangsa ini dapat hidup merdeka. Bahkan setelah bangsa ini berhasil mengusir para penjajah dari tanah air tercinta ini, bangsa ini memiliki satu komitmen untuk turut serta dalam menghapus segala bentuk penjajahan di muka bumi ini. Pahit getirnya hidup selama masa penjajahan mendorong bangsa ini untuk merebut kembali kebebasannya yang telah lama hilang.
Namun makna kemerdekaan yang hakiki sebenarnya bukanlah sekadar suatu kebebasan dari penjajahan, melainkan kebebasan untuk dapat hidup sesuai dengan fitrahnya, yaitu suatu sifat dasar manusia yang sesuai dengan tujuan penciptannya.
Kalau Tuhan menyatakan bahwa penciptaan manusia (dan jin) itu hanya untuk mengabdi atau beribadah kepada-Nya, seperti difirmankan Allah, "Dan Aku tidak menciptakan manusia dan jin selain agar mereka mengabdi kepada-Ku," (51:56) maka sudah tentu hal inilah yang menjadi orientasi kebebasan fitriah tersebut.
Untuk itu, yang disebut manusia merdeka adalah manusia yang hidup dalam fitrahnya, yang hidup dalam ketentuan dan pedoman penciptanya, dan yang hidup sesuai dengan hak asasinya sebagai manusia. Dikatakan demikian karena hidup merdeka memang merupakan hak asasi bagi setiap orang. Dan hidup bebas untuk melaksanakan keyakinan sesuai dengan fitrah juga merupakan hak dasar manusia yang sepatutnya tidak diganggu gugat.
Pernyataan ini menegaskan bahwa kemerdekaan identik dengan kebebasan. Namun kebebasan di sini bukan berarti kebebasan yang tanpa batas. Kebabasan yang tanpa batas justru bertentangan dengan fitrah. Sebab kebebasan itu dibatasi oleh kecenderungan fitriah manusia sendiri. Dan karena kecenderungan ini telah mengorientasikan seluruh kehidupan manusia hanya kepada penciptanya, maka sudah tentu manusia harus tunduk pada aturan-aturan yang telah ditentukan oleh sang pencipta.
Dari sini dapat dijelaskan bahwa hak untuk hidup bebas itu tidak dapat dipahami sebagai hidup sekehendak hati, karena justru dengan bertindak begitu manusia akan semakin terjauhkan dari orientasi hidup yang sebenarnya. Dia tidak akan mampu menjaga keseimbangan hidup karena dia cenderung bertindak dengan menggunakan caranya sendiri, seperti menghalalkan yang haram dan membolehkan yang terlarang (haram).
Di sisi lain, kebebasan yang tanpa batas juga bertentangan dengan hukum alam (sunnat Allah). Setiap individu memiliki kebebasan. Dan jika kebasan itu diungkapkan dengan tanpa batas maka sangat rentan timbulnya benturan antarindividu. Di sinilah signifikansi Allah menentukan norma-norma atau aturan-aturan bagi kehidupan manusia, yaitu untuk menjaga harmoni hidup. Dengan mematuhi peraturan tersebut kehidupan akan berjalan secara damai.
Tidak sedikit orang yang mengartikan kemerdekaan sebagai pencerminan kebebasan berpikir, berkreasi, berkehendak, dan berbuat tanpa dibatasi sekat-sekat aturan termasuk agama di dalamnya. Agama malah dianggap sebagai candu kebuntuan berpikir dan berkreasi sehingga harus disingkirkan dari arena kehidupan.
Tanpa disadari bahwa pemaknaan kemerdekaan seperti itu juga merupakan salah satu bentuk penjajahan kognitif yang justru hanya akan menjauhkan manusia dari fitrahnya dan dari orientasi hidupnya yang hakiki. Justru pemaknaan seperti itu akan melahirkan pola hidup yang mengesampingkan nila-nilai moralitas.
Sungguh tragis, mengaku hidup di negara merdeka, tetapi terjajah, terpasung dalam sistem kehidupan yang jauh dari kehidupan manusia yang hakiki.
Islam memberi kebebasan kepada manusia untuk berpikir, berkreasi, berkehendak, dan berbuat dengan catatan bahwa kebebasan akan diartikan sebagai kemerdekaan bertindak apa saja yang nantinya akan bertemu pada suatu titik dogma Ilahiyah yang harus ditaati dan dijadikan pedoman hidup.
Dengan demikian, sungguh sangat tidak pantas bagi orang-orang yang beriman mencampakkan aturan Ilahi. "Dan tidak pantas bagi mukmin laki-laki dan perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata." (33: 36).
Dalam merealisasikan dogma ini pada tataran praktis memang terdapat banyak bentuk sesuai dengan hasil ragam bentuk penafsiran. Ini wajar-wajar saja mengingat sikap keberagamaan selain merupakan tradisi yang terwariskan dari Nabi juga merupakan hasil kreasi atau penafsiran (baca: ijtihad). Bukankah kecenderungan fitrah manusia untuk selalu berupaya mencari kebenaran telah mendorong manusia memiliki kreatifitas dalam rangka membidik kehendak sang penciptanya.
Dari sini kemerdekaan di samping mengandung makna kebebasan juga makna kebersamaan yang muncul dari suatu kesadaran kolektif tentang kesetaraan individu. Sebab tanpa adanya kesadaran ini jelas akan muncul sikap-sikap superior pada seorang atau sekelompok dan sebaliknya (inferior) pada yang lain. Kelompok pertama memiliki kecenderungan menjadikan kelompok kedua sebagai objek eksploitasi untuk kepentingan-kepentingannya. Dan jelas sikap ini sama saja dengan penjajahan.
Tampaknya sikap ini merupakan salah satu agenda reformasi moral yang mendesak untuk diperjuangkan dalam bangsa yang telah menyatakan merdeka sejak 63 tahun yang lalu ini. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar