Minggu, 03 Agustus 2014

Kupatan



Umat muslim di negeri ini memiliki tradisi yang khas dalam merayakan hari raya Idul Fitri. Dikatakan khas karena hampir dapat dipastikan tidak ditemukan pada tradisi umat muslim di negara-negara lain. Tradisi yang dimaksud adalah halal bi halal dan kupatan. Jika tradisi halal bi hahal tampaknya telah mulai ditiru oleh umat di beberapa negara. Namun tradisi kupatan sampai saat ini masih hanya ada di negeri tercinta ini.
Memang sampai saat ini belum ada yang tahu pasti dari mana asal mula munculnya makanan tradisional itu. Yang jelas ketupat tidak hanya dapat ditemukan di negeri ini. Masyarakat Malaysia dan Brunai Darussalam juga cukup terbiasa memakannya. Tetapi yang pasti tradisi kupatan hanya ada di negeri ini.
Di samping itu, sampai saat ini juga belum ditemukan bukti makanan yang berbahan dasar beras itu merupakan produk kuliner budaya Islam. Apalagi ia tidak ditemukan di wilayah Arab yang merupakan tempat munculnya ajaran Islam.
Di negara-negara rumpun Melayu, terutama Indonesia, ketupat sudah identik dengan hari raya Idul Fitri. Ia menjadi satu simbol kemenangan umat Islam dalam melawan hawa nafsu selama bulan Ramadan, simbol pengakuan terhadap kesalahan dan kealpaan bagi setiap orang, dan simbol kekerabatan dan kekeluargaan..
Lantas bagaimana makna filosofis tradisi kupatan yang berkembang di negeri ini? Ada banyak fersi penerjemahan tradisi ini. Ada yang mengaitkan ketupat merupakan simbol lebaran, sebagaimana simbol lilin pada perayaan Natal bagi umat Nasrani. Pengkaitan ini berangkat dari satu pemahaman bahwa ketupat merupakan simbol penghapusan kesalahan melalui idul fitri dan halal bi hahal.
Paling tidak penerjemahan ini dapat ditemukan dalam pandangan Asia Padmopuspito, seorang pakar Bahasa Jawa di Yogyakarta. Menurutnya, kata ketupat berasal dari kata kupat. Kata ini merupakan kependekan dari frasa “aku lepat”, yang artinya aku merasa bersalah. Kata inilah yang sering kali diungkap orang Jawa pada saat saling bermaafan (halal bi halal) pada hari raya Idul Fitri.
Namun dalam fersi lain dapat ditemukan bahwa tradisi kupatan merupakan warisan dari Walisongo yang memiliki makna yang lebih jauh;. kupatan diartikan sebagai suatu bentuk perayaan atas keberhailan umat Islam dalam menjalani empat hal, yaitu puasa Ramadan, zakat fitrah, idul fitri, dan puasa 6 hari di bulan Syawal. 
Terkait dengan puasa 6 hari di bulan Syawal ini, Imam Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi pernah meriwayatkan satu hadis dari Abu Ayyub, “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka seperti halnya puasa sepanjang tahun.”
Imam Nawawi, dalam menjelaskan hadis ini menyatakan bahwa setiap amal kebajikan mendapatkan ganjaran 10 kali lipat, puasa satu bulan Ramadhan sama dengan puasa 10 bulan, puasa 6 hari di bulan Syawal sama dengan puasa 60 hari (2 bulan), jadi jika dijumlah puasa satu bulan Ramadhan plus 6 hari bulan Syawal sama dengan puasa setahun.
Perbedaan penerjemahan terhadap kupatan ini berimplikasi pada perbedaan pola perayaannya. Untuk yang pertama, ketupat merupakan simbol Idul Fitri, sehingga ketupat dijadikan sebagai “menu utama” lebaran. Dan sangat mungkin berdasarkan ini juga di berbagai pusat perbelanjaan dan fasilitas umum terpajang ketupat sebagai ungkapan perayaan dalam rangka menyambut lebaran.
Sedang untuk yang kedua, perayaan kupatan ditepatkan pada hari ke 7 bulan Syawal. Tradisi ini sebagaimana yang masih berkembang di wilayah pesisir Jawa, Jawa Timur, Madura, dan Lombok.
Umumnya bentuk ketupat ada dua bentuk anyaman, yaitu bucu limo (ini yang umum) dan bucu pitu.  Anyaman yang tampak rumit dan selang-seling merupakan pencerminan berbagai macam kesalahan manusia. Sedang warna putih ketika ketupat dibelah menjadi dua mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah mohon ampun dari segala kesalahan. Selain itu, jika dilihat dari bentuknya ketupat merupakan cermin kesempurnaan
Semua cerminan tersebut sangar erat kaitannya dengan kemenangan umat muslim setelah selama sebulan melalui menempaan diri di bulan Ramadan. Dan saat mereka telah memasuki hari raya Idul Fitri mereka melengkapi kemenangan itu dengan membersihkan diri dari segala kesalahan yang dilakukannya terhadap sesama manusia. Sehingga setelah semua proses itu mereka menjadi manusia yang sempurna sesuai fitrahnya.
Biasanya sebagai sayuran penyanding ketupat adalah sayur lodeh plus lauk tahu dan tempe. Penggunaan sayur ini sebagai simbol kesederhanaan. Diharapkan setelah umat muslim berpesta makan enak selama Lebaran mereka kembali ke pola hidup yang sederhana. Namun lidah masyarakat saat ini banyak yang kurang akrab dengan sayur itu, sehingga diganti dengan sayur opor ayam atau gule plus sambal goreng.
Sebagai satu tradisi yang memiliki makna filosofis bagi umut muslim, kupatan patut untuk terus dilestarikan. Meski saat ini banyak anggota masyarakat yang tidak sempat mengikutinya karena sudah keburu masuk kerja, tetapi tampaknya makna kupatan masih tetap tertanam di dalam diri mereka. Wallahu a’lam bi al-shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar