Umat muslim di
negeri ini memiliki tradisi yang khas dalam merayakan hari raya Idul Fitri. Dikatakan
khas karena hampir dapat dipastikan tidak ditemukan pada tradisi umat muslim di
negara-negara lain. Tradisi yang dimaksud adalah halal bi halal dan kupatan. Jika
tradisi halal bi hahal tampaknya telah mulai ditiru oleh umat di beberapa
negara. Namun tradisi kupatan sampai saat ini masih hanya ada di negeri
tercinta ini.
Memang sampai
saat ini belum ada yang tahu pasti dari mana asal mula munculnya makanan
tradisional itu. Yang jelas ketupat tidak hanya dapat ditemukan di negeri ini. Masyarakat
Malaysia dan Brunai Darussalam juga cukup terbiasa memakannya. Tetapi yang
pasti tradisi kupatan hanya ada di negeri ini.
Di samping
itu, sampai saat ini juga belum ditemukan bukti makanan yang berbahan dasar
beras itu merupakan produk kuliner budaya Islam. Apalagi ia tidak ditemukan di wilayah
Arab yang merupakan tempat munculnya ajaran Islam.
Di
negara-negara rumpun Melayu, terutama Indonesia, ketupat sudah identik dengan
hari raya Idul Fitri. Ia menjadi satu simbol kemenangan umat Islam dalam
melawan hawa nafsu selama bulan Ramadan, simbol pengakuan terhadap kesalahan
dan kealpaan bagi setiap orang, dan simbol kekerabatan dan kekeluargaan..
Lantas
bagaimana makna filosofis tradisi kupatan yang berkembang di negeri ini? Ada
banyak fersi penerjemahan tradisi ini. Ada yang mengaitkan ketupat merupakan simbol
lebaran, sebagaimana simbol lilin pada perayaan Natal bagi umat Nasrani. Pengkaitan
ini berangkat dari satu pemahaman bahwa ketupat merupakan simbol penghapusan
kesalahan melalui idul fitri dan halal bi hahal.
Paling tidak
penerjemahan ini dapat ditemukan dalam pandangan Asia Padmopuspito, seorang
pakar Bahasa Jawa di Yogyakarta. Menurutnya, kata ketupat berasal dari kata kupat.
Kata ini merupakan kependekan dari frasa “aku lepat”, yang artinya aku merasa
bersalah. Kata inilah yang sering kali diungkap orang Jawa pada saat saling
bermaafan (halal bi halal) pada hari raya Idul Fitri.
Namun dalam
fersi lain dapat ditemukan bahwa tradisi kupatan merupakan warisan dari Walisongo
yang memiliki makna yang lebih jauh;. kupatan diartikan sebagai suatu bentuk perayaan
atas keberhailan umat Islam dalam menjalani empat hal, yaitu puasa Ramadan,
zakat fitrah, idul fitri, dan puasa 6 hari di bulan Syawal.
Terkait dengan
puasa 6 hari di bulan Syawal ini, Imam Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi
pernah meriwayatkan satu hadis dari Abu Ayyub, “Barang siapa yang berpuasa
Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka seperti
halnya puasa sepanjang tahun.”
Imam Nawawi,
dalam menjelaskan hadis ini menyatakan bahwa setiap amal kebajikan mendapatkan
ganjaran 10 kali lipat, puasa satu bulan Ramadhan sama dengan puasa 10 bulan,
puasa 6 hari di bulan Syawal sama dengan puasa 60 hari (2 bulan), jadi jika
dijumlah puasa satu bulan Ramadhan plus 6 hari bulan Syawal sama dengan puasa
setahun.
Perbedaan
penerjemahan terhadap kupatan ini berimplikasi pada perbedaan pola perayaannya.
Untuk yang pertama, ketupat merupakan simbol Idul Fitri, sehingga ketupat
dijadikan sebagai “menu utama” lebaran. Dan sangat mungkin berdasarkan ini juga
di berbagai pusat perbelanjaan dan fasilitas umum terpajang ketupat sebagai
ungkapan perayaan dalam rangka menyambut lebaran.
Sedang untuk
yang kedua, perayaan kupatan ditepatkan pada hari ke 7 bulan Syawal. Tradisi ini
sebagaimana yang masih berkembang di wilayah pesisir Jawa, Jawa Timur, Madura,
dan Lombok.
Umumnya bentuk
ketupat ada dua bentuk anyaman, yaitu bucu limo (ini yang umum) dan bucu
pitu. Anyaman yang tampak rumit dan
selang-seling merupakan pencerminan berbagai macam kesalahan manusia. Sedang
warna putih ketika ketupat dibelah menjadi dua mencerminkan kebersihan dan
kesucian hati setelah mohon ampun dari segala kesalahan. Selain itu, jika
dilihat dari bentuknya ketupat merupakan cermin kesempurnaan
Semua cerminan
tersebut sangar erat kaitannya dengan kemenangan umat muslim setelah selama sebulan
melalui menempaan diri di bulan Ramadan. Dan saat mereka telah memasuki hari
raya Idul Fitri mereka melengkapi kemenangan itu dengan membersihkan diri dari
segala kesalahan yang dilakukannya terhadap sesama manusia. Sehingga setelah
semua proses itu mereka menjadi manusia yang sempurna sesuai fitrahnya.
Biasanya
sebagai sayuran penyanding ketupat adalah sayur lodeh plus lauk tahu dan tempe.
Penggunaan sayur ini sebagai simbol kesederhanaan. Diharapkan setelah umat
muslim berpesta makan enak selama Lebaran mereka kembali ke pola hidup yang sederhana.
Namun lidah masyarakat saat ini banyak yang kurang akrab dengan sayur itu,
sehingga diganti dengan sayur opor ayam atau gule plus sambal goreng.
Sebagai satu tradisi
yang memiliki makna filosofis bagi umut muslim, kupatan patut untuk terus dilestarikan.
Meski saat ini banyak anggota masyarakat yang tidak sempat mengikutinya karena
sudah keburu masuk kerja, tetapi tampaknya makna kupatan masih tetap tertanam
di dalam diri mereka. Wallahu a’lam bi al-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar