Dalam menentukan
sikap atau langkah tertentu seseorang kadang mengambilnya melalui satu tahap mekanisme
pengambilan keputusan yang disebut evaluasi terlebih dahulu. Karena melalui evaluasi
dapat diketahui plus-minus suatu aktifitas yang telah dilakukan, sehingga
terbuka pikiran-pikiran alternatif ke depan yang cukup luas. Menimbang
signifikansi evaluasi ini tak jarang ia diagendakan untuk dilaksanakan baik
secara periodik maupun temporal. Evaluasi periodik biasanya digunakan untuk
membahas aktifitas-aktifitas rutin. Sementara evaluasi temporal biasanya untuk
persoalan-persoalan insidensial.
Seringkali seseorang
menganggap terjadinya satu hal yang menyedihkan atau menyakitkan, seperti
terpuruknya usaha yang ditekuni, menderita sakit, rumahnya terbakar, dan lain-lain,
sebagai satu musibah yang sekaligus merupakan ujian Tuhan baginya. Seperti
tercermin dalam satu ungkapan kepasrahan kepada Tuhan (tawakkal) yang
cukup populer di masyarakat: “Tuhan, apa salahku hingga Kau timpakan kepadaku
cobaan seberat ini”.
Padahal kalau
dilihat dari sudut hukum kausalitas (sebab-akibat) yang menyertai perjalanan sunnatullah,
belum dapat dipastikan bahwa kejadian itu merupakan musibah atau ujian. Bisa
jadi justru merupakan siksaan Tuhan atas kesalahan (dosa) yang telah diperbuatnya
yang dijatuhkan lebih awal, di dunia.
Sebagian orang
mungkin tidak mempedulikan “musibah” tersebut sebagai ujian atau siksaan,
karena secara esensial sama-sama menyusahkan. Sementara dia yakin tidak ada
tempat bergantung selain Tuhan. Tetapi sebenarnya secara substansial keduanya
memiliki implikasi yang berbeda. Cobaan akan berimplikasi pada kenaikan
kedudukan seseorang di hadapan Tuhan. Sedangkan siksaan berimplikasi pada
penghapusan dosa.
Ungkapan kepasrahan
seperti itu tidak berlaku bagi seseorang yang sudah terbiasa melakukan evaluasi
diri, mengingat dia dapat memastikan (meski tetap dalam batas relatifitas
kemanusiaannya) hakikat sesuatu yang sedang menimpa dirinya. Tetapi bagi orang
yang tidak terbiasa atau bahkan belum pernah mengevaluasi dirinya, ungkapan
tersebut merupakan salah satu bentuk kepasrahannya kepada Tuhan.
Dalam
perspektif transendental maupun sosial (hablun min Allah wa hablun min
an-nas) kecenderungan pertama akan menimbulkan efek kepasrahan kreatif,
karena adanya kesadaran terhadap apa yang sedang terjadi. Secara sosiologis, kesadaran
ini akan melahirkan kepekaan sosial yang cukup tinggi. Seperti ungakapan al-Mawardi
dalam bukunya Adab ad-Dunya wa ad-Din, bahwa dalam evaluasi diri seseorang
tidak akan melepaskan dirinya dari eksistensinya sebagai makhluk sosial.
Sehingga secara otomatis dia juga mengevaluasi orang lain. Tetapi tetap dalam
kerangka mencari titik positif dalam konteks interaksi sosial. Sebaliknya, yang
kedua hanya akan menimbulkan sikap angkuh baik kepada Tuhan maupun kepada
sesama manusia, karena terbersit rasa tidak bersalah sedikit pun. Orang seperti
ini tidak akan menyadari bahwa apa yang sedang terjadi pada dirinya merupakan
akibat dari perbuatannya sendiri. Kalaupun sadar, dia tetap akan terkalahkan
oleh egonya.
Evaluasi diri
ini erat kaitannya dengan ungkapan Nabi: “Siapa yang tahu dirinya, dia akan
tahu Tuhannya”. Kesadaran ini akan mampu menjauhkan seseorang dari perilaku
negatif (dzalim), karena dia memiliki kemampuan untuk meletakkan segala
hal baik yang terkait dengan dirinya maupun masyarakat sesuai dengan
proporsinya. Dalam konteks sosial dia akan benar-benar mampu menjunjung tinggi
norma-norma yang berlaku di masyarakat.
KIAT AL-GHAZALI
Terkait dengan
evaluasi diri ini, al-Ghazali memiliki satu kiat yang cukup efektif. Dia
menyarankan agar seseorang sebelum melaksanakan aktifitasnya di pagi hari
memohon kepada Tuhan agar selalu ditunjukkan pada jalan yang benar dan dilindungi.
Dan di malam hari, setelah menyelesaikan seluruh aktifitasnya ia harus
mengevaluasinya secara cermat, untuk mengetahui sisi positif maupun negatifnya.
Sudah tentu, yang positif harus dikembangkan, sedang yang negatif harus
dihapuskan, atau paling tidak dikurangi. Dengan demikian, ia akan selalu
menatap hari esok dengan penuh kesadaran.
Kesadaran yang
dimaksud adalah kesadaran nurani. Karenanya evaluasi ini harus dilaksanakan
dengan hati yang jernih. Dimensi emosional ditekan sedemikian rupa sehingga dapat
mengesampingkan kecenderungan negatif dalam diri. Karena evaluasi ini sekaligus
merupakan satu bentuk perenungan diri dalam rangka penyadaran terhadap
eksistensi kefitrahan manusia. Fitrah yang mengarahkan manusia untuk selalu
cenderung pada kebenaran (hanif). Potensi inilah yang mendorong manusia
untuk melakukan kreasi-kreasi yang positif dalam rangka mendekatkan diri pada
kebenaran mutlak (Tuhan).
Kiat ini berarti
merupakan salah satu tuntutan agar siapa pun selalu bersikap proggrasif (salah
satu ciri bagi manusia modern) dalam menatap hari esok, yaitu satu sikap yang
mendorong untuk selalu berupaya menemukan hal-hal baru yang bermanfaat baik untuk
dirinya sendiri maupun orang lain. Dan menganggap hal yang telah berlalu hanya sebagai
pengalaman sejarah yang berfungsi sebagai salah satu pertimbangan untuk menentukan
hari esok.
Hal ini
relefan dengan ungkapan Ali bin Abu Thalib bahwa orang yang beruntung adalah yang
hari ini lebih baik dari hari kemarin. Orang yang merugi adalah yang hari ini
sama dengan hari kemarin. Dan orang yang tersesat adalah yang hari ini lebih
buruk dari hari kemarin. Keberhasilah kelompok pertama tidak bisa dilepaskan
dari optimalisasi peran evaluasi diri dalam menentukan sikap atau langkahnya. Untuk
itu, menyisakan waktu barang lima menit sebelum tidur untuk digunakan mengeavaluasi
diri akan mampu menjauhkan seseorang dari berbuat kesalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar