Senin, 11 Agustus 2014

Hanya Lima Menit Sebelum Tidur



Dalam menentukan sikap atau langkah tertentu seseorang kadang mengambilnya melalui satu tahap mekanisme pengambilan keputusan yang disebut evaluasi terlebih dahulu. Karena melalui evaluasi dapat diketahui plus-minus suatu aktifitas yang telah dilakukan, sehingga terbuka pikiran-pikiran alternatif ke depan yang cukup luas. Menimbang signifikansi evaluasi ini tak jarang ia diagendakan untuk dilaksanakan baik secara periodik maupun temporal. Evaluasi periodik biasanya digunakan untuk membahas aktifitas-aktifitas rutin. Sementara evaluasi temporal biasanya untuk persoalan-persoalan insidensial.
Seringkali seseorang menganggap terjadinya satu hal yang menyedihkan atau menyakitkan, seperti terpuruknya usaha yang ditekuni, menderita sakit, rumahnya terbakar, dan lain-lain, sebagai satu musibah yang sekaligus merupakan ujian Tuhan baginya. Seperti tercermin dalam satu ungkapan kepasrahan kepada Tuhan (tawakkal) yang cukup populer di masyarakat: “Tuhan, apa salahku hingga Kau timpakan kepadaku cobaan seberat ini”.
Padahal kalau dilihat dari sudut hukum kausalitas (sebab-akibat) yang menyertai perjalanan sunnatullah, belum dapat dipastikan bahwa kejadian itu merupakan musibah atau ujian. Bisa jadi justru merupakan siksaan Tuhan atas kesalahan (dosa) yang telah diperbuatnya yang dijatuhkan lebih awal, di dunia.
Sebagian orang mungkin tidak mempedulikan “musibah” tersebut sebagai ujian atau siksaan, karena secara esensial sama-sama menyusahkan. Sementara dia yakin tidak ada tempat bergantung selain Tuhan. Tetapi sebenarnya secara substansial keduanya memiliki implikasi yang berbeda. Cobaan akan berimplikasi pada kenaikan kedudukan seseorang di hadapan Tuhan. Sedangkan siksaan berimplikasi pada penghapusan dosa.
Ungkapan kepasrahan seperti itu tidak berlaku bagi seseorang yang sudah terbiasa melakukan evaluasi diri, mengingat dia dapat memastikan (meski tetap dalam batas relatifitas kemanusiaannya) hakikat sesuatu yang sedang menimpa dirinya. Tetapi bagi orang yang tidak terbiasa atau bahkan belum pernah mengevaluasi dirinya, ungkapan tersebut merupakan salah satu bentuk kepasrahannya kepada Tuhan.
Dalam perspektif transendental maupun sosial (hablun min Allah wa hablun min an-nas) kecenderungan pertama akan menimbulkan efek kepasrahan kreatif, karena adanya kesadaran terhadap apa yang sedang terjadi. Secara sosiologis, kesadaran ini akan melahirkan kepekaan sosial yang cukup tinggi. Seperti ungakapan al-Mawardi dalam bukunya Adab ad-Dunya wa ad-Din, bahwa dalam evaluasi diri seseorang tidak akan melepaskan dirinya dari eksistensinya sebagai makhluk sosial. Sehingga secara otomatis dia juga mengevaluasi orang lain. Tetapi tetap dalam kerangka mencari titik positif dalam konteks interaksi sosial. Sebaliknya, yang kedua hanya akan menimbulkan sikap angkuh baik kepada Tuhan maupun kepada sesama manusia, karena terbersit rasa tidak bersalah sedikit pun. Orang seperti ini tidak akan menyadari bahwa apa yang sedang terjadi pada dirinya merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Kalaupun sadar, dia tetap akan terkalahkan oleh egonya.
Evaluasi diri ini erat kaitannya dengan ungkapan Nabi: “Siapa yang tahu dirinya, dia akan tahu Tuhannya”. Kesadaran ini akan mampu menjauhkan seseorang dari perilaku negatif (dzalim), karena dia memiliki kemampuan untuk meletakkan segala hal baik yang terkait dengan dirinya maupun masyarakat sesuai dengan proporsinya. Dalam konteks sosial dia akan benar-benar mampu menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku di masyarakat.
KIAT AL-GHAZALI
Terkait dengan evaluasi diri ini, al-Ghazali memiliki satu kiat yang cukup efektif. Dia menyarankan agar seseorang sebelum melaksanakan aktifitasnya di pagi hari memohon kepada Tuhan agar selalu ditunjukkan pada jalan yang benar dan dilindungi. Dan di malam hari, setelah menyelesaikan seluruh aktifitasnya ia harus mengevaluasinya secara cermat, untuk mengetahui sisi positif maupun negatifnya. Sudah tentu, yang positif harus dikembangkan, sedang yang negatif harus dihapuskan, atau paling tidak dikurangi. Dengan demikian, ia akan selalu menatap hari esok dengan penuh kesadaran.
Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran nurani. Karenanya evaluasi ini harus dilaksanakan dengan hati yang jernih. Dimensi emosional ditekan sedemikian rupa sehingga dapat mengesampingkan kecenderungan negatif dalam diri. Karena evaluasi ini sekaligus merupakan satu bentuk perenungan diri dalam rangka penyadaran terhadap eksistensi kefitrahan manusia. Fitrah yang mengarahkan manusia untuk selalu cenderung pada kebenaran (hanif). Potensi inilah yang mendorong manusia untuk melakukan kreasi-kreasi yang positif dalam rangka mendekatkan diri pada kebenaran mutlak (Tuhan).
Kiat ini berarti merupakan salah satu tuntutan agar siapa pun selalu bersikap proggrasif (salah satu ciri bagi manusia modern) dalam menatap hari esok, yaitu satu sikap yang mendorong untuk selalu berupaya menemukan hal-hal baru yang bermanfaat baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Dan menganggap hal yang telah berlalu hanya sebagai pengalaman sejarah yang berfungsi sebagai salah satu pertimbangan untuk menentukan hari esok.
Hal ini relefan dengan ungkapan Ali bin Abu Thalib bahwa orang yang beruntung adalah yang hari ini lebih baik dari hari kemarin. Orang yang merugi adalah yang hari ini sama dengan hari kemarin. Dan orang yang tersesat adalah yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin. Keberhasilah kelompok pertama tidak bisa dilepaskan dari optimalisasi peran evaluasi diri dalam menentukan sikap atau langkahnya. Untuk itu, menyisakan waktu barang lima menit sebelum tidur untuk digunakan mengeavaluasi diri akan mampu menjauhkan seseorang dari berbuat kesalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar