Siapa pun baik
sebagai pribadi maupun kelompok menginginkan dapat hidup secara merdeka. Perjuangan bangsa Indonesia selama kurang
lebih tiga setengah abad melawan penjajah tidak lain agar bangsa ini dapat
hidup merdeka. Bahkan setelah bangsa ini berhasil mengusir para penjajah dari
tanah air tercinta ini, bangsa ini memiliki satu komitmen untuk turut serta
dalam menghapus segala bentuk penjajahan di muka bumi ini. Pahit getirnya hidup
selama masa penjajahan mendorong bangsa ini untuk merebut kembali kebebasannya
yang telah lama hilang.
Namun makna kemerdekaan yang hakiki sebenarnya
bukanlah sekadar suatu kebebasan dari penjajahan, melainkan kebebasan untuk
dapat hidup sesuai dengan fitrahnya, yaitu suatu sifat dasar manusia yang
sesuai dengan tujuan penciptannya.
Kalau Tuhan menyatakan bahwa penciptaan manusia (dan
jin) itu hanya untuk mengabdi atau beribadah kepada-Nya, seperti difirmankan
Allah, "Dan Aku tidak menciptakan manusia dan jin selain agar mereka
mengabdi kepada-Ku," (51:56) maka sudah tentu hal inilah yang menjadi
orientasi kebebasan fitriah tersebut.
Untuk itu,
yang disebut manusia merdeka adalah manusia yang hidup dalam fitrahnya, yang
hidup dalam ketentuan dan pedoman penciptanya, dan yang hidup sesuai dengan hak
asasinya sebagai manusia. Dikatakan
demikian karena hidup merdeka memang merupakan hak asasi bagi setiap orang. Dan
hidup bebas untuk melaksanakan keyakinan sesuai dengan fitrah juga merupakan
hak dasar manusia yang sepatutnya tidak diganggu gugat.
Pernyataan ini menegaskan bahwa kemerdekaan
identik dengan kebebasan. Namun kebebasan di sini bukan berarti kebebasan yang
tanpa batas. Kebabasan yang tanpa batas justru bertentangan dengan fitrah.
Sebab kebebasan itu dibatasi oleh kecenderungan fitriah manusia sendiri. Dan
karena kecenderungan ini telah mengorientasikan seluruh kehidupan manusia hanya
kepada penciptanya, maka sudah tentu manusia harus tunduk pada aturan-aturan
yang telah ditentukan oleh sang pencipta.
Dari sini dapat dijelaskan bahwa hak untuk hidup
bebas itu tidak dapat dipahami sebagai hidup sekehendak hati, karena justru
dengan bertindak begitu manusia akan semakin terjauhkan dari orientasi hidup
yang sebenarnya. Dia tidak akan mampu menjaga keseimbangan hidup karena dia
cenderung bertindak dengan menggunakan caranya sendiri, seperti menghalalkan
yang haram dan membolehkan yang terlarang (haram).
Di sisi lain, kebebasan yang tanpa batas juga
bertentangan dengan hukum alam (sunnat Allah). Setiap individu memiliki
kebebasan. Dan jika kebasan itu diungkapkan dengan tanpa batas maka sangat
rentan timbulnya benturan antarindividu. Di sinilah signifikansi Allah
menentukan norma-norma atau aturan-aturan bagi kehidupan manusia, yaitu untuk
menjaga harmoni hidup. Dengan mematuhi peraturan tersebut kehidupan akan
berjalan secara damai.
Tidak sedikit orang yang mengartikan kemerdekaan
sebagai pencerminan kebebasan berpikir, berkreasi, berkehendak, dan berbuat
tanpa dibatasi sekat-sekat aturan termasuk agama di dalamnya. Agama malah
dianggap sebagai candu kebuntuan berpikir dan berkreasi sehingga harus
disingkirkan dari arena kehidupan.
Tanpa disadari bahwa pemaknaan kemerdekaan seperti
itu juga merupakan salah satu bentuk penjajahan kognitif yang justru hanya akan
menjauhkan manusia dari fitrahnya dan dari orientasi hidupnya yang hakiki.
Justru pemaknaan seperti itu akan melahirkan pola hidup yang mengesampingkan
nila-nilai moralitas.
Sungguh tragis, mengaku hidup di negara merdeka,
tetapi terjajah, terpasung dalam sistem kehidupan yang jauh dari kehidupan
manusia yang hakiki.
Islam memberi kebebasan kepada manusia untuk berpikir, berkreasi, berkehendak, dan berbuat dengan catatan bahwa kebebasan akan diartikan sebagai kemerdekaan bertindak apa saja yang nantinya akan bertemu pada suatu titik dogma Ilahiyah yang harus ditaati dan dijadikan pedoman hidup.
Islam memberi kebebasan kepada manusia untuk berpikir, berkreasi, berkehendak, dan berbuat dengan catatan bahwa kebebasan akan diartikan sebagai kemerdekaan bertindak apa saja yang nantinya akan bertemu pada suatu titik dogma Ilahiyah yang harus ditaati dan dijadikan pedoman hidup.
Dengan demikian, sungguh sangat tidak pantas bagi
orang-orang yang beriman mencampakkan aturan Ilahi. "Dan tidak pantas
bagi mukmin laki-laki dan perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata." (33: 36).
Dalam merealisasikan dogma ini pada tataran
praktis memang terdapat banyak bentuk sesuai dengan hasil ragam bentuk penafsiran.
Ini wajar-wajar saja mengingat sikap keberagamaan selain merupakan tradisi yang
terwariskan dari Nabi juga merupakan hasil kreasi atau penafsiran (baca:
ijtihad). Bukankah kecenderungan fitrah manusia untuk selalu berupaya mencari
kebenaran telah mendorong manusia memiliki kreatifitas dalam rangka membidik
kehendak sang penciptanya.
Dari sini kemerdekaan di samping mengandung makna
kebebasan juga makna kebersamaan yang muncul dari suatu kesadaran kolektif
tentang kesetaraan individu. Sebab tanpa adanya kesadaran ini jelas akan muncul
sikap-sikap superior pada seorang atau sekelompok dan sebaliknya (inferior)
pada yang lain. Kelompok pertama memiliki kecenderungan menjadikan kelompok
kedua sebagai objek eksploitasi untuk kepentingan-kepentingannya. Dan jelas
sikap ini sama saja dengan penjajahan.
Tampaknya sikap ini merupakan salah satu agenda
reformasi moral yang mendesak untuk diperjuangkan dalam bangsa yang telah
menyatakan merdeka sejak 63 tahun yang lalu ini. Wallahu a'lam.