Islam Humanis tidak lain merupakan upaya
membumikan nilai-nilai kemanusiaan Islam dalam konteks riil sosio-politik dan
kultural yang sedang berkembang. Suatu upaya terus-menerus untuk mempertajam
fungsi interpretatif Islam di tengah pergumulan kemanusian. Dalam konteks ini,
segala bentuk pemikiran Islam yang berkembang termasuk di negeri ini dapat
dikatakan berakar pada motiv tersebut.
Sampai awal era 1970-an ranah pemikiran
Islam masih didominasi oleh dua aliran yang dikotomistik, tradisionalis dan
modernis. Keduanya telah menjadi sama-sama koservatif karena cenderung memegang
erat patronisme pemikiran yang sudah mentradisi di kalangan masing-masing:
tradisionalis mengacu pada pemikiran abad Pertengahan, sedang modernis pada
abad pra-modern. Keterkungkungan di balik tembok konservatifisme ini merupakan
preseden buruk bagi masa depan umat Islam karena cenderung memarginalkan Islam
di tengah-tengah arus berubahan yang terus melaju kencang.
Untuk itu, sebelum usaha membumikan
nilai-nilai kemanusiaan Islam dalam konteks bermasyarakan, berbangsa dan
bernegara, paradigma konservatifisme tersebut terlebih dulu harus diselesaikan.
Upaya membangkitkan idea of progress umat melalui pola berpikir liberal
yang digulirkan oleh gerakan pembaru tidak lain merupakan upaya penyadaran
terhadap eksistensi manusia sebagai makhluk bebas, dan konservatifisme
merupakan wujud dari pengingkaran terhadap eksistensi itu. Batasan bagi kebebasan
itu hanya pada kenyataan kemanusiaan itu sendiri.
Sudah kurang lebih tuga puluh tahun
pola berpikir liberal itu turut mewarnai proses kemanusiaan umat dan bangsa,
hingga tidak relefan lagi untuk dipertentangkan kembali. Sama halnya tidak
relefan untuk mengusik pola berpikir yang cenderung bernostalgia pada masa lalu
yang dianggapnya sudah mapan. Sebab perbedaan pandangan itu, dalam
konteks pembentukan peradaban, justru membawa satu dinamika yang berfungsi
sebagai pemerkaya khazanah budaya umat Islam. Untuk itu, munculnya
pemikiran-pemikiran baru sudah selayaknya tidak direspons dalam wujud satu
kontroversi yang diwarnai oleh klaim kebenaran terhadap pemahaman sendiri. Dan
ini bisa dilakukan dengan melihatnya sebagai satu proses penemuan terus-menerus
fungsi interpretatif Islam dalam konteks kemanusiaan, bahkan selalu dibutuhkan
pada setiap kurun waktu tertentu.
Pola pandang demikian tidak lain
didasarkan pada kenyataan dasar manusia yang memiliki sifat dasar kesucian (hanifiyah),
sebagai implikasi dari keadaan suci (fitrah) yang dibawanya sejak lahir.
Dan karena itu manusia disebut makhluk hanif dan memiliki kecenderungan nurani
untuk selalu berpihak pada kebaikan, kebenaran, dan kesucian (Q.S. 30:30).
Sifat dasar kesucian manusia ini
merupakan kelanjutan dari perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan
saat ia masih berupa janin, tepatnya ketika Tuhan bertanya kepadanya tentang
kesaksiannya bahwa hanya Dialah satu-satunya pelindung dan pemelihara (rabb)
(Q.S. 7:172). Perjanjian inilah yang kemudian berimplikasi pada kewajiban
baginya untuk hanya tunduk dan menyembah kepadaNya (tawhid) (Q.S.
51:65), yang sekaligus menumbuhkan suatu kesadaran bahwa dari Tuhanlah dia
berasal dan kepadaNyalah dia akan kembali. Inilah makna hakiki kehidupan.
Akan tetapi untuk menemukan makna hakiki
tersebut manusia berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasannya sendiri, hingga
dia tidak dapat menemukannya kecuali dengan bantuan suatu petunjuk. Di sinilah
peran penting nabi dan rasul dalam memberikan tuntunan kepada manusia dalam
proses pencariannya tesebut (Q.S. 16:89). Tuntunan ini yang kemudian disebut al-din
(agama).
Meski demikian, bukan berarti Islam
menekankan pada bentuk kehidupan yang individualistik, melainkan juga
menekankan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, karena dia hidup dalam
suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, bahkan dia tidak
mungkin dapat memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada dalam
suatu komunitas (masyarakat) tertentu dan dengan sistem tertentu pula. Untuk
itu, sebagai anggota suatu masyarakat, di samping dia berusaha berbuat baik
untuk dirinya sendiri, dia juga diharuskan untuk memenuhi kebutuhan bersama.
Penjelasan ini menunjukkan adanya
keterkaitan bahkan tidak bertentangan antara nilai kemanusiaan dan nilai
keagamaan, bahkan agama tidak menjadi penghalang bagi kemanusiaan. Berarti pula
bahwa keberlangsungan keberadaan segala hal di muka bumi ini sangat bergantung
pada nilai kemanusiaan, sehingga agama, dalam perspektif sosial, mampu
memberikan jaminan untuk mewujudkan kesejahteraan hidup bersama sesuai dengan
fungsi kekhalifahan manusia. Bukankah memang manusia diadakan di muka bumi ini
adalah untuk memakmurkannya? (Q.S. 11:61).
Dalam pandangan ini, manusia dipahami
sebagai makhluk yang memiliki kemerdekaan untuk memilih pernyataan kreatifnya
sesuai dengan kecenderungan nuraninya (ikhtiyar), sehingga dia dapat
melaksanakan fungsi kekhalifahan. Berarti setiap individu memiliki kebebasan
untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hati naraninya. Dan apa pun bentuk
pernyataan kreatifnya merupakan wujud dari tidak adanya pengekangan terhadap
kemauan baiknya (ikhlas). Karena itu, kemerdekaan merupakan esensi
kemanusiaan. Batasan-batasan bagi kemerdekaan tersebut ada hanya karena adanya
hukum-hukum yang pasti dan tetap mengusai alam ini (sunnat Allah).
Manusia harus mengakui adanya suatu keharusan universal yang menyertai
pernyataan kreatifnya (taqdir). Dan karena keharusan universal itu tidak
dapat diketahui sebelum ia menjadi suatu kenyataan maka manusia tetap mempunyai
peran aktif dan menentukan bagi kehidupan dirinya sendiri serta kehidupan
bersama. Wujud konkrit peran aktif manusia itulah yang disebut ‘amal,
yang sekaligus menjadi standar penilaian terhadapnya, dan yang akan
dipertanggungjawakan baik secara individual (Q.S. 53:39) maupun secara komunal
(Q.S. 8:25).
Dalam konteks kehidupan bersama ekspresi
kemerdekaan individual tersebut sangat dimungkinkan akan menimbulkan benturan
atau tarik-menarik kepentingan antarindividu. Di sinilah keharusan
ditegakkannya keadilan, yang secara operasional diserahkan kepada sekelompok
orang yang memiliki kualitas kemanusiaan yang tinggi yang disebut pemimpin.
Dalam konteks bernegara pemimpin itu adalah pemerintah. Untuk itu, pemerintah
memiliki tugas dan tanggungjawab untuk menegakkan keadilan terhadap seluruh
warganya di samping melindunginya dari hal-hal yang memasung kemerdekaannya.
Dan hal ini hanya bisa dilaksanakan dengan sistem demokrasi.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana
implementasi kekhalifahan umat Islam Indonesia di tengah-tengah proses
demokratisasi yang telah menjadi semacam “agama atau ideologi baru” yang dapat
menumbuhkan harapan baru bagi perubahan dan perbaikan nasib bangsa dalam proses
tahap demi tahap menuju kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini,
wawasan dasar kemanusiaan Islam tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk
memberikan respons kritis terhadap setiap proses yang berlangsung. Dan dalam
konteks pluralitas bangsa ia dapat diwujudkan dalam bentuk penghargaan
sekaligus penegakan terhadap nilai-nilai kebebasan, persamaan, dan pluralisme.
Kenyataan pluralitas masyarakat tidak
bisa disikapi secara nihilistik, melainkan sudah merupakan suatu kenyataan yang
alamiah, hingga tidak mungkin dijadikan justifikasi sebagai pemicu
konflik. Menjatuhkan pilihan pada yang terakhir ini berarti merupakan
pengingkaran terhadap keberadaan kemanusiaan, yang berarti pula pengingkaran
terhadap sunnat Allah. Karenanya setiap agama mengajarkan komitmen
kebersamaan, mengesampingkan unsur-unsur primordialisme, sebagai pancaran
kesadaran transendental untuk mencapai realitas tertinggi (ultimite reality).
Dengan demikian, sekat-sekat formalisme dan komunalisme harus ditarik pada
nilai-nilai universal doktrin agama (dengan tetap tidak mengarahkan pada
relativisasi keabsolutan suatu agama), sehingga setiap agama memiliki
keperihatinan yang sama dalam menghadapi persoalan kemanusiaan, seperti
ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan lain-lain.
Kesadaran inklusifistik ini menjadi
sia-sia jika tidak didukung oleh suatu iklim yang dialogis antarpemeluk agama
dan antargolongan. Untuk itu, mengarahkan pada terbentuknya suatu dialog yang
harmonis antarpemeluk agama dan antargolongan dalam rangka menemukan format
hidup bersama (kalimat sawa’) menjadi suatu kewajiban bersama. Format
hidup bersama itu sebenarnya sudah terumuskan dalam Pancasila, di mana nilai
etik dan moralnya (substansinya) bila dilacak ke belakang berakar pada
nilai-nilai universal keagamaan. Dan ini menunjukkan bahwa secara normatif
posisi agama-agama dan wawasan kebangsaan tidak saling bertabrakan, tetapi
justru agama menjadi sumber legitimasi normatif.
Memang cukup disayangkan kenyataan
terjadinya penyayatan terhadap kesadaran pluralisme masyarakat tersebut pada
masa lalu yang lebih diakibatkan adanya monopoli penafsiran pemerintah terhadap
berbagai konflik yang dianggap dipicu oleh SARA atau pihak ketiga yang sering
disebut komunis, hingga kesadaran yang berpotensi sebagai penopang pembangunan
itu menjadi tercabik-cabik. Untuk itu, revitalisasi semangat humanistik agama
sudah menjadi satu kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar