Kamis, 15 Desember 2011

Islam Humanis Menjadi Satu Kebutuhan

Islam Humanis tidak lain merupakan upaya membumikan nilai-nilai kemanusiaan Islam dalam konteks riil sosio-politik dan kultural yang sedang berkembang. Suatu upaya terus-menerus untuk mempertajam fungsi interpretatif Islam di tengah pergumulan kemanusian. Dalam konteks ini, segala bentuk pemikiran Islam yang berkembang termasuk di negeri ini dapat dikatakan berakar pada motiv tersebut.
Sampai awal era 1970-an ranah pemikiran Islam masih didominasi oleh dua aliran yang dikotomistik, tradisionalis dan modernis. Keduanya telah menjadi sama-sama koservatif karena cenderung memegang erat patronisme pemikiran yang sudah mentradisi di kalangan masing-masing: tradisionalis mengacu pada pemikiran abad Pertengahan, sedang modernis pada abad pra-modern. Keterkungkungan di balik tembok konservatifisme ini merupakan preseden buruk bagi masa depan umat Islam karena cenderung memarginalkan Islam di tengah-tengah arus berubahan yang terus melaju kencang.
Untuk itu, sebelum usaha membumikan nilai-nilai kemanusiaan Islam dalam konteks bermasyarakan, berbangsa dan bernegara, paradigma konservatifisme tersebut terlebih dulu harus diselesaikan. Upaya membangkitkan idea of progress umat melalui pola berpikir liberal yang digulirkan oleh gerakan pembaru tidak lain merupakan upaya penyadaran terhadap eksistensi manusia sebagai makhluk bebas, dan konservatifisme merupakan wujud dari pengingkaran terhadap eksistensi itu. Batasan bagi kebebasan itu hanya pada kenyataan kemanusiaan itu sendiri.
 Sudah kurang lebih tuga puluh tahun pola berpikir liberal itu turut mewarnai proses kemanusiaan umat dan bangsa, hingga tidak relefan lagi untuk dipertentangkan kembali. Sama halnya tidak relefan untuk mengusik pola berpikir yang cenderung bernostalgia pada masa lalu yang dianggapnya sudah mapan. Sebab perbedaan pandangan itu,  dalam konteks pembentukan peradaban, justru membawa satu dinamika yang berfungsi sebagai pemerkaya khazanah budaya umat Islam. Untuk itu, munculnya pemikiran-pemikiran baru sudah selayaknya tidak direspons dalam wujud satu kontroversi yang diwarnai oleh klaim kebenaran terhadap pemahaman sendiri. Dan ini bisa dilakukan dengan melihatnya sebagai satu proses penemuan terus-menerus fungsi interpretatif Islam dalam konteks kemanusiaan, bahkan selalu dibutuhkan pada setiap kurun waktu tertentu.
Pola pandang demikian tidak lain didasarkan pada kenyataan dasar manusia yang memiliki sifat dasar kesucian (hanifiyah), sebagai implikasi dari keadaan suci (fitrah) yang dibawanya sejak lahir. Dan karena itu manusia disebut makhluk hanif dan memiliki kecenderungan nurani untuk selalu berpihak pada kebaikan, kebenaran, dan kesucian (Q.S. 30:30).
Sifat dasar kesucian manusia ini merupakan kelanjutan dari perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan saat ia masih berupa janin, tepatnya ketika Tuhan bertanya kepadanya tentang kesaksiannya bahwa hanya Dialah satu-satunya pelindung dan pemelihara (rabb) (Q.S. 7:172). Perjanjian inilah yang kemudian berimplikasi pada kewajiban baginya untuk hanya tunduk dan menyembah kepadaNya (tawhid) (Q.S. 51:65), yang sekaligus menumbuhkan suatu kesadaran bahwa dari Tuhanlah dia berasal dan kepadaNyalah dia akan kembali. Inilah makna hakiki kehidupan.
Akan tetapi untuk menemukan makna hakiki tersebut manusia berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasannya sendiri, hingga dia tidak dapat menemukannya kecuali dengan bantuan suatu petunjuk. Di sinilah peran penting nabi dan rasul dalam memberikan tuntunan kepada manusia dalam proses pencariannya tesebut (Q.S. 16:89). Tuntunan ini yang kemudian disebut al-din (agama).
Meski demikian, bukan berarti Islam menekankan pada bentuk kehidupan yang individualistik, melainkan juga menekankan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, karena dia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, bahkan dia tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada dalam suatu komunitas (masyarakat) tertentu dan dengan sistem tertentu pula. Untuk itu, sebagai anggota suatu masyarakat, di samping dia berusaha berbuat baik untuk dirinya sendiri, dia juga diharuskan untuk memenuhi kebutuhan bersama.
Penjelasan ini menunjukkan adanya keterkaitan bahkan tidak bertentangan antara nilai kemanusiaan dan nilai keagamaan, bahkan agama tidak menjadi penghalang bagi kemanusiaan. Berarti pula bahwa keberlangsungan keberadaan segala hal di muka bumi ini sangat bergantung pada nilai kemanusiaan, sehingga agama, dalam perspektif sosial, mampu memberikan jaminan untuk mewujudkan kesejahteraan hidup bersama sesuai dengan fungsi kekhalifahan manusia. Bukankah memang manusia diadakan di muka bumi ini adalah untuk memakmurkannya? (Q.S. 11:61).
Dalam pandangan ini, manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki kemerdekaan untuk memilih pernyataan kreatifnya sesuai dengan kecenderungan nuraninya (ikhtiyar), sehingga dia dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan. Berarti setiap individu memiliki kebebasan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hati naraninya. Dan apa pun bentuk pernyataan kreatifnya merupakan wujud dari tidak adanya pengekangan terhadap kemauan baiknya (ikhlas). Karena itu, kemerdekaan merupakan esensi kemanusiaan. Batasan-batasan bagi kemerdekaan tersebut ada hanya karena adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap mengusai alam ini (sunnat Allah). Manusia harus mengakui adanya suatu keharusan universal yang menyertai pernyataan kreatifnya (taqdir). Dan karena keharusan universal itu tidak dapat diketahui sebelum ia menjadi suatu kenyataan maka manusia tetap mempunyai peran aktif dan menentukan bagi kehidupan dirinya sendiri serta kehidupan bersama. Wujud konkrit peran aktif manusia itulah yang disebut ‘amal, yang sekaligus menjadi standar penilaian terhadapnya, dan yang akan dipertanggungjawakan baik secara individual (Q.S. 53:39) maupun secara komunal (Q.S. 8:25).
Dalam konteks kehidupan bersama ekspresi kemerdekaan individual tersebut sangat dimungkinkan akan menimbulkan benturan atau tarik-menarik kepentingan antarindividu. Di sinilah keharusan ditegakkannya keadilan, yang secara operasional diserahkan kepada sekelompok orang yang memiliki kualitas kemanusiaan yang tinggi yang disebut pemimpin. Dalam konteks bernegara pemimpin itu adalah pemerintah. Untuk itu, pemerintah memiliki tugas dan tanggungjawab untuk menegakkan keadilan terhadap seluruh warganya di samping melindunginya dari hal-hal yang memasung kemerdekaannya. Dan hal ini hanya bisa dilaksanakan dengan sistem demokrasi.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana implementasi kekhalifahan umat Islam Indonesia di tengah-tengah proses demokratisasi yang telah menjadi semacam “agama atau ideologi baru” yang dapat menumbuhkan harapan baru bagi perubahan dan perbaikan nasib bangsa dalam proses tahap demi tahap menuju kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini, wawasan dasar kemanusiaan Islam tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk memberikan respons kritis terhadap setiap proses yang berlangsung. Dan dalam konteks pluralitas bangsa ia dapat diwujudkan dalam bentuk penghargaan sekaligus penegakan terhadap nilai-nilai kebebasan, persamaan, dan pluralisme.
Kenyataan pluralitas masyarakat tidak bisa disikapi secara nihilistik, melainkan sudah merupakan suatu kenyataan yang alamiah, hingga tidak mungkin dijadikan justifikasi sebagai pemicu konflik.  Menjatuhkan pilihan pada yang terakhir ini berarti merupakan pengingkaran terhadap keberadaan kemanusiaan, yang berarti pula pengingkaran terhadap sunnat Allah. Karenanya setiap agama mengajarkan komitmen kebersamaan, mengesampingkan unsur-unsur primordialisme, sebagai pancaran kesadaran transendental untuk mencapai realitas tertinggi (ultimite reality). Dengan demikian, sekat-sekat formalisme dan komunalisme harus ditarik pada nilai-nilai universal doktrin agama (dengan tetap tidak mengarahkan pada relativisasi keabsolutan suatu agama), sehingga setiap agama memiliki keperihatinan yang sama dalam menghadapi persoalan kemanusiaan, seperti ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan lain-lain.
Kesadaran inklusifistik ini menjadi sia-sia jika tidak didukung oleh suatu iklim yang dialogis antarpemeluk agama dan antargolongan. Untuk itu, mengarahkan pada terbentuknya suatu dialog yang harmonis antarpemeluk agama dan antargolongan dalam rangka menemukan format hidup bersama (kalimat sawa’) menjadi suatu kewajiban bersama. Format hidup bersama itu sebenarnya sudah terumuskan dalam Pancasila, di mana nilai etik dan moralnya (substansinya) bila dilacak ke belakang berakar pada nilai-nilai universal keagamaan. Dan ini menunjukkan bahwa secara normatif posisi agama-agama dan wawasan kebangsaan tidak saling bertabrakan, tetapi justru agama menjadi sumber legitimasi normatif.
Memang cukup disayangkan kenyataan terjadinya penyayatan terhadap kesadaran pluralisme masyarakat tersebut pada masa lalu yang lebih diakibatkan adanya monopoli penafsiran pemerintah terhadap berbagai konflik yang dianggap dipicu oleh SARA atau pihak ketiga yang sering disebut komunis, hingga kesadaran yang berpotensi sebagai penopang pembangunan itu menjadi tercabik-cabik. Untuk itu, revitalisasi semangat humanistik agama sudah menjadi satu kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar