Jumat, 09 Desember 2011

Manusia Langit

Uwais al-Qarni adalah seorang pemuda yatim dan miskin dari Yaman. Hanya dua helai kain yang sudah lusuh, satu untuk penutup badan dan yang lain untuk selendang, yang selalu ia kenakan. Ia sering diejek dan ditertawakan orang. Ia juga pernah dituduh menipu dan mencuri. Suatu tuduhan itu jelas salah alamat.
Pernah ada seorang faqih (ahli hukum Islam) dari Kufah yang bermaksud mengajaknya berdiskusi. Si faqih juga memberinya hadiah dua helai pakaian untuk menggati pakaian yang selama ini dikenakan. Tetapi ia menolak dengan tegas, “Aku kawatir kalau nanti sebagian orang menuduhku mendapatkannya dari menipu atau mencuri.”
Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upahnya hanya cukup untuk hidup sangat sederhana bersama ibunya yang sudah renta dan rabun mata. Kalaupun ada lebih, ia selalu memberikannya kepada tetangganya yang membutuhkan.
Sejak Islam masuk Yaman, Uwais memeluknya dengan taat. Ia ingin sekali pergi ke Madinah untuk mendengar langsung ajaran Islam dari Nabi. Apalagi ia melihat perubahan pola hidup yang Islami pada tetangga-tetangganya yang sudah pernah ke Madinah.
Keinginannya itu membuatnya sering tampak murung dan sedih. Apalagi, meski belum pernah bertemu, ia sangat cinta dan rindu pada Nabi. Ia bahkan pernah memukul giginya dengan batu hingga patah saat mendengar kabar Nabi mengalami cedera dan patah gigi karena dilempari batu oleh orang kafir saat perang Uhud.
Uwais jelas tidak mungkin pergi ke Madinah. Di samping ia tidak punya bekal, juga tidak ada yang merawat ibunya. Tetapi pada suatu hari, ia nekat minta izin kepada ibunya untuk pergi ke Madinah. Dengan penuh rasa haru ibunya pun memberinya izin, dengan catatan ia segera kembali setelah berjuma dengan Nabi. 
Kedua kaki Uwais kemudian, segera secara bergantian, melangkah setapak demi setapak, untuk menempuh perjalanan dengan jarak kurang lebih empat ratus kilo meter menuju kota yang diidamkannya, untuk menemui orang yang sangat dicintainya.
Namun sayang, ia hanya berjumpa dengan ‘Aisyah, karena Nabi sedang ghazwah (perperang). Ia ingin menunggu kedatangan Nabi entah sampai kapan. Tapi juga ingat pesan ibunya untuk segera pulang. Akhirnya ia memohon pamit kepada ‘Aisyah dan hanya menitip salam kepada Nabi.
Sepulang dari ghazwah, Nabi langsung menanyakan kepada ‘Aisyah tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi kemudian menjelaskan bahwa Uwais adalah seorang anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya. Bagi yang ingin berjumpa dengannya, bisa memperhatikan tanda itu.
Nabi juga menutukan kepada sahabat Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengannya, mintalah doa dan istighfarnya, ia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.
Sabda Nabi itu terbukti. Saat Umar menjadi khalifah, ia mengingatkan Ali pada sabda Nabi itu. Ia juga mengajaknya untuk mencari Uwais pada setiap kafilah dagang yang datang dari Yaman. Setiap kafilah yang pernah “diobok-obok” oleh kedua pemimpin Islam itu merasa heran, apa yang sebenarnya terjadi pada Uwais.
Sampai suatu saat mereka berhasil menemukan Uwais. Mereka pun segera meminta doa dan istighfarnya. Semula ia menolak, tetapi karena selalu didesak, akhirnya ia bersedia juga. Umar juga menawarkan tunjangan hidup buat Uwais yang diambilkan dari Baitul Mal. Tapi ia menolak dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Begitulah sepenggal kisah tentang Uwais al-Qorni. Paling tidak ada dua hal yang membuatnya memiliki derajat yang tinggi di sisi Tuhan, yaitu baktinya kepada orang tua dan kecintaannya kepada Nabi. Seluruh hidupnya didermakan untuk memenuhi kebutuhan ibunya yang renta dan sakit-sakitan, juga menjalankan agama sebagaimana yang diajarkan oleh orang yang dicintainya, Nabi Saw.
Baginya, terukirnya nama baik dalam hangar-bingar popularitas itu tidak penting, bahkan rentah melahirkan fitnah dan kerenggan hubungan dengan Tuhan. Untuk itu, meski ia telah mendapatkan keistimewaan sebagaimana disabdakan Nabi, ia tidak ingin hal itu diketahui oleh orang lain, hingga ia memohon kepada sahabat Umar dan Ali untuk merahasiakannya.
Saat ini, barang kali orang yang seperti Uwais ini seribu satu jumlahnya. Itu pun kalau ada. Justru yang banyak adalah yang seperti orang-orang di sekeliling Uwais, yang gemar meledek orang miskin dan menuduhnya sebagai biang kejahatan. Ini semua karena orientasi hidup mayoritas orang tidak lagi Tuhan, melaikan semata-mata materi duniawi. Alih-alih Tuhan dijadikan pelengkap penderita.
Memang sekarang tidak sedikit orang yang tampak mengorientasikan hidupnya hanya kepada Tuhan. Tetapi sebagian dari mereka masih tergiur oleh popularitas. Hal ini membuat tidak saja ceramah-ceramah mereka menjadi hampa, tetapi doa-doanya juga tidak mudah terkabul sebagaimana doa Uwais.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar