Uwais al-Qarni adalah seorang
pemuda yatim dan miskin dari Yaman. Hanya dua helai kain yang sudah lusuh, satu
untuk penutup badan dan yang lain untuk selendang, yang selalu ia kenakan. Ia
sering diejek dan ditertawakan orang. Ia juga pernah dituduh menipu dan
mencuri. Suatu tuduhan itu jelas salah alamat.
Pernah ada seorang faqih
(ahli hukum Islam) dari Kufah yang bermaksud mengajaknya berdiskusi. Si faqih juga
memberinya hadiah dua helai pakaian untuk menggati pakaian yang selama ini dikenakan.
Tetapi ia menolak dengan tegas, “Aku kawatir kalau nanti sebagian orang menuduhku
mendapatkannya dari menipu atau mencuri.”
Uwais bekerja sebagai penggembala
kambing. Upahnya hanya cukup untuk hidup sangat sederhana bersama ibunya yang
sudah renta dan rabun mata. Kalaupun ada lebih, ia selalu memberikannya kepada
tetangganya yang membutuhkan.
Sejak Islam masuk Yaman, Uwais
memeluknya dengan taat. Ia ingin sekali pergi ke Madinah untuk mendengar
langsung ajaran Islam dari Nabi. Apalagi ia melihat perubahan pola hidup yang
Islami pada tetangga-tetangganya yang sudah pernah ke Madinah.
Keinginannya itu membuatnya sering tampak
murung dan sedih. Apalagi, meski belum pernah bertemu, ia sangat cinta dan
rindu pada Nabi. Ia bahkan pernah memukul giginya dengan batu hingga patah saat
mendengar kabar Nabi mengalami cedera dan patah gigi karena dilempari batu oleh orang kafir saat perang Uhud.
Uwais jelas tidak mungkin pergi ke Madinah.
Di samping ia tidak punya bekal, juga tidak ada yang merawat ibunya. Tetapi
pada suatu hari, ia nekat minta izin kepada ibunya untuk pergi ke Madinah.
Dengan penuh rasa haru ibunya pun memberinya izin, dengan catatan ia segera
kembali setelah berjuma dengan Nabi.
Kedua kaki Uwais kemudian, segera
secara bergantian, melangkah setapak demi setapak, untuk menempuh perjalanan
dengan jarak kurang lebih empat ratus kilo meter menuju kota yang diidamkannya,
untuk menemui orang yang sangat dicintainya.
Namun sayang, ia hanya berjumpa
dengan ‘Aisyah, karena Nabi sedang ghazwah (perperang). Ia ingin
menunggu kedatangan Nabi entah sampai kapan. Tapi juga ingat pesan ibunya untuk
segera pulang. Akhirnya ia memohon pamit kepada ‘Aisyah dan hanya menitip salam
kepada Nabi.
Sepulang dari ghazwah,
Nabi langsung menanyakan kepada ‘Aisyah tentang kedatangan orang yang
mencarinya. Nabi kemudian menjelaskan bahwa Uwais adalah seorang anak yang taat
kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Ia
mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya. Bagi yang ingin
berjumpa dengannya, bisa memperhatikan tanda itu.
Nabi juga menutukan kepada
sahabat Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, “Suatu ketika, apabila kalian
bertemu dengannya, mintalah doa dan istighfarnya, ia adalah penghuni langit dan
bukan penghuni bumi”.
Sabda Nabi itu terbukti. Saat Umar menjadi
khalifah, ia mengingatkan Ali pada sabda Nabi itu. Ia juga mengajaknya untuk mencari
Uwais pada setiap kafilah dagang yang datang dari Yaman. Setiap kafilah yang
pernah “diobok-obok” oleh kedua pemimpin Islam itu merasa heran, apa yang
sebenarnya terjadi pada Uwais.
Sampai suatu saat mereka berhasil menemukan
Uwais. Mereka pun segera meminta doa dan istighfarnya. Semula ia menolak,
tetapi karena selalu didesak, akhirnya ia bersedia juga. Umar juga menawarkan
tunjangan hidup buat Uwais yang diambilkan dari Baitul Mal. Tapi ia menolak dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja
hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir
ini tidak diketahui orang lagi.”
Begitulah sepenggal kisah tentang
Uwais al-Qorni. Paling tidak ada dua hal yang membuatnya memiliki derajat yang
tinggi di sisi Tuhan, yaitu baktinya kepada orang tua dan kecintaannya kepada
Nabi. Seluruh hidupnya didermakan untuk memenuhi kebutuhan ibunya yang renta
dan sakit-sakitan, juga menjalankan agama sebagaimana yang diajarkan oleh orang
yang dicintainya, Nabi Saw.
Baginya, terukirnya nama baik
dalam hangar-bingar popularitas itu tidak penting, bahkan rentah melahirkan
fitnah dan kerenggan hubungan dengan Tuhan. Untuk itu, meski ia telah
mendapatkan keistimewaan sebagaimana disabdakan Nabi, ia tidak ingin hal itu
diketahui oleh orang lain, hingga ia memohon kepada sahabat Umar dan Ali untuk
merahasiakannya.
Saat ini, barang kali orang yang
seperti Uwais ini seribu satu jumlahnya. Itu pun kalau ada. Justru yang banyak
adalah yang seperti orang-orang di sekeliling Uwais, yang gemar meledek orang
miskin dan menuduhnya sebagai biang kejahatan. Ini semua karena orientasi hidup
mayoritas orang tidak lagi Tuhan, melaikan semata-mata materi duniawi.
Alih-alih Tuhan dijadikan pelengkap penderita.
Memang sekarang tidak sedikit
orang yang tampak mengorientasikan hidupnya hanya kepada Tuhan. Tetapi sebagian
dari mereka masih tergiur oleh popularitas. Hal ini membuat tidak saja
ceramah-ceramah mereka menjadi hampa, tetapi doa-doanya juga tidak mudah
terkabul sebagaimana doa Uwais.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar