Dikisahkan, di Makkah dulu ada seorang lelaki
yang beristri cantik. Pada suatu hari, ia melihat istrinya sedang bersolek di
depan cermin. Sang istri pun memintanya untuk mendekat, dan berkata,
“Menurutmu, apa ada orang lelaki yang tidak akan tergoda dan tertarik saat
melihat wajahku yang cantik ini?” Sang suami menjawab, “Ada.” “Siapa?” tanya
sang istri penasaran. “Ubaid bin Umair.”
Jawab suaminya.
“Kita buktikan. Izinkan aku untuk merayu dan
menggodanya,” kata sang istri seolah tak percaya. Sang suami akhirnya
mengizinkan istrinya untuk menggoda dan merasu Ubaid bin Umair.
Sang isteri kemudian pergi menemui Ubaid
dengan dalil ingin meminta fatwa tentang suatu masalah. Ubaid memenuhi
permintaan perempuan itu dengan mengajaknya ke salah satu sisi Masjidil Haram.
Tak disangka, tiba-tiba permpuan itu membuka
tutup wajahnya hingga terlihatlah paras cantik wajahnya. Ubaid kaget, dan
spontan berkata, “Celaka kamu wahai hamba Allah!” Kemudian wanita itu berkata
kepada Ubaid, “Sesungguhnya aku telah tergoda dan tertarik kepada kamu. Karena
itu, tolong pertimbangkan keinginanku ini.”
Ubaid bin Umair berkata, “Aku akan mengajukan
beberapa pertanyaan kepadamu. Jika kamu mau menjawabnya dengan jujur, maka aku
akan pertimbangakan keinginanmu ini.” Perempuan itu bersedia memenuhi syarat
yang diajukan Ubaid.
“Katakan kepadaku dengan jujur. Jika sekarang
malaikat maut datang dan mencabut nyawamu, apakah kamu senang jika sekarang aku
memenuhi keinginanmu ini?” perempuan itu spontan menjawab, “Tentu saja tidak.”
Ubaid berkata, “Bagus, berarti kamu memang
jujur. Ingatlah ketika semua makhluk dihidupkan kembali pada hari kiamat untuk
menerima buku catatan amal mereka masing-masing. Dan, kamu sendiri tidak tahu
apakah kamu akan menerima buku catatan amal kamu dengan tangan kanan atau kiri.
Apakah kamu akan merasa senang jika aku memenuhi kenginanmu ini?” Perempuan itu
tetap dengan jawaban yang sama, “Tentu saja tidak.”
“Bagus, kamu menjawab dengan jujur.
Ketika datang waktu penimbangan amal, lalu kamu tidak tahu apakah timbangan
amal kebaikanmu lebih berat atau lebih ringan. Apakah kamu senang jika aku
memenuhi keinginanmu ini?” Ubaid melanjutkan. “Tentu saja tidak.” Jawab perempuan
itu.
Untuk yang terakhir kali Ubaid bertanya, “Ingatlah
ketika kamu dihadapkan kapada Allah. Apakah kamu senang jika aku memenuhi
keinginanmu ini?” Perempuan itu pun menjawab, “Tentu saja tidak.” Ubaid akhirnya
berkata, “Hai hamba Allah, takutlah kamu kepada-Nya. Karena sesungguhnya Allah
telah memberi karunia dan nikmat kepada kamu.”
Perempuan itu kemudian bergegas pulang. Sesampainya di
rumah, suaminya langsung bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan
kepadanya?” dan sang isteripun seketika menjawab, “Kamu memang benar-benar
orang yang hina, kita berdua memang benar-benar orang yang hina.”
Sejak peristiwa itu, sang isteri berubah
secara total. Hari-harinya diisi deng kesibukan shalat, puasa, dan
ibadah-ibadah yang lain. Perubahan ini juga ternyata membuat suaminya jengkel. “Celaka
aku, apa sebenarnya yang telah dilakukan Ubaid bin Umair terhadap istriku, hingga
ia berubah seperti sekarang ini. Dulu setiap malam istriku bertingkah seperti pengantin
baru, tapi sekarang Ubaid telah mengubahnya menjadi seorang rahib (orang ahli
ibadah)!” gumamnya pada dirisendiri
Karena peristiwa itulah kemudian Allah
mengingatkan seluruh manusia melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci
bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (QS. An-Nur: 30-31)
Cantik, tanpan dan kemaluan memang merupakan
suatu karunia yang diberikan Allah kepada manusia. Selayaknya manusia
memanfaatkan karunia itu untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Kalau Allah
mencipta manusia hanya untuk menyembah (beribadah) kepadanya, maka perintah ini
juga berlaku bagi keseluruhan yang dimiliki manusia,termasuk karunia cantik,
tanpan dan kemaluan.
Lantas bagaimana beribadah dengan kecantikan,
ketampanan dan kemaluan? Memperilihatkan kecantikan wajah dan kemolekan tubuh
hanya kepada suami hingga sang suami menginginkannya adalah terhitung ibadah.
Begitu juga dengan memperlihatnya ketampanan dan keperkasaan hanya kepada istri
hingga ia menginginkannya adalah ibadah. Demikian juga menjaga kemaluan agar
tidak terlihat dan terjamah orang lain adalah ibadah.
Kecantikan, ketampanan dan kemaluan bukan
alat untuk mengais rizki Tuhan, apalagi dengan cara-cara yang tergolong
maksiat. Pernyataan ini sangat penting mengingat modernisme telah menjadikannya
sebagai suatu komoditi yang dapat dijadikan alat untuk menumpuk kekayaan.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar