Selasa, 11 September 2012

Bekerja Itu Ibadah

Bekerja bukan hanya kebutuhan, tapi juga kewajiban. Karenanya, pahala bagi yang melakukan dan dosa bagi yang metinggalkannya. Anas bin Malik meriwayatkan: Seorang lelaki dari kaum Anshar mendatangi Nabi dan meminta sesuatu kepadanya. Nabi bertanya, “Adakah sesuatu di rumahmu?”
“Ada, ya Nabi !” jawabnya, “Saya mempunyai sehelai kain tebal, yang sebagian kami gunakan untuk selimut dan sebagian kami jadikan alas tidur. Selain itu saya juga mempunyai sebuah mangkuk besar yang kami pakai untuk minum.”
“Bawalah kemari kedua barang itu,” sambung Nabi. Lelaki itu kemudian mengambil barang miliknya dan menyerahkannya kepada Nabi. Setelah barang itu berada di tangan Nabi, beliau segera menawarkan kepada para sahabat yang hadir pada saat itu, kalau-kalau ada yang berminat untuk membelinya.
Salah seorang sahabat menawar kedua barang itu dengan harga satu dirham. Tetapi Nabi menawarkan lagi, barangkali ada yang sanggup membeli dengan harga yang lebih tinggi. “Dua atau tiga dirham?” tanya Nabi kepada para hadirin sampai dua kali.
Tiba-tiba salah seorang sahabat menyahut, “Saya beli keduanya dengan harga dua dirham.” Nabi  kemudian menyerahkan kedua barang itu kepada si pembeli dan menerima uangnya. Uang itu lalu diserahkan kepada lelaki Anshar tersebut, seraya berkata, “Belikan satu dirham untuk keperluanmu dan satu dirham lagi belikan sebuah kapak, dan kembalilah lagi ke sini.”
Tak lama kemudian orang tersebut kembali menemui Nabi  dengan membawa kapak. Nabi melengkapi kapak itu dengan membuatkan gagangnya terlebih dahulu, lantas berkata, “Pergilah mencari kayu bakar, lalu hasilnya kamu jual di pasar, dan jangan menemui aku sampai dua pekan.”
Lelaki Anshar itu kemudian melangkahkan kakinya sesuai perintah Nabi. Setelah dua pekan berlalu dia menemui Nabi  untuk melaporkan hasil kerjanya. Lelaki itu menuturkan bahwa selama dua pekan dia berhasil mengumpulkan uang sepuluh dirham setelah sebagian dibelikan makanan dan pakaian.
Mendengar penuturan lelaki Anshar itu, Nabi  bersabda, “Pekerjaanmu ini lebih baik bagimu daripada kamu datang sebagai pengemis, yang hanya akan membuat cacat wajahmu kelak pada hari kiamat.”
Hadis ini Nabi telah memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja. Dalam Islam, bekerja memang menempati posisi amat penting. Bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan makan, tapi juga terkait dengan harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Karenanya, Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri.
Nabi pernah ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua stransaksi jual beli yang dianggap baik,” (HR Ahmad dan Baihaqi).
Tingginya penghargaan Islam terhadap kerja sampai orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh disejajarkan dengan mujahid fi sabilillah. Sebab bekerja tidak hanya menghasilkan nafkah materi, tapi juga pahala, bahkan maghfirah dari Allah, sesuai bersabda Nabi, “Jika ada seseorang yang keluar dari rumah untuk bekerja untuk menghidupi anaknya yang masih kecil, maka dia telah berusaha di jalan Allah. Jika dia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun di jalan Allah. Tetapi jika dia bekerja untuk berpamer atau bermegah-megahan, maka itu mengikuti jalan setan,” (HR Thabrani).
Kerja juga berkait dengan martabat manusia. Seorang yang telah bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah martabatnya. Sebaliknya orang yang menganggur, akan kehilangan harga diri. Tak jarang jatuhnya harga diri ini akan menjerumuskannya pada perbuatan hina dan sesat, seperti meminta-minta dan memeras.
Tindakan meminta-minta, misalnya, merupakan kehinaan baik di mata manusia apalagi dalam pandangan Allah. Orang yang meminta-minta kepada sesama manusia tidak saja hina di  dunia tapi juga akan dihinakan Allah di akhirat kelak.
Nabi bersabda, “Demi Allah, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, dengan pekerjaan itu Allah mencukupi kebutuhanmu, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain,” (HR Bukhari dan Muslim).
Bekerja juga berkait dengan kesucian jiwa. Orang yang sibuk bekerja tidak akan ada waktu untuk bersantai-santai dan serta membincangkan orang lain. Dia akan menggunakan waktunya untuk meningkatkan kualitas kerjanya.
Begitu pentingnya arti bekerja, sehingga Islam menetapkannya sebagai suatu kewajiban. Setiap muslim yang berkemampuan wajib hukumnya bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Abu Hanifah adalah seorang ulama besar yang sangat dihormati. Ilmunya luas dan muridnya banyak. Di tengah kesibukan belajar dan mengajar, dia masih menyempatkan diri untuk bekerja sehingga tidak jelas apakah dia seorang pedagang yang ulama atau ulama yang pedagang. Baginya, berusaha itu suatu keharusan. Sedangkan berjuang, belajar dan mengajarkan ilmu itu juga kewajiban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar