Sesungguhnya
perbedaan pendapat itu bukan merupakan suatu hal yang luar biasa. Perbedaan
selalu ada di mana, kapan, dan tentang apa saja, termasuk tentang keberagamaan.
Adalah keterbatasan manusia itu sendiri yang mengakibatkan terjadinya
perbedaan. Nabi sendiri bahkan meniscayakan perbedaan.
Keterbatasan
manusia dalam mendengar, melihat, menilai dan mencerna setiap informasi yang
ada di hadapannya bisa merujung perbedaan di antara mereka. Pepatah Arab “rubba
muballaghin au’a minas sami’” (orang yang diberi informasi mungkin lebih dapat
mencerna dibanding penyampainya sendiri), menegaskan keterbatasan tersebut.
Akibat
dari perbedaan tersebut adalah terjadinya perbedaan pemahaman. Pemahaman yang
mengkristal dalam sebuah kelompok akan membentuk patron pemikiran, yang dalam
konteks peradaban Islam, menjadi bukti mozaik Islam. Karenanya Nabi menegskan
perbedaan yang ada merupakan rahmat bagi umat.
Para
imam, seperti Hanafi, Malik, Syafi’i, dan Hambali, memiliki perbedaan pendapat
dalam keberagamaan. Perbedaan ini akhirnya mengkristal dalam bentuk madzhab.
Siapa pun boleh mengikutinya atau pun tidak. Karena memang tidak ada kewajiban
atau pun larangan untuk mengikutinya. Jika demikian halnya, maka sikap fanatik
terhadap sebuah madzhab merupakan sebuah sikap yang berlebihan.
Perbedaan
juga terjadi pada para Nabi, seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, sebagaimana dijelaskan
Allah dalam surat al-Anbiyaa’: 78-79, yang berbeda pendapat tentang kepastian
hukum yang harus diberikan kepada hewan ternah yang telah merusak tanaman orang
lain.
Kondisi
alam dan lingkungan juga turut memberikan kontribusinya terhadap perbedaan.
Sebab kondisi alam dan lingkungan dapat membentuk pola pandang tersendiri bagi
manusia. Contoh yang sangat tepat adalah adanya qaul qadim (pendapat lama) dan
qaul jadid (pendapat baru) Imam Syafi’i, di mana perbedaan itu akibat dari
migrasi sang imam..
Sampai
di sini dapat ditegaskan bahwa perbedaan perupakan suatu hal yang alamiah dan
niscaya. Nabi menganjurkan kepada siapa pun untuk menyikapinya sebagai rahmat.
Nabi sendiri menyadari bahwa perbedaan itu dapat mengakibatkan terjadinya
konflik. Anjuran Nabi agar menyikapi perbedaan sebagai rahmat tidak lain adalah
agar potensi kinflik dari perbedaan tersebut dapat diredam.
Tegasnya
sikap-sikap yang memicu konflik dalam menyikapi perbedaan, seperti pengkafiran,
dll., berarti keluar dari sikap tidak mengindahkan anjuran Nabi tersebut.
Berarti pula kurang memperhatikan keteladanaan Nabi dalam menghadapi perbedaan.
Penegasan ini juga berlaku bagi siapa pun yang membalas sikap-sikap tersebut
dengan sikap yang sama.
Dalam Shahih
al-Bukhari, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim
yang membaca surat al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Nabi
kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan bahwa Nabi sendiri yang mengajarkan
bacaan itu, mereka berdua menghadap Nabi untuk meminta konfirmasi. Nabi membenarkan
keduanya dan menjelaskan bahwa Alqur’an memang diturunkan Allah dengan beberapa
variasi bacaan (7 bacaan).
“Faqra’u
ma tayassara minhu (maka bacalah mana yang kamu anggap mudah daripadanya)” sabda
Nabi, tanpa menyalahkan kedua sahabatnya yang berbeda bacaan tersebut.
Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar bahwa Nabi bersabda
pada peristiwa Ahzab: Janganlah ada satu pun yang shalat ‘Ashar kecuali di
perkampungan Bani Quraizhah.”
Lalu
ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah
sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan:
“Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.”
Kemudian hal itu disampaikan kepada Nabi namun beliau tidak mencela salah
satunya.”
Sekali
lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan
kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela
salah satunya. Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah
jalan bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba shalat di awal waktu
sebagaimana diperintahkan Allah dan RasulNya. Yang shalat belakangan di perkampungan
Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah shalat di awal waktu, namun mereka
mengikuti perintah Nabi di atas.
Perbedaan
itu akan selalu ada. Namun sayang, beberapa kelompok tertentu biasanya
menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka
langsung disebut sebagai ahlul bid’ah, musyrik, kuffar, dan sebagainya. Bahkan
mereka mengolok-olok hadits “perbedaan adalah rahmat” dengan “persatuan adalah
laknat”.
Subhanallah!
Semoga hari ini merupakan akhir dari semua sikap-sikap yang tidak menghargai
perbedaan. Semoga pula semua pihak yang pernah atau belum terlibat konflik
secara langsung akibat perbedaan pendapat dapat sama-sama meneladani Nabi dalam
menyikapi perbedaan dan konflik. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar