Jumat, 07 September 2012

Teladan Menghadapi Perbedaan

Sesungguhnya perbedaan pendapat itu bukan merupakan suatu hal yang luar biasa. Perbedaan selalu ada di mana, kapan, dan tentang apa saja, termasuk tentang keberagamaan. Adalah keterbatasan manusia itu sendiri yang mengakibatkan terjadinya perbedaan. Nabi sendiri bahkan meniscayakan perbedaan.
Keterbatasan manusia dalam mendengar, melihat, menilai dan mencerna setiap informasi yang ada di hadapannya bisa merujung perbedaan di antara mereka. Pepatah Arab “rubba muballaghin au’a minas sami’” (orang yang diberi informasi mungkin lebih dapat mencerna dibanding penyampainya sendiri), menegaskan keterbatasan tersebut.
Akibat dari perbedaan tersebut adalah terjadinya perbedaan pemahaman. Pemahaman yang mengkristal dalam sebuah kelompok akan membentuk patron pemikiran, yang dalam konteks peradaban Islam, menjadi bukti mozaik Islam. Karenanya Nabi menegskan perbedaan yang ada merupakan rahmat bagi umat.
Para imam, seperti Hanafi, Malik, Syafi’i, dan Hambali, memiliki perbedaan pendapat dalam keberagamaan. Perbedaan ini akhirnya mengkristal dalam bentuk madzhab. Siapa pun boleh mengikutinya atau pun tidak. Karena memang tidak ada kewajiban atau pun larangan untuk mengikutinya. Jika demikian halnya, maka sikap fanatik terhadap sebuah madzhab merupakan sebuah sikap yang berlebihan.
Perbedaan juga terjadi pada para Nabi, seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat al-Anbiyaa’: 78-79, yang berbeda pendapat tentang kepastian hukum yang harus diberikan kepada hewan ternah yang telah merusak tanaman orang lain.
Kondisi alam dan lingkungan juga turut memberikan kontribusinya terhadap perbedaan. Sebab kondisi alam dan lingkungan dapat membentuk pola pandang tersendiri bagi manusia. Contoh yang sangat tepat adalah adanya qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru) Imam Syafi’i, di mana perbedaan itu akibat dari migrasi sang imam..
Sampai di sini dapat ditegaskan bahwa perbedaan perupakan suatu hal yang alamiah dan niscaya. Nabi menganjurkan kepada siapa pun untuk menyikapinya sebagai rahmat. Nabi sendiri menyadari bahwa perbedaan itu dapat mengakibatkan terjadinya konflik. Anjuran Nabi agar menyikapi perbedaan sebagai rahmat tidak lain adalah agar potensi kinflik dari perbedaan tersebut dapat diredam.
Tegasnya sikap-sikap yang memicu konflik dalam menyikapi perbedaan, seperti pengkafiran, dll., berarti keluar dari sikap tidak mengindahkan anjuran Nabi tersebut. Berarti pula kurang memperhatikan keteladanaan Nabi dalam menghadapi perbedaan. Penegasan ini juga berlaku bagi siapa pun yang membalas sikap-sikap tersebut dengan sikap yang sama.
Dalam Shahih al-Bukhari, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca surat al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Nabi kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan bahwa Nabi sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua menghadap Nabi untuk meminta konfirmasi. Nabi membenarkan keduanya dan menjelaskan bahwa Alqur’an memang diturunkan Allah dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan).
“Faqra’u ma tayassara minhu (maka bacalah mana yang kamu anggap mudah daripadanya)” sabda Nabi, tanpa menyalahkan kedua sahabatnya yang berbeda bacaan tersebut.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar bahwa Nabi bersabda pada peristiwa Ahzab: Janganlah ada satu pun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”
Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Nabi namun beliau tidak mencela salah satunya.”
Sekali lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah satunya. Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba shalat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah dan RasulNya. Yang shalat belakangan di perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah shalat di awal waktu, namun mereka mengikuti perintah Nabi di atas.
Perbedaan itu akan selalu ada. Namun sayang, beberapa kelompok tertentu biasanya menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka langsung disebut sebagai ahlul bid’ah, musyrik, kuffar, dan sebagainya. Bahkan mereka mengolok-olok hadits “perbedaan adalah rahmat” dengan “persatuan adalah laknat”.
Subhanallah! Semoga hari ini merupakan akhir dari semua sikap-sikap yang tidak menghargai perbedaan. Semoga pula semua pihak yang pernah atau belum terlibat konflik secara langsung akibat perbedaan pendapat dapat sama-sama meneladani Nabi dalam menyikapi perbedaan dan konflik. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar