Salah satu mukjizat yang diberikan Allah
kepada Nabi Musa adalah pengungkapan pelaku dan modus pembunuhan dengan media
seekor sapi betina. Cara yang dianggap aneh dan lucu oleh Bani Israil ini
membuat mereka mengejek dan menghardik Musa, meski akhirnya mereka percaya dan
kagum. Karena peristiwa ini sapi itu kemudian dikenal dengan sebutan sapi Bani
Israil. Kisah lengkap seputar ini dapat dibaca pada surat al-Baqarah ayat
67-73.
Dikisahkan, ada seorang anak laki-laki putera
tunggal seorang konglomerat Bani Israil. Saat ia meninggal, hanya anak itu yang
memiliki hak waris semua hartanya. Kenyataan ini membuat saudara-saudara
sepupunya merasa iri. Mereka pun membuat satu konspirasi. Mereka sepakat untuk
menghabisi anak itu. Dengan begitu hak atas semua hartanya akan beralih kepada
mereka sesuai dengan hukum yang berlaku saat itu.
Akhirnya, pembunuhan pun terjadi secara rapi.
Mereka datang kepada Nabi Musa untuk melapor kalau saudara sepupunya telah dibunuh
oleh seorang yang tidak dikenal. Maksud mereka sangat jelas, mereka berupaya membersihkan
diri dengan mencari kambing hitam sambil memposisikan diri sebagai pahlawan
pengungkap misteri pembunuhan. Mereka meminta Nabi Musa untuk mengungkap
pembunuh sepupunya itu.
Nabi Musa langsung bermunajat, memohon
pertolongan Allah. Ia kemudian mendapat wahyu agar ia menyembelih seekor sapi. Lidah
sapi yang telah disembelih kemudian dipotong dan dipukulkan pada jenazah korban.
Dengan izin Allah mayat itu akan bangun kembali untuk memberitahukan siapa yang
sebenarnya telah melakukan pembunuhan atas dirinya.
Ketika Nabi Musa menyampaikan cara yang telah
diwahyukan Allah itu kepada kaumnya, ia malah ditertawakan dan diejek karena
akal mereka jelas tidak dapat menerimanya. Mereka lupa kalau Allah telah
berkali-kali menunjukkan kekuasaan-Nya melalui mukjizat yang diberikan kepada Nabi
Musa.
“Apakah dengan cara yang kamu sampaikan itu kamu
hendak menjadikan kami sebagai bahan ejekan dan tertawaan orang? Tapi kalau
memang cara yang kamu katakan itu adalah wahyu, maka cuba tanyakan kepada
Tuhanmu, apa sapi betina atau jantan yang harus kami sembelih? Sekalian
bagaimana sifat-sifatnya serta warna kulitnya agar kami tidak salah memilih
sapi yang harus kami sembelih?” Kata mereka kepada Nabi Musa sambil mengejek.
Nabi Musa menjawab, “Menurut petunjuk Allah,
yang harus disembelih adalah sapi betina yang berwarna kuning tua, belum pernah
dipakai untuk membajak tanah atau mengairi tanaman, tidak cacat dan tidak ada
belangnya.”
Pemuka Bani Israil kemudian mengirim beberapa
orang ke pelosok desa dan kampung guna mencari sapi yang sesuai kreteria.
Mereka akhirnya menemukan sapi itu pada seorang anak yatim piatu yang hanya memiliki
sapi itu sebagai satu-satunya harta yang diwarisi dari ayahnya, sekaligus
sebagai satu-satunya sumber nafkah hidupnya.
Ayah anak yatim itu adalah seorang fakir
miskin yang soleh dan ahli ibadah. Saat menjelang ajalnya ia berdoa kepada
Allah agar memberi perlindungan kepada putera tunggalnya, dimana ia tidak dapat
meninggalkan warisan apa-apa baginya selain seekor sapi itu.
Berkat doa sang ayah yang soleh itu akhirnya sapi
anak yatim itu terjual dengan harga yang berlipat ganda, karena merupakan
satu-satunya sapi yang memenuhi kreteria sebagaimana yang telah ditentukan oleh
Nabi Musa.
Setelah sapi dari anak yatim itu disembelih, lidahnya
dipotong sendiri oleh Nabi Musa, sebelum kemudian dipukulkan pada tubuh jenazah
korban. Dengan izin Allah seketika ia bangun. Lalu menuturkan kepada Nabi Musa
dan Bani Israil bahwa ia telah dibunuh oleh saudara-saudara sepupunya sendiri.
Kisah ini merupakan salah satu bukti adanya
mukjizat yang telah diberikan Allah kepada Nabi dan Rasul-Nya. Sekaligus
sebagai peneguh bahwa Islam memilah antara fenomena rasional dan irrasional.
Keduanya diposisikan secara proporsional. Tidak ada yang lebih tinggi atau
lebih rendah kedudukannya. Keduanya juga memiliki fungsi yang signifikan pada
wilayahnya masing-masing.
Persoalan iman misalnya, besar-kecil atau
tebal-tipisnya tidak bisa diukur dengan logika rasional (otak). Sebab ia
merupakan wilayah hati dengan logikanya sendiri. Logika hati justru memiliki
daya jangkau yang lebih jauh dan luas, melebihi daya jangkau logika rasional.
Contoh konkretnya adalah mukjizat. Acap kali otak tidak mampu menembus wilayah
ini. Tetapi hati justru biasa “bermain dan bercanda” dengannya.
Mukjizat memang hanya milik Nabi dan Rasul.
Namun bukan berarti semua orang tidak akan mendapatkan hal yang serupa. Siapa
pun mampu mendapatkannya, meski secara literal namanya bukan mukjizat, tetapi “karomah”,
asal ia mampu melakukan suatu proses pembersihan hati sebagaimana yang
dilakukan oleh para nabi dan rasul, atau paling tidak meniru mereka dalam
prosesnya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar