Rabu, 12 September 2012

Trafficking Itu Perbudakan Modern

 Traficking tak ubahknya bentuk baru dari sistem perbudakan. Perbudakan merupakan kenyataan sosial yang telah ada sebelum Islam, yang jelas tidak menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menciderai keadilan. Sebab di dalam perbudakan tidak ada kesederajatan antar sesama manusia. Paradoks dengan pandangan Tuhan tentang kesederajatan manusia.
Islam menyadari bahwa praktek perbudakan telah menjadi sebuah budaya tersendiri bagi bangsa Arab sejak lama, karenanya kenyataan tersebut harus dirubah secara gradual. Mula-mula perbudakan dihapus dengan membeli dan memerdekakan budak yang telah memeluk Islam. Kasus Bilal bin Rabah dapat dijadikan contoh.
Setelah Islam berkembang cukup pesat, penghapusan sistem perbudakan dilakukan dengan menjadikan praktek memerdekakan budak sebagai salah satu bentuk denda dan hukuman (kafarat) bagi tindak kejahatan tertentu.
Meski praktek perbudakan dalam bentuk konvensional itu telah hilang, namun pada hakekatnya roh perbudakan masih hidup dan mewujud dalam bentuk-bentuk yang baru, di antaranya adalah trafficking. Dalih tekanan ekonomi dan impian kesejahteraan mendorong banyak anak atau perempuan yang terjebak dalam praktek trafficking.
Sekalipun bentuknya berbeda namun sesungguhnya perbudakan dan trafficking substansi sama, yakni adanya ketaatan dan ketundukan secara mutlak dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab apapun yang dibebankan oleh tuannya, ketergantungan ekonomi dan serta terampas dan  hilangnya hak-hak individu untuk memperoleh kebebasan.
Seorang budak dan seorang yang menjadi obyek trafficking sama-sama kehilangan kebebasan untuk memilih apa yang terbaik baginya. Seorang anak dan seorang perempuan yang menjadi obyek trafficking berada di bawah belenggu orang lain dan harus mengikuti apa yang dikehendakinya. Mereka harus rela dijadikan sebagai pekerja dengan upah yang sangat murah, dijerumuskan ke dalam dunia prostitusi, pengemis, dll.
 Komitmen Islam dalam menghapus perbudakan dapat dilihat pada prinsip-prinsip Islam dalam memperlakukan budak, yaitu: Pertama, berbuat baik terhadap budak/hamba sahaya  harus dilakukan  sebagaimana berbuat baik terhadap kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh (QS.4:36). Dengan demikian, Islam mengangkat harkat dan martabat budak pada pisisi yang demikian mulia dan tinggi.
Kedua, Nabi melarang  memanggil budak dengan ungkapan yang menghina dan kata yang mengandung konotasi budak, seperti: hai budakku, hai hambaku, tetapi harus menggunakan sebutan: hai pemudaku, hai remajaku (HR. Muslim).
Ketiga, makanan pakaian dan tempat tinggal yang digunakan budak sama dengan yang digunakan tuannya. Berdasarkana hadis Nabi: “Budak adalah para pembantu dan saudaramu yang dijadikan Allah berada di bawah pengawasanmu, berila makan seperti yang kamu makan, pakaian yang kamu pakai dan jangan sekali-kali memberi mereka tugas yang tidak mampu dipikulnya agar mereka merasa senang (HR al-Bukhari).
Keempat, larangan menyakiti budak, berdasarkan hadis: “siapa yang  menampar (menganiaya) budaknya, maka dia wajib memerdekakannya (HR. Ahmad). Dan kelima, anjuran untuk mengajari, mendidik dan mengawinkannya (HR. Abu Dawud).
Kelima prinsip tersebut sebenarnya mengerucut pada cita-cita sosial Islam, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan egaliter. Sudah tentu hal ini tidak akan terwujud dengan menjadikan manusia sebagai suatu komoditas perdagangan yang bisa diperjual –belikan.
Alhamdulillah, saat ini sistem perbudakan telah dinyatakan illegal di seluruh dunia. Namun sayang, praktek perbudakan baru dalam bentuk trafficking masih saja terjadi. Di Amerika Serikat, misalnya, sekalipun perbudakan telah dihapuskan bersamaan dengan berakhirnya perang saudara, diskriminasi tetap berlangsung.
Baru setelah lahirnya gerakan hak-hak sipil pada tahun 1960an dikeluarkanlah undang-undang anti-diskriminasi dan kemudian diikuti dengan affirmative action yang menjamin representasi minoritas dalam lembaga-lembaga publik. Namun demikian, kesadaran warna kulit masih sering menjadi faktor yang menentukan dalam hubungan sosial sampai saat ini.
Di negera-negara Arab sendiri, relasi budak-tuan tidak jarang masih mewarnai hubungan individual, seperti yang terjadi antara buruh-majikan. Seorang buruh atau pekerja rumah tangga, misalnya, seringkali dipandang sebagai seorang budak yang tidak memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan.
Di Indonesia, praktek-praktek trafficking pada hakekatnya merupakan bentuk rekruitmen perbudakan dalam bentuknya yang paling konvensional. Seorang dibeli dari orang lain atau ditangkap kemudian dijual kepada orang lain atau dibebani jenis pekerjaan tertentu di luar kesepatakan-kesepakatan sebelumnya secara suka rela.
Dengan demikian, sudah sangat jelas bahwa trafficking merupakan bentuk perbudakan baru yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam tentang kemanusiaan. Karenanya ia menjadi musuh kita bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar