Traficking tak
ubahknya bentuk baru dari sistem perbudakan. Perbudakan merupakan kenyataan
sosial yang telah ada sebelum Islam, yang jelas tidak menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia serta menciderai keadilan. Sebab di dalam perbudakan tidak
ada kesederajatan antar sesama manusia. Paradoks dengan pandangan Tuhan tentang
kesederajatan manusia.
Islam menyadari bahwa praktek
perbudakan telah menjadi sebuah budaya tersendiri bagi bangsa Arab sejak lama,
karenanya kenyataan tersebut harus dirubah secara gradual. Mula-mula perbudakan
dihapus dengan membeli dan memerdekakan budak yang telah memeluk Islam. Kasus
Bilal bin Rabah dapat dijadikan contoh.
Setelah Islam berkembang
cukup pesat, penghapusan sistem perbudakan dilakukan dengan menjadikan praktek
memerdekakan budak sebagai salah satu bentuk denda dan hukuman (kafarat)
bagi tindak kejahatan tertentu.
Meski praktek perbudakan
dalam bentuk konvensional itu telah hilang, namun pada hakekatnya roh perbudakan
masih hidup dan mewujud dalam bentuk-bentuk yang baru, di antaranya adalah
trafficking. Dalih tekanan ekonomi dan impian kesejahteraan mendorong banyak
anak atau perempuan yang terjebak dalam praktek trafficking.
Sekalipun bentuknya
berbeda namun sesungguhnya perbudakan dan trafficking substansi sama, yakni
adanya ketaatan dan ketundukan secara mutlak dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawab apapun yang dibebankan oleh tuannya, ketergantungan ekonomi dan
serta terampas dan hilangnya hak-hak individu untuk memperoleh kebebasan.
Seorang budak dan
seorang yang menjadi obyek trafficking sama-sama kehilangan kebebasan untuk
memilih apa yang terbaik baginya. Seorang anak dan seorang perempuan yang
menjadi obyek trafficking berada di bawah belenggu orang lain dan harus
mengikuti apa yang dikehendakinya. Mereka harus rela dijadikan sebagai pekerja
dengan upah yang sangat murah, dijerumuskan ke dalam dunia prostitusi, pengemis,
dll.
Komitmen Islam
dalam menghapus perbudakan dapat dilihat pada prinsip-prinsip Islam dalam memperlakukan
budak, yaitu: Pertama, berbuat baik terhadap budak/hamba sahaya harus
dilakukan sebagaimana berbuat baik terhadap kedua orang tua, kerabat,
anak yatim, orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh (QS.4:36). Dengan
demikian, Islam mengangkat harkat dan martabat budak pada pisisi yang demikian
mulia dan tinggi.
Kedua, Nabi melarang
memanggil budak dengan ungkapan yang menghina dan kata yang mengandung konotasi
budak, seperti: hai budakku, hai hambaku, tetapi harus menggunakan sebutan: hai
pemudaku, hai remajaku (HR. Muslim).
Ketiga, makanan pakaian
dan tempat tinggal yang digunakan budak sama dengan yang digunakan tuannya.
Berdasarkana hadis Nabi: “Budak adalah para pembantu dan saudaramu yang
dijadikan Allah berada di bawah pengawasanmu, berila makan seperti yang kamu
makan, pakaian yang kamu pakai dan jangan sekali-kali memberi mereka tugas yang
tidak mampu dipikulnya agar mereka merasa senang (HR al-Bukhari).
Keempat, larangan
menyakiti budak, berdasarkan hadis: “siapa yang menampar (menganiaya) budaknya,
maka dia wajib memerdekakannya (HR. Ahmad). Dan kelima, anjuran untuk
mengajari, mendidik dan mengawinkannya (HR. Abu Dawud).
Kelima prinsip tersebut
sebenarnya mengerucut pada cita-cita sosial Islam, yaitu terwujudnya masyarakat
yang adil dan egaliter. Sudah tentu hal ini tidak akan terwujud dengan
menjadikan manusia sebagai suatu komoditas perdagangan yang bisa diperjual
–belikan.
Alhamdulillah, saat ini sistem
perbudakan telah dinyatakan illegal di seluruh dunia. Namun sayang, praktek
perbudakan baru dalam bentuk trafficking masih saja terjadi. Di Amerika
Serikat, misalnya, sekalipun perbudakan telah dihapuskan bersamaan dengan
berakhirnya perang saudara, diskriminasi tetap berlangsung.
Baru setelah lahirnya
gerakan hak-hak sipil pada tahun 1960an dikeluarkanlah undang-undang
anti-diskriminasi dan kemudian diikuti dengan affirmative action yang
menjamin representasi minoritas dalam lembaga-lembaga publik. Namun demikian,
kesadaran warna kulit masih sering menjadi faktor yang menentukan dalam hubungan
sosial sampai saat ini.
Di negera-negara Arab
sendiri, relasi budak-tuan tidak jarang masih mewarnai hubungan individual,
seperti yang terjadi antara buruh-majikan. Seorang buruh atau pekerja rumah
tangga, misalnya, seringkali dipandang sebagai seorang budak yang tidak
memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan.
Di Indonesia,
praktek-praktek trafficking pada hakekatnya merupakan bentuk rekruitmen
perbudakan dalam bentuknya yang paling konvensional. Seorang dibeli dari orang
lain atau ditangkap kemudian dijual kepada orang lain atau dibebani jenis
pekerjaan tertentu di luar kesepatakan-kesepakatan sebelumnya secara suka rela.
Dengan demikian, sudah
sangat jelas bahwa trafficking merupakan bentuk perbudakan baru yang sangat bertentangan
dengan ajaran Islam tentang kemanusiaan. Karenanya ia menjadi musuh kita
bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar