Salah seorang sahabat yang sejak usia dini telah mendapatkan
perhatian khusus dari Nabi adalah Abdullah bin Abbas. Sahabat Nabi yang
kemudian lebih populer dipanggil Ibnu Abbas ini sangat aktif menimba ilmu dari
Nabi. Tak heran kemudian dalam kitab-kitab hadis banyak ditemukan hadis yang
salah satu sanadnya adalah Ibnu Abbas.
Salah satu hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah sabda
Nabi, "Jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu; jagalah Allah, niscaya
kamu mendapati-Nya bersamamu; jika kamu mempunyai permintaan, mintalah kepada
Allah; jika kamu membutuhkan pertolongan, minta tolonglah kepada Allah.
Ketahuilah, seandainya seluruh manusia bersatu untuk memberi manfaat dengan
sesuatu, mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah
Allah tetapkan untukmu; dan jika mereka bersatu untuk mencelakakanmu dengan
sesuatu, mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah
Allah tetapkan untukmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah
mengering." (At-Turmudzi).
Paling tidak terdapat tiga hal yang dapat dipahami dari hadis Nabi
ini. Pertama, setiap orang yang telah menyatakan iman (mukmin) ia
berkewajiban untuk menjaga Allah. Yang dimaksud menjaga di sini sama sekali
bukan menunjukkan kalau Allah itu membutuhkan penjagaan, karena jika demikian
maka Ia memiliki kelemahan. Dan ini mustahil bagi-Nya. Tetapi yang dimaksud
adalah selalu menjaga keimanan agar tidak terkontaminasi oleh hiruk-pikuk serta
gemerlap kehidupan duniawi. Keimanan dijadikan sebagai satu komitmen hidup.
Sudah tentu wujud dari penjagaan ini adalah dengan bertaqwa, yaitu
selalu taat kepada-Nya dalam hal perintah maupun larangan. Misalnya, Allah
telah memerintahkan untuk menegakkan bahkan memelihara salat bagi setiap
mikmin, "Peliharalah segala salat(mu), dan (peliharalah) salat
wustha." (2:238) Terhadap perintah ini berarti setiap mukmin harus
secara konsisten menjalankan salat dengan khusyuk, mematuhi syarat dan
rukunnya, dan mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dalam
kehidupannya se hari-hari.
Orang yang bersedia dengan ikhlas menjaga Allah ia akan
mendapatkan penjagaan pula dari-Nya. Sudah tentu penjagaan Allah berbeda dengan
penjagaan manusia. Jika penjagaan manusia berupa menjaga konsistensi
(istiqamah) dalam beriman, maka penjagaan Allah adalah dalam bentuk kucuran
rahmat baik di dunia maupun di akhirat kelak, seperti difirmankan-Nya, "Barang
siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik."
(16: 97)
Di samping Allah akan menjaga orang yang mau menjaga-Nya, seperti
disebut dalam hadis di atas, Allah juga akan selalu menyertainya. Penyertaan
ini memang sudah semestinya, sebab orang yang telah menyatakan beriman dan
membuktikan keimanannya dalam bentuk taqwa, ia akan merasa bahwa Allah akan
selalu hadir dan mengawasi segala perilakunya.
Dalam kondisi seperti ini ia tidak akan merasa teramat senang jika
mendapatkan kenikmatan, dan sebaliknya ia tidak akan sangat resah jika
menghadapi kesusahan. Karena ia sepenuhnya sadar bahwa segala yang menimpa
dirinya sudah merupakan pengaturan Allah baginya.
Kedua, setiap mukmin harus sepenuhnya
pasrah (tawakal) kepada Allah. Segala hal yang dihadapi dalam hidupnya
diserahkan kepada-Nya. Sikap ini yang dapat mendorongnya untuk tidak mengajukan
permohonan atau doa, meminta pertolongan, dan lain-lain selain kepada Allah.
Sikap ini tercermin dalam bacaan surat al-Fatihah dalam salatnya, terutama ayat
kelima "Hanya kepada Engkaulah Kami menyembah, dan hanya kepada
Engkaulah kami memohon pertolongan."
Penetapan syar’i bahwa surat al-Fatihah merupakan bacaan wajib
dalam salat (rukun salat), di antaranya tidak lain adalah karena adanya
penekanan penghambaan (ibadah) dan kepasrahan kepada Allah seperti yang termuat
dalam ayat tersebut. Bahkan pernyataan ini dapat dikatakan merupakan inti salat
itu sendiri.
Dan ketiga, setiap mukmin harus menyadari dan meyakini
bahwa Allah telah menentukan garis hidupnya. Dalam istilah ilmu kalam disebut
qada’ dan qadar. Untuk itu, ia akan yakin bahwa tiada musibah dan kesenangan
melainkan atas kehendak Allah. Keyakinan ini kemudian dibuktikan dengan selalu
bersikap optimis dalam hidup dan tidak takut dengan apa pun dan siapa pun
selain Allah.
Seperti ditegaskan oleh Nabi dalam hadis di atas bahwa tidak
seorang pun dapat mengubah garis hidup seseorang. Allah telah menentukan
segalanya. Maka seorang yang beriman sudah tentu ia harus tidak terusik dengan
kondisi senang maupun susah yang dihadapinya. Justru konsentrasi hidupnya hanya
tertuju pada Allah dengan selalu melakukan upaya pendekatan (taqarrub)
kepada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar