Selasa, 06 November 2012

Menjaga Allah

Salah seorang sahabat yang sejak usia dini telah mendapatkan perhatian khusus dari Nabi adalah Abdullah bin Abbas. Sahabat Nabi yang kemudian lebih populer dipanggil Ibnu Abbas ini sangat aktif menimba ilmu dari Nabi. Tak heran kemudian dalam kitab-kitab hadis banyak ditemukan hadis yang salah satu sanadnya adalah Ibnu Abbas.
Salah satu hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah sabda Nabi, "Jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu; jagalah Allah, niscaya kamu mendapati-Nya bersamamu; jika kamu mempunyai permintaan, mintalah kepada Allah; jika kamu membutuhkan pertolongan, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh manusia bersatu untuk memberi manfaat dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu; dan jika mereka bersatu untuk mencelakakanmu dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering." (At-Turmudzi).
Paling tidak terdapat tiga hal yang dapat dipahami dari hadis Nabi ini. Pertama, setiap orang yang telah menyatakan iman (mukmin) ia berkewajiban untuk menjaga Allah. Yang dimaksud menjaga di sini sama sekali bukan menunjukkan kalau Allah itu membutuhkan penjagaan, karena jika demikian maka Ia memiliki kelemahan. Dan ini mustahil bagi-Nya. Tetapi yang dimaksud adalah selalu menjaga keimanan agar tidak terkontaminasi oleh hiruk-pikuk serta gemerlap kehidupan duniawi. Keimanan dijadikan sebagai satu komitmen hidup.
Sudah tentu wujud dari penjagaan ini adalah dengan bertaqwa, yaitu selalu taat kepada-Nya dalam hal perintah maupun larangan. Misalnya, Allah telah memerintahkan untuk menegakkan bahkan memelihara salat bagi setiap mikmin, "Peliharalah segala salat(mu), dan (peliharalah) salat wustha." (2:238) Terhadap perintah ini berarti setiap mukmin harus secara konsisten menjalankan salat dengan khusyuk, mematuhi syarat dan rukunnya, dan mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dalam kehidupannya se hari-hari.
Orang yang bersedia dengan ikhlas menjaga Allah ia akan mendapatkan penjagaan pula dari-Nya. Sudah tentu penjagaan Allah berbeda dengan penjagaan manusia. Jika penjagaan manusia berupa menjaga konsistensi (istiqamah) dalam beriman, maka penjagaan Allah adalah dalam bentuk kucuran rahmat baik di dunia maupun di akhirat kelak, seperti difirmankan-Nya, "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, maka akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." (16: 97)
Di samping Allah akan menjaga orang yang mau menjaga-Nya, seperti disebut dalam hadis di atas, Allah juga akan selalu menyertainya. Penyertaan ini memang sudah semestinya, sebab orang yang telah menyatakan beriman dan membuktikan keimanannya dalam bentuk taqwa, ia akan merasa bahwa Allah akan selalu hadir dan mengawasi segala perilakunya.
Dalam kondisi seperti ini ia tidak akan merasa teramat senang jika mendapatkan kenikmatan, dan sebaliknya ia tidak akan sangat resah jika menghadapi kesusahan. Karena ia sepenuhnya sadar bahwa segala yang menimpa dirinya sudah merupakan pengaturan Allah baginya.
Kedua, setiap mukmin harus sepenuhnya pasrah (tawakal) kepada Allah. Segala hal yang dihadapi dalam hidupnya diserahkan kepada-Nya. Sikap ini yang dapat mendorongnya untuk tidak mengajukan permohonan atau doa, meminta pertolongan, dan lain-lain selain kepada Allah. Sikap ini tercermin dalam bacaan surat al-Fatihah dalam salatnya, terutama ayat kelima "Hanya kepada Engkaulah Kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan."
Penetapan syar’i bahwa surat al-Fatihah merupakan bacaan wajib dalam salat (rukun salat), di antaranya tidak lain adalah karena adanya penekanan penghambaan (ibadah) dan kepasrahan kepada Allah seperti yang termuat dalam ayat tersebut. Bahkan pernyataan ini dapat dikatakan merupakan inti salat itu sendiri.
Dan ketiga, setiap mukmin harus menyadari dan meyakini bahwa Allah telah menentukan garis hidupnya. Dalam istilah ilmu kalam disebut qada’ dan qadar. Untuk itu, ia akan yakin bahwa tiada musibah dan kesenangan melainkan atas kehendak Allah. Keyakinan ini kemudian dibuktikan dengan selalu bersikap optimis dalam hidup dan tidak takut dengan apa pun dan siapa pun selain Allah.
Seperti ditegaskan oleh Nabi dalam hadis di atas bahwa tidak seorang pun dapat mengubah garis hidup seseorang. Allah telah menentukan segalanya. Maka seorang yang beriman sudah tentu ia harus tidak terusik dengan kondisi senang maupun susah yang dihadapinya. Justru konsentrasi hidupnya hanya tertuju pada Allah dengan selalu melakukan upaya pendekatan (taqarrub) kepada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar