Selasa, 20 November 2012

Merayakan Tahun Baru Hijriyah

Sejak kemaren kita telah masuk di tahun baru 1434 menurut penanggalan hijriyah. Sejak itu juga ingatan kita tentang sejarah awal pembentukan masyarakat yang Islami disegarkan kembali. Tepatnya peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah.
Memang pada saat itu penanggalan tahun hijriyah belum dimulai. Malah baru dicanangkan di masa pemerintahan Umar bin Khattab. Itu pun setelah dia disadarkan tentang pentingnya sistem penanggalan oleh surat Abu Musa al-Asy'ari, salah seorang gubenurnya, yang berisi klarifikasi tentang beberapa surat Umar yang diterimanya yang tidak tertera tanggalnya.
Umar kemudian mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah tentang penanggalan Islam. Ada yang mengusulkan menggunakan penanggalan orang Qurthubi dan ada yang lebih memilih penanggalan Romawi. Tentang kapan dimulainya ada yang usul didasarkan pada hari kelahiran Nabi, juga ada yang berpendapat dimulai sejak hijrahnya ke Madinah. Umar berkata, "Hijrah telah membedakan antara yang hak dan yang batil, maka mulailah penanggalan Islam dengannya." Para sahabat kemudian menyetujuinya.
Sedangkan tentang penentuan awal bulan ada yang berpendapat dimulai dengan bulan Ramadan, ada yang lebih memilih bulan Rabiul Awal. Namun, Umar, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib sama-sam mengusulkan agar dimulai dengan bulan Muharram, yaitu bulan setelah bulan Dzulhijjah yang merupakan waktu haji bagi kaum muslimin. Selain itu, bulan Muharram juga merupakan bulan dimana kaum Anshar melakukan baiat kepada Nabi.
Sejak saat itu umat Islam telah memiliki sistem penanggalan tersendiri. Namun tampak ironis di negeri yang pemeluk Islamnya terbesar di dunia ini penanggalan Hijriyah kalah populer dengan penanggalan Masehi. Tetapi ironi ini menjadi maklum karena penanggalan yang dipakai oleh negara adalah penanggalan Masehi. Yang sangat ironis adalah orang Islam sendiri justru tidak mengehatui penanggalan hijriyah, sebab hal ini menunjukkan tercerabutnya dari akar budayanya sendiri.
Kalau para sahabat waktu itu tidak mau menggunakan penanggalan Romawi, Persi, dll., maka kita tidak memilih sikap seperti mereka. Kita tetap menggunakan asal kita tidak menutup mata sama sekali terhadap penanggalan yang kita miliki sendiri.
Adapun terkait dengan peringatan tahun baru hijriyah apalagi dikatkan dengan bulan Muharram (Syuro merunut orang Jawa), banyak sekali tradisi yang berkembang di masyarakat. Ada yang sekedar mengadakan pawai obor dan tabligh akbar. Ada juga yang melakukan ritual-ritual tertentu seperti yang berkembang lestari di daerah Yogyakarta, yaitu larung sesaji, di Surakarta, yaitu arak-arakan kerbau yang bernama Kiai Slamet, di Gunung Lawu ada ritual khusus yang dilakukan oleh sebagian orang di malam tanggal satu Muharram, dll.
Semua tradisi itu sah-sah saja asal setiap orang memami dan dapat memilah secara substantif mana yang Islami dan mana yang hanya sekedar tradisi untuk menyemarakkan sebuah upacara peringatan. Hal ini sangat penting agar jangan sampai semangat melestarikan budaya peringatan justru menjerumuskan pada perilaku syirk.
Berbagai tradisi peringatan yang berkembang tersebut memang tidak bisa lepas dari faktor sejarah keagungan bulan Muharram. Agungnya bulan Muharram itu sendiri karena memiliki satu hari yang sangat istimewa, yaitu hari Asyuro, tepatnya tanggal 10 Dzulhijjah. Keistimewaan hari itu dibuktikan dengan rahmat dan pertolongan Allah yang diberikan kepada orang-orang yang dikasihiNya.
Di antara keistimewaan hari Asyuro adalah pertemuan Nabi Adam dan Hawa' di Jabal Rahmat. Sebelum berada di bumi ini keduanya menetap di surga. Namun setelah keduanya menerjang larangan Allah untuk memakan buah keabadian (khuldi) Allah kemudian menurunkannya ke bumi secara terpisah. Peristiwa ini terus dikenang terutama oleh umat Islam, hingga pada saat musim haji tempat itu banyak dikunjungi para jamaah haji dari seluruh penjuru dunia.
Pada hari itu juga Allah menyelamatkan Nabi Nuh dari bencana banjir bandang yang menenggelamkan seluruh musuhnya, termasuk anaknya sendiri, Kan'an. Allah juga menyelamatkan Nabi Musa dari kejaran Fir'aun dan tentaranya pada hari itu. Karenanya umat Yahudi dan umat Nasrani mengagungkan hari itu. Diriwayatkan bahwa Nabi Nuh melakukan puasa pada hari itu sebagai ungkapan rasa syukurnya kepada Allah atas keselamatan yang diberikan kepadanya. Nabi Musa juga melakukan ritual yang sama untuk mensyukuri kemenangannya atas Fir’aun.
Karenanya umat Yahudi melakukan puasa pada hari itu dan menjadikannya sebagai hari raya. Konon kaum Quraish pada masa jahiliyah juga melakukan puasa pada hari itu, dan mereka menjadikannya sebagai hari keramat, hingga pada hari itu mereka menjalankan tradisi mengganti kiswah Ka'bah.
Begitu istimewanya hari itu, hingga Nabi Muhammad sediri menganjurkan kepada umatnya untuk menghormatinya dengan berpuasa, bukan dengan merayakannya bahkan menjadikannya hari raya. Adapun terkait dengan sejarah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari itu Nabi menganjurkan supaya diambil nilai-nilai ruhaniyahnya.
Sebagai umat Muhammad, kita seharusnya arief dalam menyikapi beragam tradisi perayaan tahun baru, bulan Muharram, dan hari Asyuro yang ada. Jangan sampai semangat besar perayaan justru menjadikan kita lupa terhadap nilai-nilai substansial yang harus kita ambil untuk memperbaiki hidup kita ke depan, baik dalam konteks kehidupan sosial, keberagamaan, mapun sebagai hamba Allah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar