Dalam
pemikiran hermeneutik Wilhem Dilthey terdapat dua prinsip, yang sekaligus
menjadi keyword bagi
pandangan-pandangannya, yaitu emphaty
dan reliving. Disposisi yang kemudian
menjadi metode berpikir ala “romantisisme” ini, bagi Emilio Betti, tidak cukuk
memuaskan, bahkan dianggap tidak cukup mampu secara tegas “membedah” objek
(teks). Untuk itu, ia berupaya merumuskan pemikirannya dari hal-hal yang belum
disentuh oleh Dilthey. Ia menjadikan dirinya sebagai residu Dilthey.
Bagi
Betti, untuk bisa sampai pada “mengerti” seseorang harus terlebih dahulu mampu
menjernihkan persoalan. Setiap detail proses interpretasi mesti diteliti,
termasuk metodologi yang dirumuskan untuk menentukan seberapa jauh kemungkinan
pengaruh eksternal (subjek) terhadap objek interpretasi. Sebab satu-satunya
medium bagi upaya untuk “mengerti” adalah interpretasi. Makna tidak didapatkan
dari penyimpulan atas interpretasi, melainkan diderivasi melalui mata-rantai
yang menghubungkan peristiwa sejarah.
Dengan
demikian, seorang penafsir (intepretor)
harus sanggup secara aktif merekonstruksi makna yang didapat dari kronik
intelektualitasnya, pengalaman masa lalu, dan latarbelakang kebudayaan dan
sejarah yang dimiliki. Proses interpretasi berarti lebih sebagai upaya
“menemukan” (to discover), bukan
“menciptakan” (to invent),
sebagaimana kecenderungan dekonstruski. Peran penafsir tidak lebih dari
memaknai ulang sebuah “peristiwa bahasa” dari temuan-temuan yang dihasilkan
lewat sebuah proses penelusuran. Sebab tidak ada arbitrary acts yang dipaksakan untuk memaknai sebuah peristiwa
tertentu (termasuk teks), karena memang makna hanya bisa diderivasi.
Betti menghendaki –seperti yang dirumuskan
dalam keempat kanonnya— dalam “mengolah” teks mesti digunakan sebuah metode
tertentu. Untuk itu, ia memformulasikan konsep verstehen, yang menurut Bleicher, didasarkan pada asumsi: bagaimana
proses interpretasi diskemakan untuk menghadapi problema memahami. Interpretor, pada dasarnya, telah memiliki
konsep untuk menilai dan memaknai gagasan yang akan ditransmisikan pada publik.
Ketika ia berhadapan dengan teks, ia telah memiliki struktur pemahaman (pre-understanding) dalam benaknya
mengenai objek tersebut. Oleh karenya, konsep verstehen ini dapat dioperasikan dalam menginternalisasi stimulus
dan respons, dan mengaplikasikan apa yang disebut sebagai behavior maxims. Metode ini kerap kali digunakan dalam menganalisis
ilmu-ilmu sosial, tetapi menurut Betti, realitas sosial juga bisa dipahami
sebagai “teks” yang mesti diuraikan intensi yang ada di balik realitas
tersebut.
Tugas penafsir sebenarnya adalah menemukan
intensi makna di balik manifestasi pemikiran pengarang serta gaya pemikiran
yang khas yang tersembunyi di balik teks. Di samping bahwa setiap orang memang
memiliki “cara baca” tertentu dalam memahami teks, yang melatari proses
berikutnya. Karena penafsir tidak bisa secara pasif menerima makna yang telah
ada sebelumnya, tetapi harus melakukan eksplorasi sampai mendapatkan intensi
makna yang dikehendakinya. Ia juga yang harus menemukan kebutuhan
prosedur-prosedurnya.
Penafsir juga harus memahami dan
merekonstruksi makna dalam teks dengan bantuan intuisi dan kekuatan refleksi.
Karena dalam melakukan tafsir, seseorang telah dikuasai oleh beragam postulasi
yang disebuat Vorverständnis (pre-understanding) sebagai bagian tak
terpisahkan dari pemikiran seseorang, yang bisa digunakan sebagai pijakan awal
dalam memahami. Vorverständnis ini
sangat penting untuk menghindarkan diri dari kesalahpahaman yang seringkali
disebabkan tidak adanya asumsi awal mengenai fokus pemikiran tertentu. Tetapi,
asumsi awal juga tidak menjamin pengetahuan subjek dan objek secara distinktif,
karena ia –termasuk faktor kesejarahan– terkadang hanya berupa sebuah ilusi
yang dilegitimasi.
Konkritnya, Betti menyebutkan alur
penafsiran sebagai upaya menafsirkan dasar-dasar yang mengandung materi-pokok
(gagasan) baik yang secara langsung diekspresikan atau tidak. Gagasan itu
sangat mungkin bersamaan waktunya dengan intensi teks, atau ia lahir secara
bersamaan dengan munculnya teks. Dengan demikian dapat dihindarkan
kesalahpahaman dalam membidik substansi persoalan hermeneutika, yaitu pada
wilayah-wilayah yang sebenarnya berada di luar konteks penafsiran. Seringkali,
terdapat ambigu pada persoalan ini, yaitu pada ketidaktepatan menentukan di
mana mainstream gagasan utama dan
mana gagasan sekunder. Hal ini juga berimplikasi pada ketidaktepatan
metodologis yang dipergunakan untuk “mengolah” teks tersebut.
Betti membagi proses interpretasi ke dalam
empat tahapan di mana masing-masing tahapan merepresentasikan bentuk pendekatan
intelektual yang berbeda-beda: (1) filologi, yang berguna dalam memahami
simbol-simbol yang memiliki makna permanen, (2) kritik, untuk menguji apakah
teks memenuhi prinsip logika; pendekatan ini setidaknya akan membuktikan
orisinalitas dan autentisitas beragam elemen teks, (3) psikologi, menjadi
penting dalam memahami posisi pengarang supaya proses penghadiran kembali teks
lebih faktual dan kontekstual, (4) teknik-morfologi, yang mengantarkan pada
pemahaman komprehensif tentang makna objek dalam kaitannya dengan logika
pengalaman manusia.
Tulisan
ini akan mencoba menuangkan beberapa hal yang menjadi keyword bagi eksplanasi pemikiran Betti, yaitu (1) otonomi objek;
(2) totalitas dan koherensi makna (totality
and coherence of the meaning), yang membidik interkoneksi the parts within the whole; (3) actuality of understanding, sebuah
konsep yang lebih memberikan intensi pada genesis
of thought; dan (4) korespondensi makna (kecukupan-makna dalam memahami).
Pertama, otonomi objek
(teks). Sejak awal suatu teks sudah merupakan suatu konsep yang bermakna (meaning-full forms), mengingat ia telah
diobjektifikasi dan dimanifestasi oleh beragam pengarang (author), sehingga ia memiliki personality,
karena sejak semula ia telah mengandung beragam manifestasi pemikiran. Untuk
itu, bagi kritikus (interpretor),
dalam memahami teks tersebut harus mereferensi pada pluralitas konsep yang
telah berada di dalam struktur pikiran.
Kritikus
harus menggunakan referensi manifestasi-manfestasi pemikiran tersebut dalam memaknai teks, sebelum kemudian
diaplikasikan dalam konteks kesejarahan yang sama sekali baru, terlepas bahwa
ada “subjek” yang terlebih dulu membuat “pemaknaan” lewat sebuah proses kreatifnya
sendiri. Jadi upaya interpretasi yang dilakukan hanya berupa penghadiran
kembali meaning-full objek yang telah
terdistorsi, kemudian direkonstruksi menjadi makna yang tetap faktual sesuai
dengan perkembangan sejarah kemanusiaan.
Oleh
karena itu, para hermeneut melukiskan kanon ini sebagai sensus non est inferendus sed efferendus; makna harus dideterminasi
di dalam meaning-full dengan cara
menderivasinya, tidak sebagai sebuah kesimpulan yang didapatkan melalui penalaran
yang serampangan dan di “bawah tangan”.
Otonomi teks sastra. Jika objek mesti otonom, maka teks
sastra pun bisa otonom, terutama dari kecenderungan pemasungan makna tertentu. The author yang konon harus diselami
sisi kehidupan dan dirasakan keinginan-keinginannya (sebagaimana dalam perspektif
Dilthey) sebenarnya telah melemparkan teks dalam wacana publik. Karena teks
tersebut, by nature, telah melengkapi
dirinya dengan konsep-konsep yang bermakna yang mesti ditemukan oleh penafsir.
Toshihiku Izutsu pernah mengemukakan betapa otonomi teks (entah dia berangkat
dari kanon ini atau tidak) melahirkan dinamika organik, dari sekedar makna
sederhana, basic meaning,
berakselerasi membentuk makna-makna yang lain dengan berelasi dengan teks lain.
Kedua, totalitas dan
koherensi makna (totality and coherence
of the meaning), yang membidik interkoneksi the parts within the whole. Kanon ini meneguhkan adanya
inter-relasi dan koherensi di antara elemen-elemen individual objek tertentu,
tentu dengan melibatkan serangkaian manifestasi pemikiran, serta hubungan
timbal-balik the whole dan its parts. Jelasnya, ini adalah hubungan
elemen-elemen antara teks itu sendiri dengan common whole-nya yang kelak melahirkan reciprocal illmunation (iluminasi timbal balik) dan uraian tentang
konsep-konsep meaning-full dalam keterkaitan
antara the whole dan its parts.
Dari sini, setiap aksi dari
kehidupan the author, bisa dipahami
melalui konteks makna yang telah diturunkannya dan bagaimana makna tersebut
melakukan interkoneksi dengan faktor-faktor eksternal. Oleh karena itu,
memahami teks haruslah melibatkan koherensi di mana konteks makna berhasil
ditemukan lewat persentuhan sinergis elemen-elemen teks. Dan penafsir, dalam
perspektif ini, harus menemukan relasi organik tersebut sebagai konsideran bagi
kesimpulannya dalam memahami teks.
Korelasi
Teks sastra.
Teks sastra tidak bisa dipahami secara sepenggal. Teks itu memiliki konteks
yang memberikan gambaran bagaimana harusnya teks dipahami. Dalam tradisi kritik
sastra, terdapat kajian tentang korelasi teks yang mengetengahkan bagaimana
antara satu teks dengan yang lain saling berhubungan sehingga membentuk world-view yang ingin diaktualisasikan
oleh pengarang. Dalam tataran ini seorang kritikus harus bisa membedah satu
teks yang ada pada tempat dan konteks yang berlainan. Kata “revolusi” misalnya,
seringkali digunakan oleh Pramudya Ananta Toer dalam novelnya, tentu saja dalam
konteks yang berlainan. Tetapi ketika diungkap, dapat ditemukan sebuah
koherensi makna yang menjadi world-view
-nya. Artinya, dalam kondisi apapun Pram menghendaki ditegakkannya “revolusi”
di negeri ini.
Ketiga, actuality of understanding, sebuah
konsep yang lebih memberikan intensi pada genesis
of thought. Betti menggambarkannya sebagai situasi kemasakinian. Tugas
penafsir yang terpenting adalah menyelidiki proses kreatif ketika teks ditulis
(atau diucapkan), merekonstruksi dan menerjemahkannya kembali tanpa mengesankan
bahwa teks tesebut merupakan bagian dari masa lalu. Dalam hal ini diperlukan
sebuah adaptasi yang kira-kira bisa mengintegrasikan penafsiran ke dalam
horizon intelektual masa kini.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa
sebenarnya subjek telah mengantisipasi perkembangan makna objek, sehingga ia
tidak melampaui batas yang dikehendaki subjek. Sebab hal ini dapat membedakan
secara tegas proyeksi makna yang dikehendaki oleh subjek, dan kemampuan untuk
mengembangkan makna yang secara otonom dimiliki oleh objek. Dari hubungan
inter-koneksi ini lahir sintesis pemikiran yang melahirkan makna baru.
Aktualitas
Teks.
Dalam tradisi kritik sastra sering ditemukan ungkapan “bacalah teks sastra
seakan-akan ia ditulis untukmu”. Yang dimaksud adalah, kritikus dituntut untuk
memberikan makna yang kontekstual terhadap karya yang dibedahnya. Misalnya,
tentang “kawin paksa” dalam novelnya Marah Rusli, Sutan Noer Iskandar, atau
Sutan Taksir Ali Syahbana, menjadi tidak aktual jika ditafsirkan sesuai dengan
kontek budaya Sumatera Barat pada saat itu, sehingga makna itu dapat
diaktualisasikan dalam bentuk “kawin paksa” yang terjadi pada era kontemporer.
Keempat, korespondensi
makna (kecukupan makna dalam memahami). Pemahaman saja, tidak cukup mampu untuk
membangun komunikasi. Justru diperlukan intellectual
open-mindedness yang menjadikan seorang penafsir mampu menempati posisi
penting dalam proses “memahami”. Jadi penafsir lebih menitikberatkan pada
subjek, dibanding objek. Dengan demikian, seorang penafsir harus berusaha
membawa lively actuality-nya ke dalam
sebuah “harmoni tertutup” dengan rangsangan yang diterimanya dari objek yang
meneguhkan bahwa the one dan the other terpaku pada sebuah harmoni.
Ini bisa jadi merupakan refleksi pribadi, yang biasa didapati dalam penafsiran
sejarah.
Psikologi
pengarang.
Mungkin istilah ini kurang tepat, karena sebenarnya ia merupakan bagian dari
tradisi kritik seni yang menitikberatkan pada pengarang (subjek), yang kemudian
dikembangkan dalam tradisi kritik sastra, khususnya psikologi sastra.
Menafsirkan teks berdasar pada psikologi pengarang ini dapat diawali melalui
“memahami” proses penulisan karya, karena setiap pengarang selalu melibatkan
emosinya (kegelisahan, penderitaan, kegembiraan, dll.) baik sebagai tema karya
maupun sebagai motivasi. Tommy F. Awuy menegaskan bahwa puisi (sastra)
mengandung makna pribadional, karena setiap penyair memiliki pikiran dan
ungkapan tentang realitas. Hal ini senada dengan Roekhan yang menegaskan bahwa
sastra itu merupakan hasil kreatifitas pengarang yang menggunakan media bahasa,
yang dilahirkan dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah lama ada
dalam jiwanya dan telah mengalami proses pengolahan jiwa secara mendalam
melalui proses berimajinasi. Puisi “mabuk anggur” misalnya, dapat dianalisis
kekuatan maknanya melalui biografi pengarangnya, Abu Nuwas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar