Hari raya
yang diperingati umat Islam saat ini adalah Idul Adha. Dikatakan Idul Adha
karena pelaksanaannya tepat pada waktu dhuha (saat matahari naik). Karenanya
hewan yang disembelih dalam istilah fikih disebut udhiyah, yaitu hewan kambing,
sapi, dan unta yang disembelih di waktu dhuha pada hari raya Idul Adha dan
hari-hari tasriq untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hari itu
juga ada yang menyebut Idul Qurban. Sebutan ini mengacu pada inti ibadah saat
itu, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Dalam Bahasa Arab upaya mendekatkan
ini disebut qurban.
Alih-alih
qurban merupakan salah satu upaya mendekatkan diri kepada Allah melalui media menyembelih
hewan kurban sebagai persembahan kepada Allah.
Mempersembahkan qurban
kepada Tuhan adalah keyakinan yang dikenal manusia sejak lama. Dalam kisah Qabil
dan Habil yang disitir Alquran dituturkan oleh Imam al-Qurtubi bahwa
saudara kembar perempuan Qabil yang lahir bersamanya bernama Iqlimiya sangat
cantik, sedangkan saudara kembar perempuan Habil bernama Layudza tidak begitu
cantik.
Dalam ajaran nabi
Adam dianjurkan mengawinkan saudara kandung perempuan mendapatkan saudara laki-laki.
Maka timbul rasa dengki di hati Qabil terhadap Habil, sehingga ia menolak untuk
melakukan pernikahan itu dan berharap bisa menikahi saudari kembarnya yang
cantik.
Lalu mereka sepakat
untuk mempersembahkan qurban kepada Allah, siapa yang diterima qurbannya itulah
yang akan diambil pendapatnya dan dialah yang benar di sisi Allah. Qabil
mempersembahkan seikat buah-buahan dan Habil mempersembahkan seekor domba, lalu
Allah menerima qurban Habil.
Qurban ini juga
dikenal oleh umat Yahudi untuk membuktikan kebenaran seorang nabi yang diutus
kepada mereka, sehingga tradisi itu dihapuskan melalui perkataan nabi Isa bin
Maryam.
Tradisi keagamaan dalam
sejarah peradaban manusia yang beragam juga mengenal persembahan kepada Tuhan
ini, baik berupa sembelihan hewan hingga manusia. Mungkin kisah nabi Ibrahim
yang diperintahkan menyembelih anaknya adalah salah satu dari tradisi tersebut.
Kisah itu seperti terekam dalam Alquran surat al-Shaf (37) ayat 102-107.
Sesudah nyata
kesabaran dan ketaatan Ibrahim dan Ismail, maka Allah melarang menyembelih
Ismail dan untuk meneruskan qurban, Allah menggantinya dengan seekor kambing.
Peristiwa ini menjadi dasar disyariatkannya qurban di dalam Islam.
Persembahan suci
dengan menyembelih atau mengorbankan manusia juga dikenal peradaban Arab
sebelum Islam. Disebutkan bahwa Abdul Mutalib, kakek Rasululluah, pernah
bernadzar kalau diberi karunia 10 anak laki-laki maka akan menyembelih satu
sebagai qurban.
Dalam undian
keluarlah nama Abdullah, ayah Rasulullah. Tetapi kaum Quraisy yang mendengar
rencana Abdul Mutalib itu melarang keras dengan alasan agar tidak diikuti oleh generasi
setelah mereka. Abdul Mutalib kemudian sepakat untuk menebus nadharnya dengan
100 ekor unta.
Karena kisah ini
pernah suatu hari seorang badui memanggil Rasulullah “Hai anak dua orang
sembelihan.” Beliau pun hanya tersenyum. Dua orang sembelihan yang dimaksud adalah
Ismail dan Abdullah bin Abdul Mutalib.
Persembahan manusia
ini dikenal oleh tradisi agama pada masa Mesir kuno, India, Cina, Irak
dan lainnya. Kaum Yahudi juga mengenal qurban manusia hingga Masa Perpecahan.
Kemudian lama-kelamaan qurban manusia diganti dengan qurban hewan atau barang
berharga lainnya.
Dalam sejarah Yahudi,
mereka mengganti qurban dari menusia menjadi sebagian anggota tubuh manusia,
yaitu dengan hitan. Kitab injil penuh dengan cerita qurban. Penyaliban Isa
menurut umat Nasrani merupakan salah satu qurban teragung. Umat Katolik juga
mengenal qurban hingga sekarang berupa kepingan tepung suci. Pada masa jahiliyah
Arab, kaum Arab mempersembahkan lembu dan unta ke Ka’bah sebagai qurban untuk
Tuhan mereka.
Ketika Islam turun
diluruskanlah tradisi tersebut dengan ayat “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan
bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya, dan
binatang-binatang qalaaid, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya
dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.”
(QS 5:2).
Islam mengakui konsep
persembahan kepada Allah berupa penyembelihan hewan, namun diatur sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan bersih dari unsur
penyekutuan terhadap Allah. Islam memasukkan dua nilai penting dalam ibadah
qurban ini, yaitu nilai historis berupa mengabadikan kejadian penggantian
qurban nabi Ibrahim dengan seekor domba dan nilai kemanusiaan berupa pemberian
makan dan membantu fakir miskin pada saat hari raya.
Dalam hadis riwayat
Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi dari Zaid bin Arqam, suatu hari Rasulullah
ditanyai, “Untuk apa sembelihan ini?” Belian menjawab, “Ini sunah (tradisi)
ayah kalian nabi Ibrahim.” Lalu sahabat bertanya, “Apa manfaatnya bagi kami?” Beliau
menjawab, “Setiap rambut qurban itu membawa kebaikan.” Sahabat bertanya,
“Apakah kulitnya?” Beliau menjawab, “Setiap rambut dari kulit itu menjadi
kebaikan.” Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar