Jumat, 04 November 2011

Qurban Humanis


Qurban dalam bahasa Arab artinya dekat. Arti dekat ini menjadi keyword pengertian ibadah qurban, yaitu menyembelih hewan tertentu sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.  Ibadah qurban juga disebut udlhiyah, yaitu hewan yang disembelih  sebagai qurban. Perbedaan kedua istilah tersebut adalah, yang pertama lebih menekankan pada manusia yang melakukan ibadah qurban, sedang yang kedua pada menyembelih hewan yang menjadi bentuk ibadah.
Dasar ibadah qurban adalah firman Allah dalam surat al-Kautsar ayat 2: Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.” Perintah dalam ayat tersebut tidak mengindikasikan sebagai sebuah kewajiban. Karenanya, mayoritas ulama memberi ketetapan hukum ibadah qurban dengan sunnah muakkadah (sunat yang dikuatkan), bukan wajib.
Imam Syafi'i misalnya, menyatakan hukum qurban adalah sunnah secara personal dan atau sekeluarga. Setiap orang disunnahkan sekali dalam seumur dan  sunnah kifayah bagi sebuah keluarga besar, dimana kesunnahan ini terpenuhi bila salah satu anggota keluarga tersebut telah melaksanakannya.
Pendapat ini didasarkan pada riwayat Umi Salamah: Nabi bersabda, “Bila kalian  melihat hilal Dzul Hijjah dan kalian menginginkan menjalankan ibadah  qurban, maka janganlah memotong bulu dan kuku hewan yang hendak  disembelih.” (H.R. Muslim). Kata “menginginkan” memberi pengertian tidak adanya kewajiban.
Hanya Imam Hanafi yang memberi ketetapan hukum wajib. Dia mendasarkan pendapatnya pada hadis “Siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban, maka jangan dekati tempat shalat kami.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Hakim). Larangan Nabi untuk mendekati tempat shalat ini, menurutnya, menjadi petunjuk kuatnya perintah berqurban, sehingga hukum yang tepat adalah wajib.
Lepas dari perbedaan pendapat tersebut, ibadah qurban memiliki hikmah dan manfaat yang sangat besar bagi umat Islam, baik secara sosial maupun individu. Secara sosial ibadah qurban di samping dapat menjadi perekat masyarakat dengan membagikan daging qurban kepada kaum fakir miskin, juga dapat mendatangkan keuntungan ekonomi terutama bagi para peternak.
Secara individu penghayatan terhadap ibadah qurban dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan kepasrahan, kesabaran dan keikhlasan, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Ibrahim dan puteranya, Ismail. Qurban dalam Islam memang merupakan wujud kepasrahan total, pengabdian dan kesalehan hamba kepada Tuhan.
Simbolisasi kepasrahan dengan menyembelih hewan qurban bukan didasarkan pada mitos, melainkan sebagai bentuk pelestarian tradisi yang telah diletakkan oleh Nabi. Hal ini berbeda dengan tradisi pengorbanan yang ada pada agama-agama Kuna yang hanya didasarkan pada mitos, seperti di Yunani, Mesir, India dan “agama Maya” di Meksiko. Bahkan bentuk tradisinya juga sangat naïf, seperti meninggalkan bayi sendirian di atas bukit atau melemparkan seorang gadis suci ke sebuah sungai yang dianggap keramat, dll.
Simbolisasi kepasrahan dengan menyembelih hewan qurban memiliki dua dimensi yang berjalan secara bersamaan, yaitu dimensi ilahiyah (hahbl min Allah) dan dimensi insaniyah (habl min al-nas). Tegasnya, selain kepasrahan, kurban juga harus membawa manfaat bagi manusia (sosial).
Jika ditelurusi lebih jauh, tradisi qurban sebenarnya sudah ada masa Nabi Adam dan Hawa. Adam memerintahkan keduanya puteranya yang tengah berseteru, Qabil dan Habil, untuk berkurban. Bagi yang diterima, dia berhak mempersunting Iqlima, saudari kandung Qabil. Rinngkasnya, qurban Habil diterima dan tidak dengan kurban Qabil. Hal ini karena qurban Qabil tidak didasari ketakwaan pada Tuhan. Berbeda dengan Habil yang berqurban dengan ketakwaan dan kepasrahan total, serta dengan memilih domba yang baik.
Qurban Habil adalah contoh yang paling awal qurban yang berdimensi vertikal han horizontal. Sama halnya dengan qurban Ibharim. Dimensi vertikal kedua qurban tersebut sudah cukup jelas. Adapun manfaat secara horizontal qurban Habil adalah dia mendapatkan Iqlima sebagaimana kehendak ayahnya, Adam. Dan manfaat qurban Ibrahim adalah lestarinya tauhid yang didakwahkan secara turun-temurun oleh anak cucunya.
Memang kasusu qurban Ibrahim agak berbeda karena perintahnya adalah menyembelih Ismail. Namun pada pelaksanaannya Allah menggantinya dengan seekor domba. Perinstiwa tersebut di satu sisi merupakan bentuk unjuk kekuasaan Allah dan di sisi lain merupakan peringatan keras Allah kepada seluruh manusia bahwa segala bentuk qurban dengan mengorbankan nyawa manusia adalah salah besar.
Melalui peristriwa atraktif yang dialami Ibrahim dan Ismail tersebut Allah meletakkan dasar qurban yang humanis, qurban yang tidak hanya berhubungan denganNya tetapi juga yang membawa manfaat bagi manusia. Qurban yang menjadikan nyawa manusia memiliki manfaat bagi yang lain, bukan malah membinasan manusia dengan mencabut nyawanya atas nama Tuhan.
Dengan demikian, semangat berkorban yang dapat diambil dari tradisi qurban adalah semangat berbagi dan saling tolong-menolong dengan didasari nilai-nilai ketuhanan. Bukan mengorbankan nyawa atas nama Tuhan, seperti bom bunuh diri, yang pada kenyataanya malah meresahkan masyarakat. Wallahu a'lam bi al-shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar