Watak
keberagamaan yang tercermin dalam sensitivitas dan empati terhadap penderitaan
kaum lemah (mustadl’afin), menurut Asghar Ali Enginner, merupakan salah
satu problem mendasar keimanan. Problem ini jika diajukan kepada Islam maka akan
ditemukan solusinya, yaitu bangunan Islam pembebas seperti terkandung dalam
al-Qur’an dan rentang sejarah Nabi.
Kedua sumber
utama Islam itu memang telah memberi dasar kuat tentang keberpihakan teologis
kepada kaum lemah. Keduanya telah mengajarkan tentang menyantuni anak yatim,
menegakkan keadilan, menekankan agar kapital tidak hanya berputar di segelintir
orang, dan mengangkat martabat perempuan setara dengan laki-laki.
Dalam
bukunya, Islam and Liberation Theology (1990), Asghar kemudian
merumuskan teologi pembebasan yang tetap merujuk pada kedua sumber utama Islam
tersebut. Konstruksi teologi yang dibangun Asghar berbeda dengan teologi klasik
(ilmu kalam) yang sempat berkembang pesat pada abad ke-2 H. Teologi klasik itu
masih berkutat pada wacana metafisik-transendental yang abstrak. Sementara teologi
yang dikehendaki Asghar adalah bersifat konkret, aplikatif, dan berpijak pada
persoalan kemanusiaan kontekstual.
Perbedaan
lain dengan teologi klasik adalah kecenderungannya sebagai penopang ideologi kekuasaan,
teologi pembebasan Asghar justru meneguhkan keberpihakannya kepada kaum
mustadl’afin untuk membebaskannya dari segala bentuk tirani dan penindasan.
Sumber utama
teologi pembebasan Asghar adalah al-Qu’ran dan sejarah Nabi. Namun dia tidak
mau terjebak pada wacana tekstual semata, dia lebih menekankan pada aspek
praksis dengan mengkombinasikan antara refleksi dan aksi, iman dan amal.
Meminjam istilah Amin Abdullah, Asghar menjadikan normativitas dan historisitas
Islam sebagai pertimbangan utuh dalam membangun konsepsi teologinya.
Hal ini
tergambar jelas misalnya pada konsep Asghar tentang takdir. Dia tidak melihat
takdir hanya sebagai konsep metafisik, tetapi dia juga memahami bahwa manusia
memiliki kebebasan untuk menentukan takdirnya sendiri. Penelitiannya tentang
sejarah panjang kehidupan manusia membuktikan pemahaman itu, terutama mengenai
relasi antara kaum mustakbirin (orang-orang yang kuat dan sombong) dan kaum
mustadh’afin (orang-orang yang lemah dan tertindas).
Asghar mendapati
dalam hubungan itu kaum mustadh’afin selalu terkalahkan. Dan di dalam spasio
temporal yang berbeda-beda selalu ada orang-orang dalam agama-agama tertentu
yang menyuarakan pembebasan bagi mereka. Tegasnya, manusia sendirilah yang
menentukan penindasan terhadap manusia yang lain. Karenanya manusia juga yang
seharusnya membebaskan belenggu penindasan tersebut.
Salah satu
komunitas yang masuk dalam kategori tertindas adalah kaum perempuan. Asghar
memberikan perhatian khusus pada persoalan ini dengan menulis buku yang diberi
judul The Rights of Women in Islam (1992). Dalam buku ini, dia
membuktikan bahwa Islam menjunjung tinggi martabat perempuan. Dia kemudian
mengkonstruksi tafsir al-Qur’an khusus mengenai ayat-ayat tentang perempuan.
Asghar
menganalisis beberapa ayat yang oleh banyak kalangan dianggap mendiskreditkan
perempuan, seperti an-Nisa/4:3 tentang poligami, an-Nisa/4:11 tentang hak waris
bagi perempuan, al-Baqarah/2:282 tentang kesaksian perempuan, an-Nisa/4:34
tentang larangan kepemimpinan perempuan dan legalitas bagi suami untuk memukul
istrinya yang nusyuz.
Ayat-ayat
tersebut sering diajukan oleh para orientalis sebagai bukti normatif
ketidakadilan Islam terhadap perempuan. Di sisi lain kaum muslimah sendiri
sering menanggapinya secara dilematis antara menerimanya sebagai suatu konsep
keadilan Islam bagi perempuan dan meragukannya karena pada kenyataannya secara
manusiawi telah mengusik rasa keadilan bagi mereka.
Dileman ini,
menurut Asghar, merupakan akibat dari cara baca yang tidak fair terhadap
ayat-ayat al-Qur’an, yaitu cenderung mengambil pesan normatifnya dan
mengabaikan spirit yang menjadi latar sosiologis munculnya pesan tersebut. Dia
kemudian mengajukan metodologi tafsir untuk mendapatkan pemahaman yang
komprehenship, yaitu dengan memilah antara ayat normatif dan ayat kontekstual.
Yang
dimaksud ayat normatif adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pesan normatif atau
mengandung nilai universal sehingga merupakan sesuatu yang seharusnya (das
solen) dan berlaku sepanjang masa. Sedang ayat kontekstual adalah adalah
ayat-ayat yang mengungkapkan pesan kontekstual atau sangat berkait dengan
konteks masyarakat pada saat ayat tersebut diturunkan. Ayat kontekstual
biasanya menguraikan tentang kenyataan sosial atau apa yang terbaik saat
turunnya ayat tersebut (das sein).
Urgensi
pemilahan ini adalah untuk memudahkan pembedaan antara apa yang sebenarnya
dikehendaki oleh Allah dan realitas sosial yang dibangun oleh masyarakat pada
saat turunnya ayat. Sebab al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang masyarakat
ideal, tetapi ada fakta empiris-sosial yang dipertimbangkan. Dengan
pertimbangan ini al-Qur’an dapat diterima oleh masyarakat dalam konteks sosial
tertentu di mana al-Qur’an diturunkan, di samping norma-norma universal yang
terkandung di dalamnya dapat dijadikan referensi untuk diberlakukan pada suatu
masa ketika realitas masyarakat lebih kondusif.
Yang
dimaksud Asghar dengan ayat-ayat normatif adalah seperti ayat tentang prinsip
persamaan, keadilan dan kesetaraan. Ayat-ayat yang memuat norma atau prinsip
dasar al-Qur’an kaitannya dengan persoalan kesetaraan gender, seperti
an-Nisa/4:1 tentang penciptaan manusia dari esensi yang sama, al-Isra’/17:70
tentang pemuliaan anak-anak Adam, dan al-Ahzab/33:35 tentang pahala yang sama
bagi laki-laki atau perempuan yang bertakwa, bagi Asghar, merepresentasikan
revolusi besar dalam pemikiran egalitarianisme dan sekaligus simbol deklarasi
kesatuan manusia dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Sedangkan ayat-ayat
kontekstual adalah seperti ayat tentang poligami, hak waris perempuan,
kesaksian perempuan, larangan kepemimpinan perempuan, dan legalitas bagi suami
untuk memukul istrinya yang nusyuz seperti yang telah disebut di atas. Pertama,
ayat tentang poligami (an-Nisa/4:3). Diperbolehkannya poligami pada masa Nabi
karena pada saat itu poligami merupakan jalan terbaik untuk mengangkat martabat
perempuan. Ayat itu erat kaitannya dengan budaya masyarakat Arab pra Islam yang
tidak membatasi jumlah perempuan yang diperistri. Anggota suku Quraisy saja
pada umumnya mempunyai istri 10 orang. Batasan hanya beristri empat orang
seperti yang tercantum di dalam ayat tersebut merupakan langkah yang
revolusioner.
Di samping
itu, praktik poligami pada masa Nabi juga tidak terlepas dari peperangan yang
berkelanjutan, yang berakibat pada banyaknya janda dan anak yatim dalam
komunitas muslim. Namun demikian, diperbolehkannya poligami itu dengan catatan
dapat berbuat adil terhadap perempuan. Dengan demikian, dibolehkannya poligami
harus mempertimbangkan secara ketat situasi dan kondisi yang ada, sehingga
meski situasi dan kondisi membolehkan poligami, lelaki tetap dituntut untuk
monogami jika tidak mampu berbuat adil.
Menurut
Asghar, ajaran normatif ayat tersebut adalah monogami. Sedangankan poligami
merupakan ajaran kontekstual. Namun sangat disayangkan yang terjadi malah
memahami ajaran kontekstual ini sebagai ajaran normatif yang berlaku sepanjang
masa dan dalam situasi apa pun. Padahal saat ini alasan poligami sebagai cara mengangkat
martabat perempuan menjadi tanda tanya besar.
Kedua, ayat
tentang hak waris perempuan yang mendapat setengah dari bagian lelaki (an-Nisa/4:11).
Secara kontekstual ayat ini juga merupakan upaya mengangkat martabat perempuan.
Pada masa pra-Islam, perempuan tidak mempunyai hak untuk mewarisi baik kekayaan
ayah, suami maupun kerabatnya yang lain. Kebanyakan dari mereka malah
diperlakukan sebagai bagian dari harta yang diwariskan. Tegasnya, pemberian hak
waris kepada perempuan merupakan suatu gerakan revolusioner. Apalagi di dalam
ayat yang lain juga disebutkan bahwa perempuan berhak memiliki sesuatu,
sehingga perempuan tidak lagi diwariskan tetapi justru berhak menerima warisan
dan bahkan bisa mewariskan hartanya.
Ketiga, ayat
tentang kesaksian perempuan separuh dari laki-laki
(al-Baqarah/2:282). Kesaksian yang maksud dalam ayat ini hanya pada persoalan transaksi
keuangan, bukan yang lain. Asghar berpandangan bahwa ayat itu sebenarnya tidak mereduksi kesaksian perempuan menjadi
separuh dari laki-laki. Tetapi pada saat seorang perempuan akan
memberikan kesaksian dia harus didampingi oleh seorang perempuan lain.
Keharusan
ini mempertimbangakan kenyataan bahwa secara umum perempuan pada saat ayat itu diturunkan
kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman soal keuangan. Wajar, karena pada saat itu perempuan memang tidak banyak mengambil bagian
dalam bisnis, sehingga mereka tidak mampu memahami perihal transaksi bisnis dan
keuangan. Karenanya dua perempuan diharuskan sebagai pengganti satu laki-laki.
Penetapan
ini tidak merefleksikan apapun terhadap moral dan intelektual perempuan sehingga
menjadi inferior. Dengan demikian, semangat al-Qur’an pada dasarnya adalah
penyetaraan, tetapi karena kearifan al-Qur’an, di mana para perempuan pada
umumnya saat itu kurang memahami urusan bisnis dan keuangan, sehingga
memutuskan agar didampingi oleh perempuan lain. Hal ini merupakan konsekuensi
logis dari akses bisnis dan keuangan saat itu yang masih dikuasai oleh
laki-laki.
Keempat, ayat tentang
larangan kepemimpinan perempuan dan dibolehkannya suami memukul istri yang
sedang nusyuz (an-Nisa’/4:34). Kata kunci yang sering dipahami sebagai larangan
adalah kata qawwam, yang biasa diartikan penguasa atau pemimpin. Oleh
ulama ortodoks kata itu merupakan legitimasi superioritas laki-laki atas
perempuan hingga martabatnya di bawah laki-laki.
Asghar menolak
tegas pemahaman tersebut. Menurutnya, superioritas itu hanya sebagai keunggulan
dalam memperoleh harta kekayaan dan fungsi membelanjakan harta untuk kebutuhan
kaum perempuan. Artinya, superioritas dibentuk oleh fungsi sosial bukan pada
jenis kelamin. Di sisi lain, tidak fair jika peran domistik perempuan tidak
diperhitungkan sebagai produktivitas ekonomi. Adalah tidak adil kalau nilai
moneter tidak diletakkan dalam tugas domestik, sebagaimana kaum laki-laki yang
bekerja di luar rumah, maka kaum perempuan pun semestinya mendapat nilai dengan
melengkapinya bekerja di dalam rumah.
Adapun
tentang memukul istri yang sedang nusyuz, Asghar menyatakan bahwa turunnya ayat
ini merupakan respons terhadap kebiasaan orang Arab berupa memukul istrinya
yang dianggap membangkang. Ayat ini diturunkan terkait dengan kasus Sa’ad bin
Rabi, seorang pemimpin golongan Anshar, yang telah memukul istrinya Habibah bin
Zaid yang membangkang terhadap dirinya. Habibah kemudian mengadukan hal itu
kepada ayahnya, dan oleh sang ayah, kasus itu diteruskan kepada nabi Muhammad.
Nabi pada
saat itu memberi jawaban agar Habibah membalas pukulan suaminya itu. Mendengar
keputusan nabi tersebut, kaum lelaki yang berada di Madinah merasa keberatan,
dan berusaha menentang saran rasul tersebut. Nabi pada saat itu sadar betul,
bahwa penentangan mereka itu didasarkan oleh struktur sosial yang memberikan
kedudukan yang tinggi kepada laki-laki di hadapan kaum hawa.
Dengan
demikian, secara kontekstual, sangatlah impossible untuk menghapuskan kebiasaan
ini secara sekaligus. Karenanya ayat ini diturunkan sebagai satu upaya
membatasi meluasnya kekerasan, yaitu dengan memberikan peluang kepada laki-laki
untuk melakukan pemukulan terhadap perempuan. Asghar menyatakan bahwa ayat ini bukan
menganjurkan kaum laki-laki untuk memukul istrinya, tetapi sebaliknya,
mencegahnya secara gradual, sebelum kemudian dihapus sama sekali. Wallahu
a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar