Kamis, 17 November 2011

Tafsir Untuk Perempuan


Watak keberagamaan yang tercermin dalam sensitivitas dan empati terhadap penderitaan kaum lemah (mustadl’afin), menurut Asghar Ali Enginner, merupakan salah satu problem mendasar keimanan. Problem ini jika diajukan kepada Islam maka akan ditemukan solusinya, yaitu bangunan Islam pembebas seperti terkandung dalam al-Qur’an dan rentang sejarah Nabi.
Kedua sumber utama Islam itu memang telah memberi dasar kuat tentang keberpihakan teologis kepada kaum lemah. Keduanya telah mengajarkan tentang menyantuni anak yatim, menegakkan keadilan, menekankan agar kapital tidak hanya berputar di segelintir orang, dan mengangkat martabat perempuan setara dengan laki-laki.
Dalam bukunya, Islam and Liberation Theology (1990), Asghar kemudian merumuskan teologi pembebasan yang tetap merujuk pada kedua sumber utama Islam tersebut. Konstruksi teologi yang dibangun Asghar berbeda dengan teologi klasik (ilmu kalam) yang sempat berkembang pesat pada abad ke-2 H. Teologi klasik itu masih berkutat pada wacana metafisik-transendental yang abstrak. Sementara teologi yang dikehendaki Asghar adalah bersifat konkret, aplikatif, dan berpijak pada persoalan kemanusiaan kontekstual.
Perbedaan lain dengan teologi klasik adalah kecenderungannya sebagai penopang ideologi kekuasaan, teologi pembebasan Asghar justru meneguhkan keberpihakannya kepada kaum mustadl’afin untuk membebaskannya dari segala bentuk tirani dan penindasan.
Sumber utama teologi pembebasan Asghar adalah al-Qu’ran dan sejarah Nabi. Namun dia tidak mau terjebak pada wacana tekstual semata, dia lebih menekankan pada aspek praksis dengan mengkombinasikan antara refleksi dan aksi, iman dan amal. Meminjam istilah Amin Abdullah, Asghar menjadikan normativitas dan historisitas Islam sebagai pertimbangan utuh dalam membangun konsepsi teologinya.
Hal ini tergambar jelas misalnya pada konsep Asghar tentang takdir. Dia tidak melihat takdir hanya sebagai konsep metafisik, tetapi dia juga memahami bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan takdirnya sendiri. Penelitiannya tentang sejarah panjang kehidupan manusia membuktikan pemahaman itu, terutama mengenai relasi antara kaum mustakbirin (orang-orang yang kuat dan sombong) dan kaum mustadh’afin (orang-orang yang lemah dan tertindas).
Asghar mendapati dalam hubungan itu kaum mustadh’afin selalu terkalahkan. Dan di dalam spasio temporal yang berbeda-beda selalu ada orang-orang dalam agama-agama tertentu yang menyuarakan pembebasan bagi mereka. Tegasnya, manusia sendirilah yang menentukan penindasan terhadap manusia yang lain. Karenanya manusia juga yang seharusnya membebaskan belenggu penindasan tersebut.
Salah satu komunitas yang masuk dalam kategori tertindas adalah kaum perempuan. Asghar memberikan perhatian khusus pada persoalan ini dengan menulis buku yang diberi judul The Rights of Women in Islam (1992). Dalam buku ini, dia membuktikan bahwa Islam menjunjung tinggi martabat perempuan. Dia kemudian mengkonstruksi tafsir al-Qur’an khusus mengenai ayat-ayat tentang perempuan.
Asghar menganalisis beberapa ayat yang oleh banyak kalangan dianggap mendiskreditkan perempuan, seperti an-Nisa/4:3 tentang poligami, an-Nisa/4:11 tentang hak waris bagi perempuan, al-Baqarah/2:282 tentang kesaksian perempuan, an-Nisa/4:34 tentang larangan kepemimpinan perempuan dan legalitas bagi suami untuk memukul istrinya yang nusyuz.
Ayat-ayat tersebut sering diajukan oleh para orientalis sebagai bukti normatif ketidakadilan Islam terhadap perempuan. Di sisi lain kaum muslimah sendiri sering menanggapinya secara dilematis antara menerimanya sebagai suatu konsep keadilan Islam bagi perempuan dan meragukannya karena pada kenyataannya secara manusiawi telah mengusik rasa keadilan bagi mereka.
Dileman ini, menurut Asghar, merupakan akibat dari cara baca yang tidak fair terhadap ayat-ayat al-Qur’an, yaitu cenderung mengambil pesan normatifnya dan mengabaikan spirit yang menjadi latar sosiologis munculnya pesan tersebut. Dia kemudian mengajukan metodologi tafsir untuk mendapatkan pemahaman yang komprehenship, yaitu dengan memilah antara ayat normatif dan ayat kontekstual.
Yang dimaksud ayat normatif adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pesan normatif atau mengandung nilai universal sehingga merupakan sesuatu yang seharusnya (das solen) dan berlaku sepanjang masa. Sedang ayat kontekstual adalah adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pesan kontekstual atau sangat berkait dengan konteks masyarakat pada saat ayat tersebut diturunkan. Ayat kontekstual biasanya menguraikan tentang kenyataan sosial atau apa yang terbaik saat turunnya ayat tersebut (das sein).
Urgensi pemilahan ini adalah untuk memudahkan pembedaan antara apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah dan realitas sosial yang dibangun oleh masyarakat pada saat turunnya ayat. Sebab al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang masyarakat ideal, tetapi ada fakta empiris-sosial yang dipertimbangkan. Dengan pertimbangan ini al-Qur’an dapat diterima oleh masyarakat dalam konteks sosial tertentu di mana al-Qur’an diturunkan, di samping norma-norma universal yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan referensi untuk diberlakukan pada suatu masa ketika realitas masyarakat lebih kondusif.
Yang dimaksud Asghar dengan ayat-ayat normatif adalah seperti ayat tentang prinsip persamaan, keadilan dan kesetaraan. Ayat-ayat yang memuat norma atau prinsip dasar al-Qur’an kaitannya dengan persoalan kesetaraan gender, seperti an-Nisa/4:1 tentang penciptaan manusia dari esensi yang sama, al-Isra’/17:70 tentang pemuliaan anak-anak Adam, dan al-Ahzab/33:35 tentang pahala yang sama bagi laki-laki atau perempuan yang bertakwa, bagi Asghar, merepresentasikan revolusi besar dalam pemikiran egalitarianisme dan sekaligus simbol deklarasi kesatuan manusia dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Sedangkan ayat-ayat kontekstual adalah seperti ayat tentang poligami, hak waris perempuan, kesaksian perempuan, larangan kepemimpinan perempuan, dan legalitas bagi suami untuk memukul istrinya yang nusyuz seperti yang telah disebut di atas. Pertama, ayat tentang poligami (an-Nisa/4:3). Diperbolehkannya poligami pada masa Nabi karena pada saat itu poligami merupakan jalan terbaik untuk mengangkat martabat perempuan. Ayat itu erat kaitannya dengan budaya masyarakat Arab pra Islam yang tidak membatasi jumlah perempuan yang diperistri. Anggota suku Quraisy saja pada umumnya mempunyai istri 10 orang. Batasan hanya beristri empat orang seperti yang tercantum di dalam ayat tersebut merupakan langkah yang revolusioner.
Di samping itu, praktik poligami pada masa Nabi juga tidak terlepas dari peperangan yang berkelanjutan, yang berakibat pada banyaknya janda dan anak yatim dalam komunitas muslim. Namun demikian, diperbolehkannya poligami itu dengan catatan dapat berbuat adil terhadap perempuan. Dengan demikian, dibolehkannya poligami harus mempertimbangkan secara ketat situasi dan kondisi yang ada, sehingga meski situasi dan kondisi membolehkan poligami, lelaki tetap dituntut untuk monogami jika tidak mampu berbuat adil.
Menurut Asghar, ajaran normatif ayat tersebut adalah monogami. Sedangankan poligami merupakan ajaran kontekstual. Namun sangat disayangkan yang terjadi malah memahami ajaran kontekstual ini sebagai ajaran normatif yang berlaku sepanjang masa dan dalam situasi apa pun. Padahal saat ini alasan poligami sebagai cara mengangkat martabat perempuan menjadi tanda tanya besar.
Kedua, ayat tentang hak waris perempuan yang mendapat setengah dari bagian lelaki (an-Nisa/4:11). Secara kontekstual ayat ini juga merupakan upaya mengangkat martabat perempuan. Pada masa pra-Islam, perempuan tidak mempunyai hak untuk mewarisi baik kekayaan ayah, suami maupun kerabatnya yang lain. Kebanyakan dari mereka malah diperlakukan sebagai bagian dari harta yang diwariskan. Tegasnya, pemberian hak waris kepada perempuan merupakan suatu gerakan revolusioner. Apalagi di dalam ayat yang lain juga disebutkan bahwa perempuan berhak memiliki sesuatu, sehingga perempuan tidak lagi diwariskan tetapi justru berhak menerima warisan dan bahkan bisa mewariskan hartanya.
Ketiga, ayat tentang kesaksian perempuan separuh dari laki-laki (al-Baqarah/2:282). Kesaksian yang maksud dalam ayat ini hanya pada persoalan transaksi keuangan, bukan yang lain. Asghar berpandangan bahwa ayat itu sebenarnya tidak mereduksi kesaksian perempuan menjadi separuh dari laki-laki. Tetapi pada saat seorang perempuan akan memberikan kesaksian dia harus didampingi oleh seorang perempuan lain.
Keharusan ini mempertimbangakan kenyataan bahwa secara umum perempuan pada saat ayat itu diturunkan kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman soal keuangan. Wajar, karena pada saat itu perempuan memang tidak banyak mengambil bagian dalam bisnis, sehingga mereka tidak mampu memahami perihal transaksi bisnis dan keuangan. Karenanya dua perempuan diharuskan sebagai pengganti satu laki-laki.
Penetapan ini tidak merefleksikan apapun terhadap moral dan intelektual perempuan sehingga menjadi inferior. Dengan demikian, semangat al-Qur’an pada dasarnya adalah penyetaraan, tetapi karena kearifan al-Qur’an, di mana para perempuan pada umumnya saat itu kurang memahami urusan bisnis dan keuangan, sehingga memutuskan agar didampingi oleh perempuan lain. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari akses bisnis dan keuangan saat itu yang masih dikuasai oleh laki-laki.
Keempat, ayat tentang larangan kepemimpinan perempuan dan dibolehkannya suami memukul istri yang sedang nusyuz (an-Nisa’/4:34). Kata kunci yang sering dipahami sebagai larangan adalah kata qawwam, yang biasa diartikan penguasa atau pemimpin. Oleh ulama ortodoks kata itu merupakan legitimasi superioritas laki-laki atas perempuan hingga martabatnya di bawah laki-laki.
Asghar menolak tegas pemahaman tersebut. Menurutnya, superioritas itu hanya sebagai keunggulan dalam memperoleh harta kekayaan dan fungsi membelanjakan harta untuk kebutuhan kaum perempuan. Artinya, superioritas dibentuk oleh fungsi sosial bukan pada jenis kelamin. Di sisi lain, tidak fair jika peran domistik perempuan tidak diperhitungkan sebagai produktivitas ekonomi. Adalah tidak adil kalau nilai moneter tidak diletakkan dalam tugas domestik, sebagaimana kaum laki-laki yang bekerja di luar rumah, maka kaum perempuan pun semestinya mendapat nilai dengan melengkapinya bekerja di dalam rumah.
Adapun tentang memukul istri yang sedang nusyuz, Asghar menyatakan bahwa turunnya ayat ini merupakan respons terhadap kebiasaan orang Arab berupa memukul istrinya yang dianggap membangkang. Ayat ini diturunkan terkait dengan kasus Sa’ad bin Rabi, seorang pemimpin golongan Anshar, yang telah memukul istrinya Habibah bin Zaid yang membangkang terhadap dirinya. Habibah kemudian mengadukan hal itu kepada ayahnya, dan oleh sang ayah, kasus itu diteruskan kepada nabi Muhammad.
Nabi pada saat itu memberi jawaban agar Habibah membalas pukulan suaminya itu. Mendengar keputusan nabi tersebut, kaum lelaki yang berada di Madinah merasa keberatan, dan berusaha menentang saran rasul tersebut. Nabi pada saat itu sadar betul, bahwa penentangan mereka itu didasarkan oleh struktur sosial yang memberikan kedudukan yang tinggi kepada laki-laki di hadapan kaum hawa.
Dengan demikian, secara kontekstual, sangatlah impossible untuk menghapuskan kebiasaan ini secara sekaligus. Karenanya ayat ini diturunkan sebagai satu upaya membatasi meluasnya kekerasan, yaitu dengan memberikan peluang kepada laki-laki untuk melakukan pemukulan terhadap perempuan. Asghar menyatakan bahwa ayat ini bukan menganjurkan kaum laki-laki untuk memukul istrinya, tetapi sebaliknya, mencegahnya secara gradual, sebelum kemudian dihapus sama sekali. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar