Sabtu, 21 Januari 2012

Muhammadiyah Menghadang Pemikiran Ekstrim

Muhammadiyah melabeli dirinya sebagai organisasi keagamaan yang modern dan pembaruan Islam di bumi Indonesia. Pelabelan itu tidak salah mengingat kelahiran Muhammadiyah merupakan suatu jawaban terhadap kenyataan akulturasi budaya (Jawa) dengan  Islam (kalau tidak singkretisme) yang dianggap telah menciderai kemurnian ajaran Islam.
Gerakan purifikasi Islam dengan anti TBC (tahayul, bid’ah dan hurafat) tak pelak menjadi suatu ideologi yang langgeng dan terus diperjuangkan oleh Muhammadiyah. Namun cukup disayangkan ideologi Islam Puritan ini lebih dipahami dalam arti dominasi atau manipulasi (Karl Mannheim) –bukan “partisipasi” (Gramci)– sehingga memungkinkan terjadinya benturan keras dengan paham keagamaan (Islam) lain, seperti perdebatan yang meruncing tentang masalah furu’iyah dengan kelompok tradisionalis di era 70 dan 80-an.
Bagi Muhammadiyah, perdebatan yang meruncing tersebut merupakan suatu konsekuensi logis dari belum terumuskannya landasan konsepsional atau teoritis tentang tajdid Muhammadiyah sejak awal berdirinya. Meski berdirinya Muhammadiyah diilhami oleh spirit pembaruan Islam di Timur Tengah tetapi menurut Cak Nur usaha pembaruan yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan tidak melalui pendahuluan atau pra-kondisi tertentu.
Baru di tengah pergolakan pembaruan Islam di Indonesia (era akhir 60-an dan awal 70-an) Muhammadiyah merumuskan konsep tajdidnya. Pada Muktamar ke-22 tahun 1989 di Malang, Muhammadiyah memutuskan rumusan tajdid secara resmi, yaitu 1) tajdid dalam arti pemurnian, yaitu sebagai suatu upaya pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasakan dan bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shohihah; dan 2) tajdid dalam arti peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya, yaitu suatu penafsiran, pengalaman dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shohihah.
Pada Muktamar itu juga telah disusun Pokok-pokok Manhaj Tarjih yang merumuskan secara garis besar sumber beristidlal, tidak mengikatkan pada madzhab tertentu, penggunaan akal dalam menyelesaikan masalah-masalah keduniaan, dan yang penting adalah dirumuskannya metode ijtihad dalam bentuk ijtihad bayani, qiyasi dan istishlahi.
Ijtihad bayani digunakan untuk mendapatkan hukum dari nash dengan menggunakan dasar-dasar interpretasi atau tafsir. Ijtihad qiyasi digunakan untuk menetapkan hukum yang belum ada dalam nash, dengan memperhatikan kesamaan ‘illat-nya. Sedangkan ijtihad istishlahi digunakan untuk menetapkan hukum yang sama sekali tidak diatur dalam nash.
Baru pada Munas Tarjih tahun 2000 di Jakarta Muhammadiyah memiliki manhaj pemikiran yang kokoh dan lebih komprehensif, yaitu dengan menggunakan pendekatan bayani, burhani dan ‘irfani. Pendekatan bayani merupakan pendekatan yang menempatkan teks sebagai kebenaran hakiki, sedangkan akal hanya menempati kedudukan yang sekunder dan berfungsi menjelaskan serta menjastifikasi nash yang ada. Pendekatan ini lebih didominisai oleh penafsiran gramatikal dan semantik. Pendekatan ini memiliki peran penting bagi Muhammadiyah dalam rangka menjaga komitmennya kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Pendekatan burhani lebih difokuskan pada pendekatan yang rasional dan argumentatif, berdasarkan dalil logika. Pendekatan ini tidak hanya merujuk pada teks, tetapi juga konteks. Sedangkan pendekatan ‘irfani didasarkan pada pengalaman bathiniyyah dan lebih bersifat intuitif, tidak didasarkan pada medium bahasa atau logika. Metode dan pendekatan seperti ini tentu tidak terbatas pada pendekatan normatif, tetapi lebih dari itu mengarah pada pendekatan filosofis dan sufistik, yang sebelumnya tidak dikenal dalam Muhammadiyah.
Ketiga pendekatan tersebut diintegrasikan dan kemudian diformulasikan ke dalam bangunan epistemologi dan aksiologi, sehingga akan melahirkan formulasi tajdid yang khas Muhammadiyah. Yang disebut terakhir ini memiliki peran sangat penting dalam rangka mengukuhkan orientasi tajdid Muhammadiyah di tengah-tengah lalu lintas pemikiran yang ekstrim, fundamentalis dan liberal, yang tidak dipungkiri juga berkembang atau dikembangkan di dalam tubuh Muhammadiyah.
Tidak dipungkiri dua kecenderungan yang disebut terakhir ada dalam tubuh Muhammadiyah. Membiarkan keduanya tumbuh subur sama saja dengan mencerabut secara perlahan Muhammadiyah dari manhaj tajdidinya. Usaha yang paling mungkin dan mendesak dalam hal ini adalah mengokohkan bangunan epistimologi dan aksiologi Muhammadiyah melalui penguatan kajian metodogi keislaman di semua jenjang pendidikan Muhammadiyah.
Modernisasi pendidikan yang dibangun oleh Muhammadiyah menempati posisi atas dibanding ormas yang lain, tetapi kenyataan ini tidak ekuifalen dengan penguatan kajian keislaman yang dikembangkan, terutama dalam hal metodologi. Indikasi yang paling mudah adalah tidak sedikit tokoh Muhammadiyah yang memiliki wawasan keislaman kuat tetapi tidak dibarengi dengan penguasaan materi keislaman yang memadai.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar