Muhammadiyah
melabeli dirinya sebagai organisasi keagamaan yang modern dan pembaruan Islam
di bumi Indonesia.
Pelabelan itu tidak salah mengingat kelahiran Muhammadiyah merupakan suatu
jawaban terhadap kenyataan akulturasi budaya (Jawa) dengan Islam (kalau tidak singkretisme) yang
dianggap telah menciderai kemurnian ajaran Islam.
Gerakan
purifikasi Islam dengan anti TBC (tahayul, bid’ah dan hurafat) tak pelak
menjadi suatu ideologi yang langgeng dan terus diperjuangkan oleh Muhammadiyah.
Namun cukup disayangkan ideologi Islam Puritan ini lebih dipahami dalam arti
dominasi atau manipulasi (Karl Mannheim) –bukan “partisipasi” (Gramci)–
sehingga memungkinkan terjadinya benturan keras dengan paham keagamaan (Islam)
lain, seperti perdebatan yang meruncing tentang masalah furu’iyah dengan
kelompok tradisionalis di era 70 dan 80-an.
Bagi
Muhammadiyah, perdebatan yang meruncing tersebut merupakan suatu konsekuensi
logis dari belum terumuskannya landasan konsepsional atau teoritis tentang
tajdid Muhammadiyah sejak awal berdirinya. Meski berdirinya Muhammadiyah
diilhami oleh spirit pembaruan Islam di Timur Tengah tetapi menurut Cak Nur
usaha pembaruan yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan tidak melalui pendahuluan
atau pra-kondisi tertentu.
Baru di tengah
pergolakan pembaruan Islam di Indonesia (era akhir 60-an dan awal 70-an)
Muhammadiyah merumuskan konsep tajdidnya. Pada Muktamar ke-22 tahun 1989 di
Malang, Muhammadiyah memutuskan rumusan tajdid secara resmi, yaitu 1) tajdid dalam
arti pemurnian, yaitu sebagai suatu upaya pemeliharaan matan ajaran Islam yang
berdasakan dan bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shohihah; dan 2)
tajdid dalam arti peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna
dengannya, yaitu suatu penafsiran, pengalaman dan perwujudan ajaran Islam
dengan tetap berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shohihah.
Pada Muktamar
itu juga telah disusun Pokok-pokok Manhaj Tarjih yang merumuskan secara garis
besar sumber beristidlal, tidak mengikatkan pada madzhab tertentu, penggunaan
akal dalam menyelesaikan masalah-masalah keduniaan, dan yang penting adalah
dirumuskannya metode ijtihad dalam bentuk ijtihad bayani, qiyasi dan
istishlahi.
Ijtihad bayani digunakan untuk mendapatkan hukum
dari nash dengan menggunakan dasar-dasar interpretasi atau tafsir. Ijtihad
qiyasi digunakan untuk menetapkan hukum yang belum ada dalam nash, dengan
memperhatikan kesamaan ‘illat-nya. Sedangkan ijtihad istishlahi digunakan untuk
menetapkan hukum yang sama sekali tidak diatur dalam nash.
Baru pada Munas Tarjih tahun 2000 di Jakarta
Muhammadiyah memiliki manhaj pemikiran yang kokoh dan lebih komprehensif, yaitu
dengan menggunakan pendekatan bayani, burhani dan ‘irfani. Pendekatan bayani
merupakan pendekatan yang menempatkan teks sebagai kebenaran hakiki, sedangkan
akal hanya menempati kedudukan yang sekunder dan berfungsi menjelaskan serta
menjastifikasi nash yang ada. Pendekatan ini lebih didominisai oleh penafsiran
gramatikal dan semantik. Pendekatan ini memiliki peran penting bagi
Muhammadiyah dalam rangka menjaga komitmennya kembali kepada Al-Qur’an dan
Al-Sunnah.
Pendekatan burhani lebih difokuskan pada
pendekatan yang rasional dan argumentatif, berdasarkan dalil logika. Pendekatan
ini tidak hanya merujuk pada teks, tetapi juga konteks. Sedangkan pendekatan
‘irfani didasarkan pada pengalaman bathiniyyah dan lebih bersifat intuitif,
tidak didasarkan pada medium bahasa atau logika. Metode dan pendekatan seperti
ini tentu tidak terbatas pada pendekatan normatif, tetapi lebih dari itu
mengarah pada pendekatan filosofis dan sufistik, yang sebelumnya tidak dikenal
dalam Muhammadiyah.
Ketiga pendekatan tersebut diintegrasikan dan
kemudian diformulasikan ke dalam bangunan epistemologi dan aksiologi, sehingga
akan melahirkan formulasi tajdid yang khas Muhammadiyah. Yang disebut terakhir
ini memiliki peran sangat penting dalam rangka mengukuhkan orientasi tajdid
Muhammadiyah di tengah-tengah lalu lintas pemikiran yang ekstrim, fundamentalis
dan liberal, yang tidak dipungkiri juga berkembang atau dikembangkan di dalam
tubuh Muhammadiyah.
Tidak dipungkiri dua kecenderungan yang disebut
terakhir ada dalam tubuh Muhammadiyah. Membiarkan keduanya tumbuh subur sama
saja dengan mencerabut secara perlahan Muhammadiyah dari manhaj tajdidinya.
Usaha yang paling mungkin dan mendesak dalam hal ini adalah mengokohkan
bangunan epistimologi dan aksiologi Muhammadiyah melalui penguatan kajian
metodogi keislaman di semua jenjang pendidikan Muhammadiyah.
Modernisasi pendidikan yang dibangun oleh Muhammadiyah
menempati posisi atas dibanding ormas yang lain, tetapi kenyataan ini tidak
ekuifalen dengan penguatan kajian keislaman yang dikembangkan, terutama dalam
hal metodologi. Indikasi yang paling mudah adalah tidak sedikit tokoh
Muhammadiyah yang memiliki wawasan keislaman kuat tetapi tidak dibarengi dengan
penguasaan materi keislaman yang memadai.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar