Senin, 16 Januari 2012

Setan pun Berkata Benar

Salah seorang perawi hadis terkenal, Abu Hurairah, pernah menuturkan sebuah pengalamannya bersama Nabi. Ia mengisahkan pada satu bulan Ramadan ia pernah ditugaskan oleh Nabi untuk menjaga gudang zakat.
Pada suatu malam Abu Hurairah melihat seorang pencuri yang memasuki gedung itu. Ketika pencuri itu sedang beraksi ia segera menangkapnya. Sambil tetap memegangi tangan pencuri itu ia berkata kepadanya, “Aku akan mengadukanmu kepada Nabi.
Pencuri itu merasa takut, sehingga ia merengek kepada Abu Hurairah agar ia tidak dikeler ke hadapan Nabi. “Saya ini orang miskin, keluarga tanggungan saya banyak, sementara kami sangat memerlukan makanan.” Pencuri itu mencoba memberi alasan.
Pernyataan pencuri itu tampaknya mampu meluluhkan hati Abu Hurairah yang memang selalu prihatin terhadap kondisi kaum muskin. Pikirannya pun berbisik pada hatinya, kalau harta zakat itu juga akan diberika kepada kaum miskin karena memang sudah menjadi hak mereka. Ia pun kemudian terdorong untuk melepaskannya.  
Pada keesokan harinya, Abu Hurairah melaporkan kejadian malam itu kepada Nabi. Beliau menanggapi laporan Abu Hurairah dengan berkata, “Dia bohong. Nanti malam dia akan datang lagi.”
Pada malam harinya, Abu Hurairah menambah kewaspadaannya. Sehingga di saat ia melihat pencuri itu sedang beraksi, ia pun segera menyergapnya. Ia lagi-lagi mengancam pencuri itu dengan ancaman yang sama. Dan pencuri itu juga kembali merengek untuk dilepaskan “Saya orang miskin, keluarga saya banyak. Saya berjanji besok tidak akan kembali lagi.” Kata pencuri itu seolah-olah mengeluh.
Lagi-lagi rasa iba Abu Hurairah terhadap orang miskin mengalahkan ketegasannya untuk menegakkan hukum. Ia melepaskan pencuri itu. Dan saat ia melaporkan peristiwa itu kepada Nabi pada pagi harinya, Nabi pun kembali berkata, “Pencuri itu bohong, dan nanti malam ia akan kembali beraksi.”
Untuk kali ketiga ini, Abu Hurairah semakin meningkatkan kewaspadaannya. Keinginannya untuk menangkap pencuri itu dan tidak lagi terperdaya oleh tipuannya menggelayut dalam pikirannya. Sejak malam tiba, ia segera memulai pengintaiannya.
Setelah malam semakin larut, Abu Hurairah melihat sebuah bayangan melesat masuk ke gudang zakat. Ia segera membuntutinya. Dan begitu ia melihat pencuri itu tepat di depannya, ia segara menangkapnya dengan sigap. Dalam sekejam ia berhasil melilitkan tali di tangan dan kaki pencuri itu, sembari mengamati tanda-tanda kalau ia hendak membohonginya lagi. “Kali ini tidak ada ampun bagimu,” gumamnya dalam hati.
“Kali ini kamu pasti akan kuadukan kepada Nabi. Sudah dua kali kamu berjanji tidak akan datang lagi ke mari, tapi ternyata kamu berbohong,” ancam Abu Hurairah. “Lepaskan saya.” Lagi-lagi pencuri itu mengiba. Abu Hurairah semakin menguatkan gemgangannya karena ia tidak mau dibohongi lagi. “Lepaskan saya. Saya akan ajari tuan beberapa kalimat yang sangat berguna.” Lanjut pencuri itu mencoba bernegosiasi.
Abu Hurairah yang haus ilmu segera menyahut, “Kalimat apa itu?” “Bila tuan hendak tidur, bacalah ayat Kursi: Allahu la Ilaha illa huwa al-hayyu al-qayyum…, maka tuan akan selalu dijaga oleh Allah, dan tidak akan ada setan yang berani mendekati tuan sampai pagi.” Sebuah negosiasi kemudian berjalan lancar.
Pada keesokan harinya, Abu Hurairah melaporkan kepada Nabi secara detil seluruh kejadian tadi malam. Nabi kemudian menanggapinya, “Pencuri itu telah berkata benar, meskipun sebenarnya ia tetap berdusta.” Kemudian Nabi bertanya kepada Abu Hurairah, “Tahukah kamu, siapa sebenarnya pencuri itu?” ”Tidak, wahai Nabi Allah.” Jawab Abu Hurairah. Kemudian Nabi menegaskan “Itulah setan.”
Kisah ini memberi satu pelajaran bahwa sudah sepatutnya setiap orang tidak gampang menerima suatu ungkapan tanpa terlebih dulu menalarnya secara jernih, yaitu suatu penalaran yang melibatkan logika rasional dan logika nuraniah (ketajaman spiritual). Betapapun yang menyampaikan ungkapan itu seorang kawan, tetangga, guru, dosen, ustadz, kyai, pimpinan, penguasa, dan lain-lain.
Namun bukan berarti hal ini sekaligus merupakan pelajaran untuk berburuk sanga. Tetapi lebih merupakan suatu upaya bersikap hati-hati jangan sampai terjerumus ke dalam kubang kesalahan. Apalagi sampai menghilangkan sikap kritis terhadap suatu ungkapan yang memiliki implikasi baik langsung atau tidak terhadap kesejahteraan bersama.
Barangkali sikap yang diberikan oleh warga perum TAS Sidoarjo dalam memperjuangkan hak mereka dapat dijadikan contoh. Mereka tidak henti-hentinya menyuarakan tuntutannya sampai mereka benar-benar mendaatkan kembali hak mereka. Mereka tidak mau dininabobokan oleh ungkapan-ungkapan janji yang disampaikan oleh pihak yang berwenang. Alih-alih yang mereka butuhkan adalah kepastian.
Tampaknya sikap serupa juga patut dimunculkan terutama oleh para petani padi yang saat ini sedang memulai panen raya mereka. Ungkapan pemerintah pada saat hendak mengimpor beras, tentang jaminan tidak akan berpengaruh pada harga dasar gabah hingga turun di bawah standar saat panen raya, yang ternyata tidak sesuai dengan kenyataan saat ini, bukankah merupakan sebuah “tipudaya” seperti yang dilakukan seorang pencuri kepada Abu Hurairah? Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar