Senin, 16 Januari 2012

Menguak Aib Sendiri

Ada pepatah yang sangat populer, "kuman di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata tak tampak." Pepatah ini merupakan ungkapan dari realita mudahnya orang menilai keburukan dan aib orang lain, sementara ia buta atau cenderung menutupi terhadap keburukan dan aib sendiri.
Salah satu kecenderungan banyak orang memang demikian. Di era modern kecenderungan ini bahkan telah menjadi satu komoditi kapital. Keburukan atau aib orang lain dieksploitasi sedemikian rupa untuk dijual dengan beragam kemasan. Dan yang lebih parah lagi bahkan ada sebagian orang yang secara sengaja melakukan kontrak untuk mengekspos keburukan ini demi mencari atau menaikkan popularitas.
Terkait dengan hal ini Islam memiliki konsep amanah. Kata ini tidak hanya menunjukkan arti melaksanakan kepercayaan yang diberikan orang lain yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan atau pekerjaan, tetapi ia juga mencakup seluruh aspek mu'amalah, termasuk amanah terhadap rahasia orang lain. Amanah seperti ini yang dimaksudkan dalam ilmu kalam sebagai salah satu sifat yang dimiliki para nabi yang jelas harus dijadikan tauladan bagi setiap muslim.
Kegemaran orang untuk menguak keburukan atau aib orang lain tidak lain bersumber dari nafsu dan jelas bertentangan dengan nurani, sebab kecenderungan baik nurani tidak mungkin menyiratkan kehendak buruk pada orang lain, sebagaimana hal serupa juga dibenci untuk diriya sendiri.
Untuk itu, muslim sejati adalah yang selalu berupaya menguak keburukan atau aib sendiri untuk kemudian disembuhkan, dan bila mendengar aib orang lain maka ia selalu bersikap amanah dengan hanya menjadikannya sebagai rahasia antara dia dan orang tersebut. Dalam hal ini Nabi menyatakan, "Siapa yang menutupi rahasia saudaranya seagama Allah akan menutupi rahasianya kelak di hari kiamat."
Untuk dapat menguak aib sendiri ini tidak semudah yang dibayangkan, sebab hal ini membutuhkan kejernihan nurani dan menekan kemauan nafsu. Dan agar hal ini lebih mudah Al-Ghazali memiliki empat kiat sebagai berikut:
Pertama, hendaknya seseorang mendatangi atau berkonsultasi kepada seorang alim yang memiliki penglihatan batin (bashirah). Penglihatan batin ini bukan seperti keahlian "terawang" seperti yang dimiliki oleh para supranatural karena ia merupakan satu ilmu yang diperoleh melalui ritual tertentu, tetapi yang dimaksud di sini adalah suatu penglihatan batin yang diperoleh melalui laku sufistik hingga mendapat keistimewaan (karamah) dari Allah berupa terbukanya (inkisyaf) berbagai tabir (hijab) keghaiban.
Kedua, mencari teman sejati yang taat beragama dan yang bersedia mengingatkanya jika terdapat perilakunya yang kurang atau tidak baik. Cara ini yang banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam di masa lalu, seperti dilakukan oleh Umar bin Khattab yang bertanya kepada Khudzaifah Ibnul Yaman tentang keburukanya. Khudzaifah adalah seorang sahabat Nabi yang sangat terkenal dengan keahliannya di bidang keburukan, mulai dari sumber, bentuk, sampai pada dampak yang ditimbulkan. Bahkan dialah yang banyak mengetahui informasi rahasia dari Nabi tentang sifat dan perilaku kaum munafikin.
Dikisahkan, di saat Nabi selesai menguraikan kepada para sahabatnya tentang sifat dan perilaku kaum munafikin itu Umar merasa resah kalau-kalau sifat dan perilaku itu berada dalam dirinya. Ia pun segera melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri, tetapi ia tidak puas dengan cara ini sebab ia takut kalau dalam evalusianya terdapat dorongan nafsu, hingga ia mendatangi Khudzaifah untuk berkonsultasi.
Ketiga, berusaha mengorek iformasi tentang keburukan dari musuh atau orang yang tidak suka kepadanya. Musuh atau orang yang benci jelas akan selalu mencari-cari keburukan lawannya. "Penglihatan suka akan cenderung mentolelir aib, dan penglihatan benci akan membeber segala kejelekan," begitulah kata pepatah Arab. Dalam hal ini memanfaatkan musuh sangat efektif dibanding teman yang setia, sebab teman cenderung memuji dan menyembunyikan keburukannya. Tetapi sayang, sering orang justru cenderung menganggap segala yang muncul dari teman setianya dianggap sebagai kebenaran, sedang yang dari musuhnya dianggap sebagai suatu kebohongan dan keburukan hingga tidak ada yang perlu diperhatikan bahkan diambil manfaatnya.
Dan keempat, bergaul masyarakat dengan tidak membedakan stratifikasi sosial yang ada. Sikap ini akan memberi ruang belajar yang lebih luas, mengingat setiap strata sosial pasti memiliki keistimewaan dan keunikannya sendiri-sendiri. Terhadap mereka diharuskan untuk selalu berusaha mencari i'tibar tentang penegakan sistem moral.
Setiap masyarakat pasti memiliki konvensi tersendiri. Dan sudah pasti semuanya akan sepakat untuk meletakkan moralitas pada level utama untuk membina keharmonisan dan kesejahteraan. Untuk itu, segala hal yang disuka oleh mayoritas masyarakat harus berusaha untuk dilakukan. Sebaliknya segala yang dibenci dijauhinya. Inilah arti ungkapan bahwa "seorang mukmin itu merupakan cermin bagi mukmin yang lain."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar