Ada pepatah
yang sangat populer, "kuman di seberang lautan tampak, tapi gajah di
pelupuk mata tak tampak." Pepatah ini merupakan ungkapan dari realita
mudahnya orang menilai keburukan dan aib orang lain, sementara ia buta atau
cenderung menutupi terhadap keburukan dan aib sendiri.
Salah satu
kecenderungan banyak orang memang demikian. Di era modern kecenderungan ini
bahkan telah menjadi satu komoditi kapital. Keburukan atau aib orang lain
dieksploitasi sedemikian rupa untuk dijual dengan beragam kemasan. Dan yang
lebih parah lagi bahkan ada sebagian orang yang secara sengaja melakukan kontrak
untuk mengekspos keburukan ini demi mencari atau menaikkan popularitas.
Terkait
dengan hal ini Islam memiliki konsep amanah. Kata ini tidak hanya menunjukkan
arti melaksanakan kepercayaan yang diberikan orang lain yang berkaitan dengan
masalah kepemimpinan atau pekerjaan, tetapi ia juga mencakup seluruh aspek mu'amalah,
termasuk amanah terhadap rahasia orang lain. Amanah seperti ini yang
dimaksudkan dalam ilmu kalam sebagai salah satu sifat yang dimiliki para nabi
yang jelas harus dijadikan tauladan bagi setiap muslim.
Kegemaran
orang untuk menguak keburukan atau aib orang lain tidak lain bersumber dari
nafsu dan jelas bertentangan dengan nurani, sebab kecenderungan baik nurani
tidak mungkin menyiratkan kehendak buruk pada orang lain, sebagaimana hal
serupa juga dibenci untuk diriya sendiri.
Untuk itu,
muslim sejati adalah yang selalu berupaya menguak keburukan atau aib sendiri
untuk kemudian disembuhkan, dan bila mendengar aib orang lain maka ia selalu
bersikap amanah dengan hanya menjadikannya sebagai rahasia antara dia dan orang
tersebut. Dalam hal ini Nabi menyatakan, "Siapa yang menutupi rahasia
saudaranya seagama Allah akan menutupi rahasianya kelak di hari kiamat."
Untuk dapat
menguak aib sendiri ini tidak semudah yang dibayangkan, sebab hal ini
membutuhkan kejernihan nurani dan menekan kemauan nafsu. Dan agar hal ini lebih
mudah Al-Ghazali memiliki empat kiat sebagai berikut:
Pertama, hendaknya seseorang mendatangi atau
berkonsultasi kepada seorang alim yang memiliki penglihatan batin (bashirah).
Penglihatan batin ini bukan seperti keahlian "terawang" seperti yang dimiliki
oleh para supranatural karena ia merupakan satu ilmu yang diperoleh melalui
ritual tertentu, tetapi yang dimaksud di sini adalah suatu penglihatan batin yang
diperoleh melalui laku sufistik hingga mendapat keistimewaan (karamah)
dari Allah berupa terbukanya (inkisyaf) berbagai tabir (hijab)
keghaiban.
Kedua, mencari teman sejati yang taat beragama dan
yang bersedia mengingatkanya jika terdapat perilakunya yang kurang atau tidak
baik. Cara ini yang banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam di masa lalu,
seperti dilakukan oleh Umar bin Khattab yang bertanya kepada Khudzaifah Ibnul Yaman
tentang keburukanya. Khudzaifah adalah seorang sahabat Nabi yang sangat
terkenal dengan keahliannya di bidang keburukan, mulai dari sumber, bentuk,
sampai pada dampak yang ditimbulkan. Bahkan dialah yang banyak mengetahui
informasi rahasia dari Nabi tentang sifat dan perilaku kaum munafikin.
Dikisahkan,
di saat Nabi selesai menguraikan kepada para sahabatnya tentang sifat dan
perilaku kaum munafikin itu Umar merasa resah kalau-kalau sifat dan perilaku
itu berada dalam dirinya. Ia pun segera melakukan evaluasi terhadap dirinya
sendiri, tetapi ia tidak puas dengan cara ini sebab ia takut kalau dalam
evalusianya terdapat dorongan nafsu, hingga ia mendatangi Khudzaifah untuk
berkonsultasi.
Ketiga, berusaha mengorek iformasi tentang
keburukan dari musuh atau orang yang tidak suka kepadanya. Musuh atau orang
yang benci jelas akan selalu mencari-cari keburukan lawannya. "Penglihatan
suka akan cenderung mentolelir aib, dan penglihatan benci akan membeber segala
kejelekan," begitulah kata pepatah Arab. Dalam hal ini memanfaatkan
musuh sangat efektif dibanding teman yang setia, sebab teman cenderung memuji
dan menyembunyikan keburukannya. Tetapi sayang, sering orang justru cenderung
menganggap segala yang muncul dari teman setianya dianggap sebagai kebenaran,
sedang yang dari musuhnya dianggap sebagai suatu kebohongan dan keburukan
hingga tidak ada yang perlu diperhatikan bahkan diambil manfaatnya.
Dan keempat,
bergaul masyarakat dengan tidak membedakan stratifikasi sosial yang ada. Sikap
ini akan memberi ruang belajar yang lebih luas, mengingat setiap strata sosial
pasti memiliki keistimewaan dan keunikannya sendiri-sendiri. Terhadap mereka
diharuskan untuk selalu berusaha mencari i'tibar tentang penegakan sistem
moral.
Setiap
masyarakat pasti memiliki konvensi tersendiri. Dan sudah pasti semuanya akan
sepakat untuk meletakkan moralitas pada level utama untuk membina keharmonisan
dan kesejahteraan. Untuk itu, segala hal yang disuka oleh mayoritas masyarakat
harus berusaha untuk dilakukan. Sebaliknya segala yang dibenci dijauhinya.
Inilah arti ungkapan bahwa "seorang mukmin itu merupakan cermin bagi
mukmin yang lain."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar