Akal adalah prinsip dan kaidah untuk
memperoleh pengetahuan. Akal juga dapat berarti aturan epistemologis berupa
konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam
fase sejarah tertentu. Akal Arab misalnya, berarti konsep dan prosedur
pemikiran yang mengatur dengan ketat pola pandang orang Arab dan pola
interaksinya.
M. Abed Al-Jabiri, seorang intelektual
pembaharu Mesir yang mendedikasikan intelektualitasnya pada epistimologi
Arab-Islam, membagi akal pada dua bentuk, yaitu akal/nalar murni (‘aql
al-mukawwin) yang given, dan akal/nalar budaya (‘aql al-mukawwan)
yang merupakan hasil bentukan budaya masyarakat tertentu di dalam perjalanan
sejarahnya.
Akal Arab-Islam berarti suatu bangunan
epistimologi yang dibentuk oleh budaya bangsa Arab-Islam. Akal Arab-Islam ini
menjadi baku dan sistematis sejak masa kodifikasi. Masa inilah telah memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap
perkembangan pola dan orientasi pemikiran pada masa-masa sesudahnya, di
samping pengaruh terhadap persepsi terhadap khazanah pemikiran yang berkembang
pada masa sebelumnya.
Namun demikian, bangunan epistimologi itu
harus dibedakan dengan muatan ideologinya. Karena bangunan epistimologi
berbentuk ilmu dan metafisika, sedang muatan ideologi adalah kondisi
sosio-politik yang melatari latar banguan ilmu dan metafisika tersebut.
Pembedaan ini menjadi penting karena memiliki efek memberi otoritas referensial
pada model masa lampau (namudzaj salafi).
Efek inilah menjadi penyebab wacana agama
terlalu berbau ideologis dengan dalih otentisisme (ashalah). Dalam
konteks kekinian, melahirkan suatu model pemikiran yang tidak bertolak dari
realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang.
Pemahaman dasar seperti ini sangat penting
dalam memahami turats (tradisi). Menurut al-Jabiri, turats
dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan masa lampau, tetapi
sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur
tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal
dan mentalitas, dan harapan-harapan. Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan
secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas menjadi
sesuatu yang debatable.
Pengkajian terhadap turats mutlak
dibutuhkan dalam rangka menemukan formasi baru epistimologi Arab-Islam. Sebab
inti reformasi sebenarnya terletak pada upaya mengembangkan sebuah metode dan
visi baru tentang turats. Reformasi bukan berarti menolak turats
atau memutus hubungan dengan masa lalu, tetapi mencari sebuah pola pikir dan
pemahaman baru yang melampaui turats tersebut dan yang memiliki
relefansi dengan kenyataan modern.
Model pengkajian seperti ini, meneguhkan
sikap penolakan al-Jabiri terhadap pola nalar kelompok salafi (al-salafiyyûn)
yang cenderung menghadirkan teks masa lalu secara utuh pada konteks modern. Di
samping itu, secara metodologis mereka cenderung mengadopsi pola pikir qiyasi,
pola pikir yang punya kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial
pada model masa lampau (namudzaj salafi).
Pola pembacaan terhadap turats seperti
ini membuat mereka memiliki kecenderungan untuk mengandaikan kebangkitan
Arab-Islam dengan cara penghidupan kembali ruh kejayaan Islam di masa Nabi,
para sahabat, dan kebangkitan pada abad pertengahan.
Bagi al-Jabiri, model analisis seperti ini
tidak relefan karena tantangan zaman yang dihadapi sangat berbeda. Saat ini
Islam harus menghadapi mesin-mesin industri dan kekuatan teknologi yang
mengimplikasikan adanya sistem ideologi kapitalisme dan neoliberalisme ekonomi
negara-negara metropolis dengan perangkatnya berupa imperialisme dan
kolonialisme. Alih-alih upaya mereka merupakan suatu kemunduran intelektual
karena tidak mampu mengangkat kekhasan dari budaya Arab-Islam masa kini.
Al-Jabiri juga mengkritik kelompok
modernis-liberal yang cenderung menjadikan Barat sebagai pola ideal karena
menganggap budaya Barat telah menjadi budaya universal. Sebab, menurutnya, modernitas
yang dibangun o1eh Eropa tidak layak untuk dijadikan pegangan bagi peradaban
Arab-Islam. Modernitas Eropa merupakan kesadaran yang membentuk sikap dikotomis
antara dunia pada tataran profan dan akhirat yang berdimensi sakral. Hal ini
bertentangan dengan tradisi historis yang telah dimiliki oleh dunia Arab-Islam.
Karena ternyata tradisi yang dimiliki oleh dunia Arab sangat tergantung pada
tataran transendent untuk dijadikan fondasi pada kehidupan duniawi.
Tradisi yang telah dibangun pada zaman Nabi
dan abad pertengahan memiliki ciri pemaduan antara keduanya yang diikat oleh
pola-pola kekuasaan. Nabi sebagai insan suci yang diutus oleh Tuhan dengan
sendirinya telah melegitimasi kekuasaan tersebut, sedangkan kekuasaan yang
dibangun pada abad pertengahan diperoleh melalui institusi-institusi politik
yang patrimonial. Hal ini sebenarnya telah dimulai pada masa dinasti awal,
yaitu dinasti Ummayah.
Al-Jabiri sangat menekankan epistemologi
pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi modernitas. Ada tiga
metodologi epistemologis untuk membongkar nalar Arab-Islam tentang turâts.
Pertama epistemologis bayani, yaitu metode yang menekankan teks, nas
secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan
yang digali lewat inferensi. Secara langsung artinya memahami teks sebagai
pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara
tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu
penafsiran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas
menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam
bayani rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan
pada teks. Dalam sasaran keagamaan metode bayani adalah aspek eksoterik
(syariat).
Kedua, epistemologi Irfani, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada
wahyu dan “pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan
sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi
filsafat illuminasi.
Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan
dari bayani, pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks bayani, tetapi pada
kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu,
pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan hati
nurani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan
langsung kepada-Nya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk dalam pikiran
sebelum dikemukan kepada orang lain. Secara metodologis pengetahuan ruhani
diperoleh melalui tiga tahapan yaitu, persiapan, penerimaan, dan pengungkapan
baik secara lukisan maupun tulisan.
Dan ketiga, epistimologi burhani,
yaitu pengetahuan yang didasarkan pada kekuatan rasio, observasi empiris dan
inferensiasi intelektual.
Al-Jabiri tidak melihat ketiga sistem
epistemologis ini–pada bentuknya yang ideal–hadir dalam setiap figur pemikir.
Masing-masing sistem selalu hadir dalam bentuk yang lebih-kurang telah
mengalami kontaminasi. Sistem epistemologi tersebut berasimilasi antara satu
sistem dengan sistem yang lain, yang kemudian mencapai stagnasi dan menjadi
kekuatan tunggal yang dominan pada masa al-Ghazali pada abad ke-5 H. Relasi
aktif yang berlangsung antara pasangan-pasangan tersebut dapat disebut dengan processed
structure (al-bunyah al-muhassalah) .
Dalam hal ini terdapat tiga bentuk konstituen
“processed structure” yang mempengaruhi sruktur Akal Arab sejak masa
kodifikafikasi pada abad ke-2 H yaitu, kekuatan kosakata, kekuatan asal
derivasi, dan kekuatan metafora (al-tajwiz). Ketiga kekuatan tersebut
bekerjasama untuk mempertahankan status quo selama sepuluh abad lebih. Sebuah
kerjasama yang membuahkan Akal Arab yang tidak realistis. Artinya tidak
memperhatikan hukum sebab-akibat dan tidak berangkat dari realitas faktual.
Sungguh pun demikian, Jabiri tidak menganggap
semua sistem tersebut usang. Menurutnya, terdapat jalan untuk memajukan Akal
Arab untuk mengejar ketertinggalannya dengan Barat melalui apa yang disebut
olehnya “Proyek Peradaban Andalusia”. Singkatnya, Jabiri mengajak untuk
melakukan rasionalisme kritis untuk menjawab tantangan modernitas seperti yang
telah dilakukan oleh peradaban Andalusia yang dimotori oleh Ibn Rusyd dkk.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar