Sabtu, 28 Januari 2012

Kritik Nalar Arab-Islam


Akal adalah prinsip dan kaidah untuk memperoleh pengetahuan. Akal juga dapat berarti aturan epistemologis berupa konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam fase sejarah tertentu. Akal Arab misalnya, berarti konsep dan prosedur pemikiran yang mengatur dengan ketat pola pandang orang Arab dan pola interaksinya.
M. Abed Al-Jabiri, seorang intelektual pembaharu Mesir yang mendedikasikan intelektualitasnya pada epistimologi Arab-Islam, membagi akal pada dua bentuk, yaitu akal/nalar murni (‘aql al-mukawwin) yang given, dan akal/nalar budaya (‘aql al-mukawwan) yang merupakan hasil bentukan budaya masyarakat tertentu di dalam perjalanan sejarahnya.
Akal Arab-Islam berarti suatu bangunan epistimologi yang dibentuk oleh budaya bangsa Arab-Islam. Akal Arab-Islam ini menjadi baku dan sistematis sejak masa kodifikasi. Masa inilah telah memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap  perkembangan pola dan orientasi pemikiran pada masa-masa sesudahnya, di samping pengaruh terhadap persepsi terhadap khazanah pemikiran yang berkembang pada masa sebelumnya.
Namun demikian, bangunan epistimologi itu harus dibedakan dengan muatan ideologinya. Karena bangunan epistimologi berbentuk ilmu dan metafisika, sedang muatan ideologi adalah kondisi sosio-politik yang melatari latar banguan ilmu dan metafisika tersebut. Pembedaan ini menjadi penting karena memiliki efek memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namudzaj salafi).
Efek inilah menjadi penyebab wacana agama terlalu berbau ideologis dengan dalih otentisisme (ashalah). Dalam konteks kekinian, melahirkan suatu model pemikiran yang tidak bertolak dari realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang.
Pemahaman dasar seperti ini sangat penting dalam memahami turats (tradisi). Menurut al-Jabiri, turats dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan. Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable.
Pengkajian terhadap turats mutlak dibutuhkan dalam rangka menemukan formasi baru epistimologi Arab-Islam. Sebab inti reformasi sebenarnya terletak pada upaya mengembangkan sebuah metode dan visi baru tentang turats. Reformasi bukan berarti menolak turats atau memutus hubungan dengan masa lalu, tetapi mencari sebuah pola pikir dan pemahaman baru yang melampaui turats tersebut dan yang memiliki relefansi dengan kenyataan modern.
Model pengkajian seperti ini, meneguhkan sikap penolakan al-Jabiri terhadap pola nalar kelompok salafi (al-salafiyyûn) yang cenderung menghadirkan teks masa lalu secara utuh pada konteks modern. Di samping itu, secara metodologis mereka cenderung mengadopsi pola pikir qiyasi, pola pikir yang punya kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namudzaj salafi).
Pola pembacaan terhadap turats seperti ini membuat mereka memiliki kecenderungan untuk mengandaikan kebangkitan Arab-Islam dengan cara penghidupan kembali ruh kejayaan Islam di masa Nabi, para sahabat, dan kebangkitan pada abad pertengahan.
Bagi al-Jabiri, model analisis seperti ini tidak relefan karena tantangan zaman yang dihadapi sangat berbeda. Saat ini Islam harus menghadapi mesin-mesin industri dan kekuatan teknologi yang mengimplikasikan adanya sistem ideologi kapitalisme dan neoliberalisme ekonomi negara-negara metropolis dengan perangkatnya berupa imperialisme dan kolonialisme. Alih-alih upaya mereka merupakan suatu kemunduran intelektual karena tidak mampu mengangkat kekhasan dari budaya Arab-Islam masa kini.
Al-Jabiri juga mengkritik kelompok modernis-liberal yang cenderung menjadikan Barat sebagai pola ideal karena menganggap budaya Barat telah menjadi budaya universal. Sebab, menurutnya, modernitas yang dibangun o1eh Eropa tidak layak untuk dijadikan pegangan bagi peradaban Arab-Islam. Modernitas Eropa merupakan kesadaran yang membentuk sikap dikotomis antara dunia pada tataran profan dan akhirat yang berdimensi sakral. Hal ini bertentangan dengan tradisi historis yang telah dimiliki oleh dunia Arab-Islam. Karena ternyata tradisi yang dimiliki oleh dunia Arab sangat tergantung pada tataran transendent untuk dijadikan fondasi pada kehidupan duniawi.
Tradisi yang telah dibangun pada zaman Nabi dan abad pertengahan memiliki ciri pemaduan antara keduanya yang diikat oleh pola-pola kekuasaan. Nabi sebagai insan suci yang diutus oleh Tuhan dengan sendirinya telah melegitimasi kekuasaan tersebut, sedangkan kekuasaan yang dibangun pada abad pertengahan diperoleh melalui institusi-institusi politik yang patrimonial. Hal ini sebenarnya telah dimulai pada masa dinasti awal, yaitu dinasti Ummayah.
Al-Jabiri sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi modernitas. Ada tiga metodologi epistemologis untuk membongkar nalar Arab-Islam tentang turâts. Pertama epistemologis bayani, yaitu metode yang menekankan teks, nas secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu penafsiran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam sasaran keagamaan metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat).
Kedua, epistemologi Irfani, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi.
Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani, pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks bayani, tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan hati nurani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepada-Nya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk dalam pikiran sebelum dikemukan kepada orang lain. Secara metodologis pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga tahapan yaitu, persiapan, penerimaan, dan pengungkapan baik secara lukisan maupun tulisan.
Dan ketiga, epistimologi burhani, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada kekuatan rasio, observasi empiris dan inferensiasi intelektual.
Al-Jabiri tidak melihat ketiga sistem epistemologis ini–pada bentuknya yang ideal–hadir dalam setiap figur pemikir. Masing-masing sistem selalu hadir dalam bentuk yang lebih-kurang telah mengalami kontaminasi. Sistem epistemologi tersebut berasimilasi antara satu sistem dengan sistem yang lain, yang kemudian mencapai stagnasi dan menjadi kekuatan tunggal yang dominan pada masa al-Ghazali pada abad ke-5 H. Relasi aktif yang berlangsung antara pasangan-pasangan tersebut dapat disebut dengan processed structure (al-bunyah al-muhassalah) .
Dalam hal ini terdapat tiga bentuk konstituen “processed structure” yang mempengaruhi sruktur Akal Arab sejak masa kodifikafikasi pada abad ke-2 H yaitu, kekuatan kosakata, kekuatan asal derivasi, dan kekuatan metafora (al-tajwiz). Ketiga kekuatan tersebut bekerjasama untuk mempertahankan status quo selama sepuluh abad lebih. Sebuah kerjasama yang membuahkan Akal Arab yang tidak realistis. Artinya tidak memperhatikan hukum sebab-akibat dan tidak berangkat dari realitas faktual.
Sungguh pun demikian, Jabiri tidak menganggap semua sistem tersebut usang. Menurutnya, terdapat jalan untuk memajukan Akal Arab untuk mengejar ketertinggalannya dengan Barat melalui apa yang disebut olehnya “Proyek Peradaban Andalusia”. Singkatnya, Jabiri mengajak untuk melakukan rasionalisme kritis untuk menjawab tantangan modernitas seperti yang telah dilakukan oleh peradaban Andalusia yang dimotori oleh Ibn Rusyd dkk.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar