Perdebatan teologis di
kalangan umat Islam Indonesia, menurut penilaian Kuntowijoyo, masih berkutat
pada tataran semantik. Di satu pihak, kalangan yang berpegang teguh pada
konvensi Islam masih memahami teologi sebagai ilmu kalam, suatu disiplin yang
mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak, normatif dan skolastik,[1] dengan tetap menekankan
pada pengkajian ulang terhadap ajaran-ajaran normatif yang telah terumuskan
dalam berbagai karya kalam klasik. Kajian-kajian yang dilakukan lebih bersifat
refleksi-normatif. Sementara pihak lain, justru melihat teologi sebagai
penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan, jadi lebih merupakan
refleksi-empiris. Pihak ini cenderung menekankan pada reorientasi pemahaman
keagamaan pada realitas-empiris kekinian, atau mengajak pada upaya untuk
melakukan refleksi-aktual dan empiris.[2]
Di tengah perdebatan
semantik tentang teologi di atas, muncul gagasan yang dikemukakan oleh pihak
kedua, berupa perlunya merumuskan suatu teologi baru yang di sebut teologi
transformatif. Gagasan yang semula dilontarkan oleh Moeslim Abdurrahman[3] ini menyiratkan
serangkaian kritik yang
tajam terhadap teologi-teologi tradisional
yang dianggap kehilangan relefansinya sehingga dianggap perlu untuk
dirombak. Hal inilah yang kemudian menimbulkan reaksi pihak pertama, suatu
reaksi yang kemudian melahirkan perdebatan dan salah paham.
Kuntowijoyo menyimpulkan
bahwa pedebatan yang terjadi ini menandakan belum bisanya umat Islam Indonesia
untuk menerima gagasan pembaharuan teologi. Hal ini karena sebagian besar umat
Islam menganggap persoalan teologi itu telah selesai. Teologi difahami hanya
terkait dengan konsep ketuhanan, doktrin tawh{i>d.
Gagasan tentang pembaharuan teologi sama halnya dengan upaya untuk merubah
doktrin sentral Islam tentang keesaan Tuhan tersebut.[4] Dalam konteks inilah,
Kuntowijoyo kemudian menawarkan konsepnya, “ilmu sosial transformatif” yang
selanjutnya lebih spesifik disebut “ilmu sosial profetik”.
Terdapat berubahan paradigma
di kalangan umat Islam Indonesia pasca tumbangnya PKI pada tahun 1965. Islam
ideologi dan aksi yang sebelumnya mendominasi wawasan umat, berangsur-angsur
tergeser dengan tampilnya Islam sebagai ilmu. Formulasi normatif ideologi dan
aksi yang didasarkan pada al-Qur’a>n dan h}adi>th mengalami transformasi ke
formulasi teoritis. Paradigma Islam terumuskan sebagai ide.
Islam yang telah
terkonstrusi sebagai ide ini, menurut Kuntowijoyo, harus dipandang sebagai
paradigma atau sistem yang terbuka, sehingga Islam akan memiliki vitalitas,
seperti yang telah tergambar dalam sejarah.[5] Yang dimaksud paradigma di
sini, seperti pandangan Thomas Kuhn, adalah konstruksi dasar realitas sosial
yang dibangun oleh mode of thought
atau mode of inquiry tertentu yang
pada gilirannya akan menghasilkan mode of
knowing tertentu pula.[6] Dengan demikian, al-Qur’a>n (baca: Islam) dapat
dijadikan sebagai paradigma untuk memahami realitas dengan tujuan mencari “h{ikmah”, yang selanjutnya
dijadikan dasar normatif baik pada level moral maupun sosial dalam menentukan
suatu aksi, mengingat al-Qur’a>n telah menyediakan gambaran
aksiologis dan wawasan epistimologis tersebut.[7]
Dari sini, dapat dipahami
bahwa merumuskan teori-teori sosial berdasarkan pada al-Qur’a>n itu menjadi sangat
mungkin, bahkan merupakan suatu kebutuhan. Untuk mencapai tujuan ini langkah
awal yang harus ditempuh adalah memahami al-Qur’a>n sebagai sebauh paradigma.
Dalam hal ini Kuntowijoyo menawarkan sebauh metode pendekatan, yaitu
Sintetik-Analitik.[8]
Dalam pendekatan ini, al-Qur’a>n dipahami memiliki dua
kategori kandungan, (1) konsep-konsep (ideal type), dan (2) kisah-kisah sejarah
atau amsal-amsal (arche type). Pada
kategori pertama, al-Qur’a>n mengandung konsep-konsep,
baik yang abstrak, seperti konsep tentang Alla>h, mala>ikat, akhi>rat, ma’ru>f, munkar dan sebagainya, maupun yang kongkret dan observable, seperti tentang fuqara>’, dhu’afa>’, aghniya>’, d}a>limu>n, mutakabbiru>n, mufsidu>n,
dan sebagainya.[9]
Konsep-konsep tersebut
dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang utuh tentang doktrin Islam, dan
lebih jauh lagi tentang weltanschauung
(pandangan dunia)-nya. Konsep-konsep ini akan dapat membentuk pemahaman yang
konprihensif tentang nilai-nilai Islam.[10]
Sementara pada kategori
kedua, al-Qur’a>n ingin mengajak kepada siapa saja untuk melakukan
perenungan terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa historis dan juga
metafor-metafor yang berisi h}ikmah tersembunyi, dengan bertujuan untuk
memperoleh wisdom (h}ikmah) yang sangat efektif
untuk digunakan merumuskan hakekat dan makna kehidupan.[11] Dalam hal ini sebenarnya
yang diungkap adalah pesan universal yang terdapat dalam kejadian atau
peristiwa tersebut, bukan data historisnya.
Metode Sintetik dalam memahami
pesan moral yang dikandung al-Qur’a>n ini sangat penting dalam
rangka menciptakan shakhsiyah islamiyah (Islamic personality), sebab dengan
begitu setiap orang akan dapat mensintesiskan pesan moral yang ada dengan
pengalaman subjektifnya. Pada tataran ini ia telah mempu melakukan
subjektifikasi terhadap ajaran keagamaan dalam rangka mengembangkan perspektif
etik dan moral individual. Dan ini berarti al-Qur’a>n bisa berfungsi sebagai
media transformasi psikologis.[12]
Akan tetapi untuk
mentransformasikan nilai-nilai ilahiyah yang terkandung dalam konsep-konsep
tersebut, sebagai hasil kerja sintetik, pada level yang objektif untuk
transformasi kemasyarakatan menuju cita-cita profetik, yaitu humanisasi,
emansipasi dan transendensi, sebagaimana makna yang tertuang dalam surat Ali> ‘Imra>n ayat 110, masih
membutuhkan pendekatan lain. Pada tahap aktualisasi konsep-konsep normatif
pada level
obyektif dan empiris ini, diperlukan pendekatan
lain, yaitu analitik.[13]
Yang dimaksud dengan
pendekatan analitik adalah memperlakukan al-Qur’a>n sebagai data, sebagai
suatu dokumen mengenai pedoman kehidupan yang berasal dari Tuhan. Ini merupakan
suatu postulat teologis dan teoritis sekaligus. Ayat-ayat al-Qur’a>n dianggap sebagai
pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis untuk diterjemahkan pada
level yang objektif, bukan subjektif. Itu berarti al-Qur’a>n harus dirumuskan dalam
bentuk konstruk-konstruk teoritis, sehingga akan menghasilkan konstruk-konstruk
teoritis al-Qur’a>n. Elaborasi terhadap konstruk al-Qur’a>n inilah yang pada akhirnya
merupakan kegiatan Qur’anic theori
building, yaitu perumusan teori al-Qur’a>n.[14] Dari sini muncul kemudian
paradigma al-Qur’a>n yang berfungsi untuk membangun perspektif al-Qur’a>n dalam rangka memahami
realitas. dan dari paradigma Islam, juga dapat dirumuskan apa yang disebut
dengan ilmu-ilmu sosial profetik.
Perdebatan semantik teologis
yang berawal dari kesalahpahaman, seperti telah disinggung di atas, menandakan
bahwa masih sangat banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa menerima
reinterpretasi teologis, seperti yang ditawarkan oleh kalangan pembaharu. Oleh
karena itu, menurut Kuntowijoyo, dibutuhkan “jembatan” yang dapat menetralisir
perdebatan tersebut. Menurutnya, langkah pertama yang harus ditempuh adalah
menghindari penggunaan istilah teologi, karena di samping akan membingungkan,
istilah ini juga belum bisa meng-cover
secara utuh kehendak sesungguhnya konsep teologi transformatif seperti
yang digulirkan oleh Abdurrahman. Istilah ini bisa dirubah
ilmu sosial transformatif, misalnya.[15]
Tampaknya Kuntowijoyo lebih
cenderung untuk menggunaan istilah “ilmu sosial”. Penggantian istilah “teologi”
dengan “ilmu sosial” dimaksudkan untuk menegaskan sifat dan maksud dari gagasan
tersebut, jika gagasan pembaharuan teologi adalah agar agama diberi tafsir
baru dalam rangka
memahami realitas, maka
metode yang efektif untuk
maksud tersebut adalah mengelaborasi ajaran-ajaran
agama ke dalam bentuk suatu teori sosial.[16] Tampaknya Kuntowijoyo
mencoba membebaskan gagasan transformasi dari pretensi doktrinal,
sebagaimana hakekat kebenaran ilmu yang
memang bersifat relatif. Ini berarti bahwa dengan “ilmu sosial” terbuka
kemungkinan adanya perumusan ulang, revisi dan rekonstruksi secara terus
menerus baik melalui refleksi empiris maupun normatif –sesuatu yang jauh lebih
sulit dilakukan jika kita menggunakan istilah teologi.[17]
Tetapi Kuntowijoyo melihat
kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam rumusan ilmu sosial. Menurutnya, dewasa
ini ilmu sosial sedang mengalami kemandegan. Itu sebabnya muncul ilmu sosial
transformatif, yang tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial,
namun juga berupaya untuk mentransformasikan. Masalahnya adalah ke arah mana
transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa? sampai disini, ilmu
sosial transformatif tidak memberi jawaban.
Berkaitan dengan itu,
Kuntowijoyo memperkenalkan “ilmu sosial profetik”. Menurut rumusannya, ilmu
sosial profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi
juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan
oleh siapa. Oleh karena itu ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi
perubahan, tapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.[18]
Dalam kontek ini,
Kuntowijoyo memperkenalkan cita-cita profetik bagi umat Islam yang meliputi
humanisasi, emansipasi, liberasi dan transendensi sebagai suatu cia-cita
profetik yang diderivasi dari misi historis Islam (Ali> ‘Imra>n: 110). Humanisasi
bertujuan memanusiakan manusia dalam konteks masyarakat industri yang mengalami
proses dehumanisasi. Liberasi bertujuan pembebasan bangsa dari kekejaman
kemiskinan dan keangkuhan tehnologi, dan pemerasan kelimpahan. Sedangkan tujuan
transendensi adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan.[19]
Dalam pada itu, Kuntowijoyo
juga mengingatkan perlunya dilakukan reorientasi terhadap epistemologi melalui
ilmu sosial profetik, yaitu orientasi terhadap mode of thought dan mode of
inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu selain dari rasio dan empiris,
juga bersumber dari wahyu.[20]
Berdasarkan konstatasi di
atas, Kuntowijoyo kemudian mengingatkan agar umat Islam tidak khawatir
berlebihan terhadap dominasi sains Barat. Meskipun dalam proses theori-building, terjadinya peminjaman
dari sintesis dengan khazanah ilmu Barat tidak dapat dihindarkan. Hal itu
menurut Kuntowijo, karana Islam adalah sebuah paradigma yang terbuka. Islam
merupakan mata rantai peradaban dunia. Untuk itu Kuntowijoyo menulis:
Dalam sejarah kita melihat
Islam mewarisi peradaban Yunani-Romawi di Barat, dan peradaban-peradaban
Persia, India dan Cina di timur. Selama abad VII sampai XV, ketika
peradaban-peradaban besar di Barat dan timur itu tenggelam dan mengalami
kemorosotan, Islam bertindak sebagai pewaris utamanya untuk kemudian diambil
alih oleh peradaban Barat sekarang melalui renaisance. Jadi Islam menjadi mata
rantai yang penting dalam sejarah peradaban dunia. Dalam kurun delapan abad itu
Islam bahkan mengembangkan warisan-warisan ilmu pengetahuan dan tehnologi dari
peradaban-peradaban tersebut”.[21]
Rumusan ilmu sosial profetik sangat terkait
dengan discourse teologi
transformatif, pada satu sisi, dan ilmu sosial transformatif, pada sisi yang
lain. Pada tataran aplikatif, discourse
yang pertama ternyata dihadapkan pada beberapa hambatan, terutama ketidaksiapan
masyarakat muslim untuk menerima kenyataan partikularitas konsep-konsep teologi
(kala>m), sebagai konsekuensi
dari image mereka bahwa konsep-konsep
tersebut telah sampai pada titik final, dan sakral. Pemikiran baru di bidang
ini hanya merupakan reduksi sakralitas teologi.
Sementara discourse
yang kedua memiliki beberapa kelemahan, terutama karena ia tidak memiliki value oriented yang jelas, sehingga arah
transformasinya juga tidak jelas. Tampaknya pikiran ini hanya merupakan
ungkapan ketidakpuasan terhadap batasan objek kajian ilmu sosial yang hanya
mengkaji fenomena sosial saja.
Kekurangan yang terdapat
pada kedua discourse itu dikaji,
sebelum kemudian dirumuskan teori-teori sosial yang khas Islam, ilmu sosial
profetik, dengan maksud agar nilai-nilai aksiologi dan epistimologi yang
terkandung dalam al-Qur’a>n dapat “membumi”. Dan grand
project ini tidak akan bisa dilakukan kecuali dengan lebih dulu menjadikan
al-Qur’a>n sebagai sebuah paradigma (baca: paradigma Islam),
sehingga ia dapat digunakan untuk memahami realitas.[22] Adapun pada tataran
aksiologi hal ini bisa direalisasikan dengan menggunakan metode
sintetik-analitik, sehingga tercipta proses dialogis antara tata nilai al-Qur’a>n dan tata nilai sosial,
seperti yang telah lama berlangsung pada masyarakat Arab.[23]
Rumusan ini tampaknya senada
dengan konsep Fazlur Rahman tentang operasi metodologi tafsir. Rahman
menekankan pada upaya memahami al-Qur’a>n dan sunnah dalam latar
sosio-historinya untuk menemukan Islam yang koheren dan aplicable dalam batas partikular.[24] Dan hal ini, menurutnya,
hanya bisa terealisasi dengan lebih dulu menemukan weltanschuung al-Qur’a>n.[25]
Sejak masa pertengahan
perdebatan tentang hubungan al-Qur’a>n dengan ilmu pengetahuan
sudah berlangsung. Al-Ghaza>li> menegaskan bahwa al-Qur’a>n memuat segala ilmu
pengetahuan, baik yang terdahulu maupun terkemudian, yang telah diketahui
maupun belum, semuanya bersumber dari al-Qur’a>n. Sedangkan al-Sha>t}ibi> membantah pendapat tersebut
dengan mengatakan bahwa para sahabat yang lebih dulu mengetahui tentang
al-Qur’a>n, tak seorang pun yang mengatakan bahwa al-Qur’a>n mencakup seluruh cabang
ilmu pengetahuan.[26] Namun suatu hal yang tidak
bisa dibantah adalah sebuah kenyataan bahwa ilmu itu bersifat relatif,
paradigmatik (Thomas Kuhn), ideologis (Marx), atau cagar bahasa (Wettgenstein).[27] Untuk itu, dalam wacana
sosiologi transformatif, al-Qur’a>n dapat menjadi sebuah
ideologi atau filsafat yang mendukung cita-cita transformasi sosial, dengan
digunakan sebagai landasan dalam merumuskan teori-teori sosial yang berfungsi
untuk menjelaskan realitas sosial dan sekaligus memberikan insight mengenai transformasinya.
Kehendak yang diuraikan
terakhir ini sangat sulit jika masih menggunakan term teologi, karena menghilangkan kesan reduksi doktrin.[28] Dengan demikian energi
untuk melakukan transformasi sosial tidak keburu habis dengan berbagai
perdebatan. Sebab lingkup kajiannya lebih menekankan aspek-aspek empiris,
historis dan temporal,[29] meski tidak mengesampingkan
aspek-aspek normatif-doktrinal.
Hal yang melatari munculnya gagasan
Kuntowijoyo, ilmu sosial profetik, adalah perdebatan teologis, terutama teologi
transformatif. Ia menghendaki agar gagasan transformasi itu bisa membumi, sehingga
term yang “melangit” itu dicoba
bumikan dengan term yang profan.
Meskipun demikian, Kuntowijoyo tidak
menginginkan hilangnya nilai-nilai normatif dalam gagasan transformasi,
sehingga ia merumuskan karangka epintimologi ilmu sosial profetiknya berada dalam
paradigam al-Qur’a>n (baca: Islam), dengan
menekankan pendekatan sintetik-analitik dalam kajiannya. Dengan demikian akan
dapat diperoleh ikatan dialektis antara yang sakral dan normatif (al-Qur’a>n)
dengan yang profan.
[1]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam:
Interpretasi untuk aksi (Bandung: Mizan, 1999), 286
[2]
Ibid.
[3]
Tentang hal ini, baca Moeslim Abdurrahman, Islam
Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997)
[4]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 286-287
[5]
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam
Indonesia (Yogyakarta: Shalahuddin Press dan Pustaka Pelajar, 1994), 102
[6]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 327
[7]
Ibid.
[8]
Ibid.
[9]
Ibid., 327-328
[10]
Ibid., 328
[11]
Ibid.
[12]
Ibid.,329
[13]
Ibid.,329-330
[14]
Ibid., 330
[15]
Ibid., 287
[16]
Ibid.
[17]
Ibid.
[18]
Ibid., 288
[19]
Ibid., 289
[20]
Ibid.
[21]
Ibid., 290
[22]
Q.S. al-Ra’d: 11, dan al-Anfa>l:
54
[23]
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas
atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 217-218
[24]
Taufiq Adnan Amal, Isla>m
dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung:
Mizan, 1993), 203
[25]
Ibid., 204
[26]
Tentang perdebatan ini, lebih lanjut lihat Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’a>n (Bandung:
Mizan, 1995), 41-50
[27]
Budhy Munawar Rahman, “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah: Pemikiran
Neo-Modernisme Isla>m
di Indonesia”, Jurnal Ulumul Qur’an
(No, 3, vol. VI, 1995), 21
[28]
Sebenarnya konsep teologi transformatif itu bukan bertujuan untuk merubah
doktrin, tetapi melakukan reinterpretasi terhadapnya dalam rangka memahami
realitas (serupa dengan konsep ilmu sosial profetik). Lihat, Abdurrahman, Islam, 25-27
[29]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 286
Tidak ada komentar:
Posting Komentar