Rabu, 04 Januari 2012

Ilmu Sosial Profetik: Anti-tesa Terhadap Konsepsi Teologi


Perdebatan teologis di kalangan umat Islam Indonesia, menurut penilaian Kuntowijoyo, masih berkutat pada tataran semantik. Di satu pihak, kalangan yang berpegang teguh pada konvensi Islam masih memahami teologi sebagai ilmu kalam, suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak, normatif dan skolastik,[1] dengan tetap menekankan pada pengkajian ulang terhadap ajaran-ajaran normatif yang telah terumuskan dalam berbagai karya kalam klasik. Kajian-kajian yang dilakukan lebih bersifat refleksi-normatif. Sementara pihak lain, justru melihat teologi sebagai penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan, jadi lebih merupakan refleksi-empiris. Pihak ini cenderung menekankan pada reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas-empiris kekinian, atau mengajak pada upaya untuk melakukan refleksi-aktual dan empiris.[2]
Di tengah perdebatan semantik tentang teologi di atas, muncul gagasan yang dikemukakan oleh pihak kedua, berupa perlunya merumuskan suatu teologi baru yang di sebut teologi transformatif. Gagasan yang semula dilontarkan oleh Moeslim Abdurrahman[3] ini  menyiratkan  serangkaian  kritik  yang  tajam  terhadap  teologi-teologi  tradisional  yang dianggap kehilangan relefansinya sehingga dianggap perlu untuk dirombak. Hal inilah yang kemudian menimbulkan reaksi pihak pertama, suatu reaksi yang kemudian melahirkan perdebatan dan salah paham.
Kuntowijoyo menyimpulkan bahwa pedebatan yang terjadi ini menandakan belum bisanya umat Islam Indonesia untuk menerima gagasan pembaharuan teologi. Hal ini karena sebagian besar umat Islam menganggap persoalan teologi itu telah selesai. Teologi difahami hanya terkait dengan konsep ketuhanan, doktrin tawh{i>d. Gagasan tentang pembaharuan teologi sama halnya dengan upaya untuk merubah doktrin sentral Islam tentang keesaan Tuhan tersebut.[4] Dalam konteks inilah, Kuntowijoyo kemudian menawarkan konsepnya, “ilmu sosial transformatif” yang selanjutnya lebih spesifik disebut “ilmu sosial profetik”. 

Paradigma Islam Sebagai Kerangka Filosofis
Terdapat berubahan paradigma di kalangan umat Islam Indonesia pasca tumbangnya PKI pada tahun 1965. Islam ideologi dan aksi yang sebelumnya mendominasi wawasan umat, berangsur-angsur tergeser dengan tampilnya Islam sebagai ilmu. Formulasi normatif ideologi dan aksi yang didasarkan pada al-Qur’a>n dan h}adi>th mengalami transformasi ke formulasi teoritis. Paradigma Islam terumuskan sebagai ide.
Islam yang telah terkonstrusi sebagai ide ini, menurut Kuntowijoyo, harus dipandang sebagai paradigma atau sistem yang terbuka, sehingga Islam akan memiliki vitalitas, seperti yang telah tergambar dalam sejarah.[5] Yang dimaksud paradigma di sini, seperti pandangan Thomas Kuhn, adalah konstruksi dasar realitas sosial yang dibangun oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula.[6] Dengan demikian, al-Qur’a>n (baca: Islam) dapat dijadikan sebagai paradigma untuk memahami realitas dengan tujuan mencari “h{ikmah”, yang selanjutnya dijadikan dasar normatif baik pada level moral maupun sosial dalam menentukan suatu aksi, mengingat al-Qur’a>n telah menyediakan gambaran aksiologis dan wawasan epistimologis tersebut.[7]
Dari sini, dapat dipahami bahwa merumuskan teori-teori sosial berdasarkan pada al-Qur’a>n itu menjadi sangat mungkin, bahkan merupakan suatu kebutuhan. Untuk mencapai tujuan ini langkah awal yang harus ditempuh adalah memahami al-Qur’a>n sebagai sebauh paradigma. Dalam hal ini Kuntowijoyo menawarkan sebauh metode pendekatan, yaitu Sintetik-Analitik.[8]
  Dalam pendekatan ini, al-Qur’a>n dipahami memiliki dua kategori kandungan, (1)  konsep-konsep (ideal type), dan (2) kisah-kisah sejarah atau amsal-amsal (arche type). Pada kategori pertama, al-Qur’a>n mengandung konsep-konsep, baik yang abstrak, seperti konsep tentang Alla>h, mala>ikat, akhi>rat, ma’ru>f, munkar dan sebagainya, maupun yang kongkret dan observable, seperti tentang fuqara>, dhu’afa>, aghniya>, d}a>limu>n, mutakabbiru>n, mufsidu>n, dan sebagainya.[9]
Konsep-konsep tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang utuh tentang doktrin Islam, dan lebih jauh lagi tentang weltanschauung (pandangan dunia)-nya. Konsep-konsep ini akan dapat membentuk pemahaman yang konprihensif tentang nilai-nilai Islam.[10]
Sementara pada kategori kedua, al-Qur’a>n ingin mengajak kepada siapa saja untuk melakukan perenungan terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa historis dan juga metafor-metafor yang berisi h}ikmah tersembunyi, dengan bertujuan untuk memperoleh wisdom (h}ikmah) yang sangat efektif untuk digunakan merumuskan hakekat dan makna kehidupan.[11] Dalam hal ini sebenarnya yang diungkap adalah pesan universal yang terdapat dalam kejadian atau peristiwa tersebut, bukan data historisnya.
Metode Sintetik dalam memahami pesan moral yang dikandung al-Qur’a>n ini sangat penting dalam rangka menciptakan shakhsiyah islamiyah (Islamic personality), sebab dengan begitu setiap orang akan dapat mensintesiskan pesan moral yang ada dengan pengalaman subjektifnya. Pada tataran ini ia telah mempu melakukan subjektifikasi terhadap ajaran keagamaan dalam rangka mengembangkan perspektif etik dan moral individual. Dan ini berarti al-Qur’a>n bisa berfungsi sebagai media transformasi psikologis.[12]
Akan tetapi untuk mentransformasikan nilai-nilai ilahiyah yang terkandung dalam konsep-konsep tersebut, sebagai hasil kerja sintetik, pada level yang objektif untuk transformasi kemasyarakatan menuju cita-cita profetik, yaitu humanisasi, emansipasi dan transendensi, sebagaimana makna yang tertuang dalam surat Ali> ‘Imra>n ayat 110, masih membutuhkan pendekatan lain. Pada tahap aktualisasi konsep-konsep  normatif  pada  level
obyektif dan empiris ini, diperlukan pendekatan lain, yaitu analitik.[13]
Yang dimaksud dengan pendekatan analitik adalah memperlakukan al-Qur’a>n sebagai data, sebagai suatu dokumen mengenai pedoman kehidupan yang berasal dari Tuhan. Ini merupakan suatu postulat teologis dan teoritis sekaligus. Ayat-ayat al-Qur’a>n dianggap sebagai pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis untuk diterjemahkan pada level yang objektif, bukan subjektif. Itu berarti al-Qur’a>n harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis, sehingga akan menghasilkan konstruk-konstruk teoritis al-Qur’a>n. Elaborasi terhadap konstruk al-Qur’a>n inilah yang pada akhirnya merupakan kegiatan Qur’anic theori building, yaitu perumusan teori al-Qur’a>n.[14] Dari sini muncul kemudian paradigma al-Qur’a>n yang berfungsi untuk membangun perspektif al-Qur’a>n dalam rangka memahami realitas. dan dari paradigma Islam, juga dapat dirumuskan apa yang disebut dengan ilmu-ilmu sosial profetik. 

Dari Ilmu Sosial Transformatif Ke Ilmu Sosial Profetik
Perdebatan semantik teologis yang berawal dari kesalahpahaman, seperti telah disinggung di atas, menandakan bahwa masih sangat banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa menerima reinterpretasi teologis, seperti yang ditawarkan oleh kalangan pembaharu. Oleh karena itu, menurut Kuntowijoyo, dibutuhkan “jembatan” yang dapat menetralisir perdebatan tersebut. Menurutnya, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menghindari penggunaan istilah teologi, karena di samping akan membingungkan, istilah ini juga belum bisa meng-cover secara utuh kehendak sesungguhnya konsep teologi transformatif  seperti  yang  digulirkan  oleh Abdurrahman. Istilah ini bisa dirubah ilmu sosial transformatif, misalnya.[15]
Tampaknya Kuntowijoyo lebih cenderung untuk menggunaan istilah “ilmu sosial”. Penggantian istilah “teologi” dengan “ilmu sosial” dimaksudkan untuk menegaskan sifat dan maksud dari gagasan tersebut, jika gagasan pembaharuan teologi adalah agar agama diberi  tafsir  baru  dalam  rangka  memahami  realitas,  maka  metode  yang   efektif   untuk
maksud tersebut adalah mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial.[16] Tampaknya Kuntowijoyo mencoba membebaskan gagasan transformasi dari pretensi doktrinal, sebagaimana  hakekat kebenaran ilmu yang memang bersifat relatif. Ini berarti bahwa dengan “ilmu sosial” terbuka kemungkinan adanya perumusan ulang, revisi dan rekonstruksi secara terus menerus baik melalui refleksi empiris maupun normatif –sesuatu yang jauh lebih sulit dilakukan jika kita menggunakan istilah teologi.[17]
Tetapi Kuntowijoyo melihat kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam rumusan ilmu sosial. Menurutnya, dewasa ini ilmu sosial sedang mengalami kemandegan. Itu sebabnya muncul ilmu sosial transformatif, yang tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial, namun juga berupaya untuk mentransformasikan. Masalahnya adalah ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa? sampai disini, ilmu sosial transformatif tidak memberi jawaban.
Berkaitan dengan itu, Kuntowijoyo memperkenalkan “ilmu sosial profetik”. Menurut rumusannya, ilmu sosial profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itu ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.[18]
Dalam kontek ini, Kuntowijoyo memperkenalkan cita-cita profetik bagi umat Islam yang meliputi humanisasi, emansipasi, liberasi dan transendensi sebagai suatu cia-cita profetik yang diderivasi dari misi historis Islam (Ali> ‘Imra>n: 110). Humanisasi bertujuan memanusiakan manusia dalam konteks masyarakat industri yang mengalami proses dehumanisasi. Liberasi bertujuan pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan dan keangkuhan tehnologi, dan pemerasan kelimpahan. Sedangkan tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan.[19]
Dalam pada itu, Kuntowijoyo juga mengingatkan perlunya dilakukan reorientasi terhadap epistemologi melalui ilmu sosial profetik, yaitu orientasi terhadap mode of thought dan mode of inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu selain dari rasio dan empiris, juga bersumber dari wahyu.[20]
Berdasarkan konstatasi di atas, Kuntowijoyo kemudian mengingatkan agar umat Islam tidak khawatir berlebihan terhadap dominasi sains Barat. Meskipun dalam proses theori-building, terjadinya peminjaman dari sintesis dengan khazanah ilmu Barat tidak dapat dihindarkan. Hal itu menurut Kuntowijo, karana Islam adalah sebuah paradigma yang terbuka. Islam merupakan mata rantai peradaban dunia. Untuk itu Kuntowijoyo menulis:
Dalam sejarah kita melihat Islam mewarisi peradaban Yunani-Romawi di Barat, dan peradaban-peradaban Persia, India dan Cina di timur. Selama abad VII sampai XV, ketika peradaban-peradaban besar di Barat dan timur itu tenggelam dan mengalami kemorosotan, Islam bertindak sebagai pewaris utamanya untuk kemudian diambil alih oleh peradaban Barat sekarang melalui renaisance. Jadi Islam menjadi mata rantai yang penting dalam sejarah peradaban dunia. Dalam kurun delapan abad itu Islam bahkan mengembangkan warisan-warisan ilmu pengetahuan dan tehnologi dari peradaban-peradaban tersebut”.[21] 

Analisis 
           Rumusan ilmu sosial profetik sangat terkait dengan discourse teologi transformatif, pada satu sisi, dan ilmu sosial transformatif, pada sisi yang lain. Pada tataran aplikatif, discourse yang pertama ternyata dihadapkan pada beberapa hambatan, terutama ketidaksiapan masyarakat muslim untuk menerima kenyataan partikularitas konsep-konsep teologi (kala>m), sebagai konsekuensi dari image mereka bahwa konsep-konsep tersebut telah sampai pada titik final, dan sakral. Pemikiran baru di bidang ini hanya merupakan reduksi sakralitas teologi. 
           Sementara discourse yang kedua memiliki beberapa kelemahan, terutama karena ia tidak memiliki value oriented yang jelas, sehingga arah transformasinya juga tidak jelas. Tampaknya pikiran ini hanya merupakan ungkapan ketidakpuasan terhadap batasan objek kajian ilmu sosial yang hanya mengkaji fenomena sosial saja.
Kekurangan yang terdapat pada kedua discourse itu dikaji, sebelum kemudian dirumuskan teori-teori sosial yang khas Islam, ilmu sosial profetik, dengan maksud agar nilai-nilai aksiologi dan epistimologi yang terkandung dalam al-Qur’a>n dapat “membumi”.  Dan grand project ini tidak akan bisa dilakukan kecuali dengan lebih dulu menjadikan al-Qur’a>n sebagai sebuah paradigma (baca: paradigma Islam), sehingga ia dapat digunakan untuk memahami realitas.[22] Adapun pada tataran aksiologi hal ini bisa direalisasikan dengan menggunakan metode sintetik-analitik, sehingga tercipta proses dialogis antara tata nilai al-Qur’a>n dan tata nilai sosial, seperti yang telah lama berlangsung pada masyarakat Arab.[23]
Rumusan ini tampaknya senada dengan konsep Fazlur Rahman tentang operasi metodologi tafsir. Rahman menekankan pada upaya memahami al-Qur’a>n dan sunnah dalam latar sosio-historinya untuk menemukan Islam yang koheren dan aplicable dalam batas partikular.[24] Dan hal ini, menurutnya, hanya bisa terealisasi dengan lebih dulu menemukan weltanschuung al-Qur’a>n.[25]
Sejak masa pertengahan perdebatan tentang hubungan al-Qur’a>n dengan ilmu pengetahuan sudah berlangsung. Al-Ghaza>li> menegaskan bahwa al-Qur’a>n memuat segala ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu maupun terkemudian, yang telah diketahui maupun belum, semuanya bersumber dari al-Qur’a>n. Sedangkan al-Sha>t}ibi> membantah pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa para sahabat yang lebih dulu mengetahui tentang al-Qur’a>n, tak seorang pun yang mengatakan bahwa al-Qur’a>n mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.[26] Namun suatu hal yang tidak bisa dibantah adalah sebuah kenyataan bahwa ilmu itu bersifat relatif, paradigmatik (Thomas Kuhn), ideologis (Marx), atau cagar bahasa (Wettgenstein).[27] Untuk itu, dalam wacana sosiologi transformatif, al-Qur’a>n dapat menjadi sebuah ideologi atau filsafat yang mendukung cita-cita transformasi sosial, dengan digunakan sebagai landasan dalam merumuskan teori-teori sosial yang berfungsi untuk menjelaskan realitas sosial dan sekaligus memberikan insight mengenai transformasinya.
Kehendak yang diuraikan terakhir ini sangat sulit jika masih menggunakan term teologi, karena menghilangkan kesan reduksi doktrin.[28] Dengan demikian energi untuk melakukan transformasi sosial tidak keburu habis dengan berbagai perdebatan. Sebab lingkup kajiannya lebih menekankan aspek-aspek empiris, historis dan temporal,[29] meski tidak mengesampingkan aspek-aspek normatif-doktrinal.

Simpulan 
Hal yang melatari munculnya gagasan Kuntowijoyo, ilmu sosial profetik, adalah perdebatan teologis, terutama teologi transformatif. Ia menghendaki agar gagasan transformasi itu bisa membumi, sehingga term yang “melangit” itu dicoba bumikan dengan term yang profan. 
Meskipun demikian, Kuntowijoyo tidak menginginkan hilangnya nilai-nilai normatif dalam gagasan transformasi, sehingga ia merumuskan karangka epintimologi ilmu sosial profetiknya berada dalam paradigam al-Qur’a>n (baca: Islam), dengan menekankan pendekatan sintetik-analitik dalam kajiannya. Dengan demikian akan dapat diperoleh ikatan dialektis antara yang sakral dan normatif (al-Qur’a>n) dengan yang profan.

[1] Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk aksi (Bandung: Mizan, 1999), 286
[2] Ibid.
[3] Tentang hal ini, baca Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997)
[4] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 286-287
[5] Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Yogyakarta: Shalahuddin Press dan Pustaka Pelajar, 1994), 102
[6] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 327
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid., 327-328
[10] Ibid., 328
[11] Ibid.
[12] Ibid.,329
[13] Ibid.,329-330
[14] Ibid., 330
[15] Ibid., 287
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid., 288
[19] Ibid., 289
[20] Ibid.
[21] Ibid., 290
[22] Q.S. al-Ra’d: 11, dan al-Anfa>l: 54
[23] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 217-218  
[24] Taufiq Adnan Amal, Isla>m dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1993), 203
[25] Ibid., 204
[26] Tentang perdebatan ini, lebih lanjut lihat Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’a>n (Bandung: Mizan, 1995), 41-50
[27] Budhy Munawar Rahman, “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah: Pemikiran Neo-Modernisme Isla>m di Indonesia”, Jurnal Ulumul Qur’an (No, 3, vol. VI, 1995), 21
[28] Sebenarnya konsep teologi transformatif itu bukan bertujuan untuk merubah doktrin, tetapi melakukan reinterpretasi terhadapnya dalam rangka memahami realitas (serupa dengan konsep ilmu sosial profetik). Lihat, Abdurrahman, Islam, 25-27
[29] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 286

Tidak ada komentar:

Posting Komentar