Dalam
perspektif strukturalisme, perilaku seseorang termasuk perilaku politiknya, sama
sekali tidak ada kaitannya dengan spiritualitas, tetapi lebih sebagai ungkapan
struktural. Perspektif ini jika digunakan untuk mengurai hubungan agama dengan
negara maka jawabannya cikup jelas bahwa keduanya tidak memiliki hubungan
apa-apa, karena negara merupakan bentuk sekuler, sementara agama merupakan
perpaduan dari dimensi esoterik dan eksoterik. Bahkan setiap pengkaitan politik
dengan agama merupakan bentuk distorsi kesejarahan masa Pencerahan Eropa.
Bangsa
Indonesia, yang dikenal sebagai bangsa religius, telah berhasil menentukan bentuk
sekuler (demokrasi) sebagai sistem bernegara, dan memposisikan agama hanya sebagai
salah satu landasan filosofis (moral-etik) bagi setiap upaya-upaya
penyelenggaraan negara. Prestasi gemilang ini tidak dapat dilupakan begitu
saja, karena bangsa ini harus melewati masa-masa kritis dalam perdebatan
ideologis yang taruhannya tidak lain adalah integrasi bangsa. Untuk
mengakomodasi beragam kencenderungan dalam bangsa yang pluralistik ini
demokrasi memang sangat tepat, sehingga siapa pun baik secara individu maupun
kelompok bebas untuk menentukan pilihan sekaligus melakukan kreasi-kreasi demi
menyokong kepentingannya. Dengan demikian hubungan agama dengan negara hanya
sebagai komplementer.
Bagi
pendukung formalisme mengasumsikan bahwa keputusan itu merupakan bentuk
penyelesaian yang sepihak, karena tidak melalui mekanisme demokrasi yang jelas
dan tegas. Tetapi realitas menunjukkan bahwa penyelesaian politik yang sepihak
prestasi ini sekarang telah ternodai oleh
Masih segar
ingatan kita terhadap kerasnya tuntutan kelompok muslim untuk memasukkan tujuh
kata dalam Piagam Jakarta ke dalam mukaddimah UUD 1945 yang telah memancing
reaksi keras dari wilayah Timur yang mayoritas merupakan umat Kristiani.
Pengalaman
sejarah tersebut, pada awal tahun 1970-an, memunculkan ide tentang rekonstruksi
peran politik umat Islam. Tesis tentang ideologisasi Islam mulai dipertanyakan
relefansinya dalam konteks politik Nasional. Perhatian umat Islam kemudian
dialihkan pada penguatan infrastruktur politik, yang kemudian menampakkan
hasilnya pada masa-masa akhir pemerintahan Orde Baru (1990-an). Suatu kenyataan
yang dapat menunjukkan bahwa demokrasi merupakan satu bentuk sistem bernegara
yang ideal bagi bangsa Indonesia. Apalagi ditambah dengan kenyataan tidak
diterimanya sistem Sosialisme oleh bangsa ini sejak terjadinya kemelut tahun
1965. Tetapi cukup disayangkan jika pada
era reformasi sekarang ini muncul kembali upaya-upaya pengkaitan politik dengan
agama, yang tidak lain merupakan bentuk “politisasi agama”.
Di tengah
proses demokratisasi memang segalanya bisa mungkin terjadi, termasuk
“politisasi agama”, karena al-Qur’an juga menekankan kepada setiap pemeluknya
untuk berislam secara menyeluruh (kaffah). Dengan demikian, Islam tidak
hanya sebagai bentuk ritual-spiritual belaka, melaikan juga sebagai bentuk
sistem sosial, ekonomi, maupun politik. Hal ini bukan berarti menjastifikasi
sistem kehidupan umat Islam yang eksklusif, tetapi lebih memperkuat basic
moral-etik Islam dalam setiap perilaku umat Islam. Memang cukup disayangkan berislam
secara kaffah ini telah memunculkan bentuk formalisme dalam ranah historis,
sebagai akibat dari pola berpikir ideologis. Sejarah telah membuktikan bahwa
pola pikir demikian telah kehilangan relefansinya di tengah kehidupan di alam
modern.
Sekarang “politisasi
agama” telah muncul dalam wajah baru, tidak untuk agama sendiri tetapi lebih
untuk kepentingan kelompok. Agama telah beralih fungsi sebagai ligitimasi bagi kamunalisme.
Padahal, menurut M. Yudhi R. Haryono (9/3), lahirnya agama itu adalah untuk
memotong sifat komunal, karena itu perilaku agama dibangun berdasarkan
identitas prestasi, baik pada Tuhan (taqwa) maupun pada kemanusiaan, bukan
berdasarkan identitas personal atau kelompok. Memang, dalam taraf tertentu,
agama mampu menjadi identitas kelompok. Tetapi jika agama sudah dianggap dapat
melegitimasi komunalisme maka itu berarti telah terjadi pereduksian terhadap
nilai spiritual agama itu sendiri.
Sampai di
sini, jika ditanyakan, bagaimanakah kesadaran ritual-spiritual politisi muslim
diimplementasikan dalam perilaku politik? Maka jawabannya cukup mudah,
kesadaran ritual-spiritual mereka –sama sekali– belum mewujud dalam kesadaran
perilaku, sehingga agama yang seharusnya menjadi basic moral justru menampakkan
wajah sebagai ideologi. Laku ritual seorang muslim memiliki dimensi spiritual
yang sangat mendalam, mengingat ia sangat menentukan kualitas ketaqwaannya.
Seorang muslim yang taqwa berarti dia telah mampu mengiplementasikan tiga hak, haqq
Allah (hak Allah), haqq al-‘alam (hak alam raya), dan haqq Adamy
(hak kemanusiaan). Untuk yang disebut
terakhir, paling tidak ketaqwaan itu akan menjadikannya sebagai seorang muslim
yang menjunjung tinggi nilai 1) kemerdekaan (independency), yang
dipahami bukan sekedar otonomi atau kemerdekaan wilayah tetapi terlebih sebagai
kemandirian manusia (rakyat, dalam konteks negara); 2) kesaudaraan (solidarity),
bukan sekedar persaudaraan (brotherhood), karena pewujudan kesaudaraan
menjadi tanggungjawab bersama dengan tetap mengedepankan rasa hormat kepada
pribadi lain dengan segala keunikan dan kemajemukannya; 3) keadilan sosial (social
justice), dalam arti pencukupan sarana dasar kehidupan bagi semua pihak,
bukan sekedar persamaan (equality); 4) kerakyatan (populist), yang
dipahami bukan sekedar cinta bangsa tetapi
lebih pada cinta kepada kemanusiaan terutama kepada kelompok yang
dimarginalkan.
Prestasi ini
sekarang masih sangat jauh dari jangkauan ketaqwaan para palitisi muslim,
karena perilakunya –lagi-lagi– bukan
merupakan wujud dari kesadaran ritual-spiritualnya, melainkan dari bentuk
sekularitasnya dalam perjuangan ideologi. Karena ideologi, seperti diungkap
Albet Camus, adalah sumber malapetaka bagi kehidupan. Jika demikian halnya,
maka tidak salah jika yang nampak adalah kemunafikan dan kedhaliman. Bukankah
bencana dan malapetaka di darat dan lautan itu merupakan akibat dari ulah
manusia sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar