Selasa, 24 Januari 2012

Perilaku Politik Sebagai Implementasi Kesadaran Ritual-Spiritual?

          Dalam perspektif strukturalisme, perilaku seseorang termasuk perilaku politiknya, sama sekali tidak ada kaitannya dengan spiritualitas, tetapi lebih sebagai ungkapan struktural. Perspektif ini jika digunakan untuk mengurai hubungan agama dengan negara maka jawabannya cikup jelas bahwa keduanya tidak memiliki hubungan apa-apa, karena negara merupakan bentuk sekuler, sementara agama merupakan perpaduan dari dimensi esoterik dan eksoterik. Bahkan setiap pengkaitan politik dengan agama merupakan bentuk distorsi kesejarahan masa Pencerahan Eropa.
Bangsa Indonesia, yang dikenal sebagai bangsa religius, telah berhasil menentukan bentuk sekuler (demokrasi) sebagai sistem bernegara, dan memposisikan agama hanya sebagai salah satu landasan filosofis (moral-etik) bagi setiap upaya-upaya penyelenggaraan negara. Prestasi gemilang ini tidak dapat dilupakan begitu saja, karena bangsa ini harus melewati masa-masa kritis dalam perdebatan ideologis yang taruhannya tidak lain adalah integrasi bangsa. Untuk mengakomodasi beragam kencenderungan dalam bangsa yang pluralistik ini demokrasi memang sangat tepat, sehingga siapa pun baik secara individu maupun kelompok bebas untuk menentukan pilihan sekaligus melakukan kreasi-kreasi demi menyokong kepentingannya. Dengan demikian hubungan agama dengan negara hanya sebagai komplementer.
Bagi pendukung formalisme mengasumsikan bahwa keputusan itu merupakan bentuk penyelesaian yang sepihak, karena tidak melalui mekanisme demokrasi yang jelas dan tegas. Tetapi realitas menunjukkan bahwa penyelesaian politik yang sepihak prestasi ini sekarang telah ternodai oleh
Masih segar ingatan kita terhadap kerasnya tuntutan kelompok muslim untuk memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ke dalam mukaddimah UUD 1945 yang telah memancing reaksi keras dari wilayah Timur yang mayoritas merupakan umat Kristiani.
Pengalaman sejarah tersebut, pada awal tahun 1970-an, memunculkan ide tentang rekonstruksi peran politik umat Islam. Tesis tentang ideologisasi Islam mulai dipertanyakan relefansinya dalam konteks politik Nasional. Perhatian umat Islam kemudian dialihkan pada penguatan infrastruktur politik, yang kemudian menampakkan hasilnya pada masa-masa akhir pemerintahan Orde Baru (1990-an). Suatu kenyataan yang dapat menunjukkan bahwa demokrasi merupakan satu bentuk sistem bernegara yang ideal bagi bangsa Indonesia. Apalagi ditambah dengan kenyataan tidak diterimanya sistem Sosialisme oleh bangsa ini sejak terjadinya kemelut tahun 1965.  Tetapi cukup disayangkan jika pada era reformasi sekarang ini muncul kembali upaya-upaya pengkaitan politik dengan agama, yang tidak lain merupakan bentuk “politisasi agama”.
Di tengah proses demokratisasi memang segalanya bisa mungkin terjadi, termasuk “politisasi agama”, karena al-Qur’an juga menekankan kepada setiap pemeluknya untuk berislam secara menyeluruh (kaffah). Dengan demikian, Islam tidak hanya sebagai bentuk ritual-spiritual belaka, melaikan juga sebagai bentuk sistem sosial, ekonomi, maupun politik. Hal ini bukan berarti menjastifikasi sistem kehidupan umat Islam yang eksklusif, tetapi lebih memperkuat basic moral-etik Islam dalam setiap perilaku umat Islam. Memang cukup disayangkan berislam secara kaffah ini telah memunculkan bentuk formalisme dalam ranah historis, sebagai akibat dari pola berpikir ideologis. Sejarah telah membuktikan bahwa pola pikir demikian telah kehilangan relefansinya di tengah kehidupan di alam modern.
Sekarang “politisasi agama” telah muncul dalam wajah baru, tidak untuk agama sendiri tetapi lebih untuk kepentingan kelompok. Agama telah beralih fungsi sebagai ligitimasi bagi kamunalisme. Padahal, menurut M. Yudhi R. Haryono (9/3), lahirnya agama itu adalah untuk memotong sifat komunal, karena itu perilaku agama dibangun berdasarkan identitas prestasi, baik pada Tuhan (taqwa) maupun pada kemanusiaan, bukan berdasarkan identitas personal atau kelompok. Memang, dalam taraf tertentu, agama mampu menjadi identitas kelompok. Tetapi jika agama sudah dianggap dapat melegitimasi komunalisme maka itu berarti telah terjadi pereduksian terhadap nilai spiritual agama itu sendiri.
Sampai di sini, jika ditanyakan, bagaimanakah kesadaran ritual-spiritual politisi muslim diimplementasikan dalam perilaku politik? Maka jawabannya cukup mudah, kesadaran ritual-spiritual mereka –sama sekali– belum mewujud dalam kesadaran perilaku, sehingga agama yang seharusnya menjadi basic moral justru menampakkan wajah sebagai ideologi. Laku ritual seorang muslim memiliki dimensi spiritual yang sangat mendalam, mengingat ia sangat menentukan kualitas ketaqwaannya. Seorang muslim yang taqwa berarti dia telah mampu mengiplementasikan tiga hak, haqq Allah (hak Allah), haqq al-‘alam (hak alam raya), dan haqq Adamy (hak kemanusiaan).  Untuk yang disebut terakhir, paling tidak ketaqwaan itu akan menjadikannya sebagai seorang muslim yang menjunjung tinggi nilai 1) kemerdekaan (independency), yang dipahami bukan sekedar otonomi atau kemerdekaan wilayah tetapi terlebih sebagai kemandirian manusia (rakyat, dalam konteks negara); 2) kesaudaraan (solidarity), bukan sekedar persaudaraan (brotherhood), karena pewujudan kesaudaraan menjadi tanggungjawab bersama dengan tetap mengedepankan rasa hormat kepada pribadi lain dengan segala keunikan dan kemajemukannya; 3) keadilan sosial (social justice), dalam arti pencukupan sarana dasar kehidupan bagi semua pihak, bukan sekedar persamaan (equality); 4) kerakyatan (populist), yang dipahami bukan sekedar cinta bangsa tetapi  lebih pada cinta kepada kemanusiaan terutama kepada kelompok yang dimarginalkan.
Prestasi ini sekarang masih sangat jauh dari jangkauan ketaqwaan para palitisi muslim, karena perilakunya –lagi-lagi–  bukan merupakan wujud dari kesadaran ritual-spiritualnya, melainkan dari bentuk sekularitasnya dalam perjuangan ideologi. Karena ideologi, seperti diungkap Albet Camus, adalah sumber malapetaka bagi kehidupan. Jika demikian halnya, maka tidak salah jika yang nampak adalah kemunafikan dan kedhaliman. Bukankah bencana dan malapetaka di darat dan lautan itu merupakan akibat dari ulah manusia sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar